Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Kata kebenaran bisa digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Oleh karenanya, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek (manusia) mempunyai pengetahuan mengenai objek (fenomena). Bisa dikatakan bahwa kebenaran seperti itu merupakan kebenaran subjektif apabila berbeda antara satu subjek dengan subjek lainnya. Adapun kebenaran subjektif adalah kebenaran yang melibatkan persepsi/ sudut pandang manusia sebagai pengamatnya. Sebagai contoh adalah tiga orang buta yang mengamati gajah. Orang buta yang pertama mengatakan bahwa gajah itu besar seperti tiang. Padahal yang dipegangnya adalah kaki gajah. Orang buta kedua mengatakan bahwa gajah itu kecil dan panjang. Padahal yang dipegang adalah ekor gajah. Sementara orang buta yang ketiga mengatakan bahwa gajah itu pipih dan lebar. Padahal yang dipegangnya adalah telinga gajah. Kesimpulan tentang gajah yang seperti itu justru merusak kebenaran tentang bentuk gajah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kemampuan dalam menggali informasi/ pengetahuan mengenai suatu obyek. Hal tersebut dilakukan supaya kebenaran yang didapat adalah kebenaran yang objektif, atau setidaknya mendekati. Supaya mampu mendekati kebenaran yang objektif, diperlukan akal sehat.
Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Manusia dibekali Allah dengan akal. Manusia dibekali akal untuk mencari kebenaran. Manusia secara umum mampu membuktikan kebenaran pada tingkatan common sense. Pada tingkatan tersebut, rasional itu sepenuhnya. Artinya, untuk mengetahui kebenaran suatu objek itu bisa dibuktikan oleh orang pada umumnya. Tingkatan berikutnya adalah sciences. Kebenaran pada tingkatan tersebut dapat dibuktikan secara empiris. Namun demikian tidak semua orang mampu melakukan pembuktian secara empiris. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar cenderung rasional dan selebihnya adalah keyakinan. Oleh karenanya tidak semua orang menjadi dokter, arsitek, peneliti, dan ahli yang serupa lainnya. Orang yang tidak menjadi dokter, arsitek, peneliti, dan ahli yang serupa lainnya itu cukup meyakininya. Tingkatan berikutnya adalah philosophy. Pada tingkatan ini perlu penghayatan dalam menghadapi suatu fenomena. Ketika filsuf mengamati suatu fenomena, pasti mengawali pertanyaan dengan kata “mengapa”. Sedikit sekali orang yang memiliki kemampuan tersebut. Hal itu membuat orang yang rasional lebih sedikit dari pada keyakinan. Namun berbeda pada tingkatan religion. Pada tingkatan ini, keyakinan justru penuh. Hal tersebut karena dasar ilmu agama adalah wahyu. Sebagai contoh, manusia dikabari tentang adanya surga dan neraka. Sampai saat ini tidak ada manusia yang mampu membuktikan adanya surga dan neraka. Namun surga dan neraka cukup diyakini kebenarannya.
Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Kita tahu bahwa dasar ilmu agama adalah wahyu. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk mempelajari sumber agama, yaitu Alquran dan Sunah. Selain itu dalam mempelajari Alquran dan Sunah, kita juga memerlukan akal sehat untuk memahaminya. Akal sehat diperlukan agar tidak terjadi kesalahan berpikir (logical falacy). Artinya, apabila mampu memberdayakan akal sehat, maka pelajaran yang telah diwahyukan dapat dipetik. Allah SWT berfirman,
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Artinya: Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat (QS. Al Baqarah: 269).
Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Ayat tadi berisi nasihat umum. Disebutkan dalam ayat tadi bahwa hikmah adalah kebaikan yang banyak. Hikmah yang dimaksud pada Alquran Surat Al Baqarah ayat 269 adalah kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia syariat agama. Orang-orang yang mampu memahami pelajaran pada sumber syariat agama (Alquran dan Sunah) adalah orang yang mempunyai akal sehat. Alquran adalah pembeda antara yang hak dan yang batil. Allah SWT berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ
Artinya: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar/ hak dan yang batil). ... . (QS. Al Baqarah: 185).
Melalui Alquran Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan bahwa Alquran diturunkan pada Bulan Ramadan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah (1) sebagai petunjuk; (2) berisi penjelasan tentang petunjuk; dan (3) pembeda antara yang hak dan batil. Oleh karenanya, kita sebagai umat Islam mengikuti kemana saja petunjuk Alquran. Jadikan Alquran di depan kita sebagai penunjuk jalan. Bukan malah kita seret di belakang kita, diseret mengikuti hawa nafsu. Na’udzubillah.
Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Rasulullah telah mewasiatkan kepada umat Islam supaya berpegang pada dua perkara. Adapun dua perkara yang Rasulullah sebutkan akan membimbing manusia ke jalan keselamatan. Dua perkara yang dimaksud sebagaimana hadis berikut.
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا مَسَكْتُمْ بـِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ. مالك، فى الموطأ 2: 899
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Kutinggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya". (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ juz 2, hal. 899).
Melalui hadis tadi telah dijelaskan apabila kita berpegang teguh pada dua perkara, yaitu Alquran dan Sunah, maka kita tidak akan sesat. Oleh karenanya, sudah menjadi keharusan bagi kita umat Islam mentaati aturan Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan sumber aturan Islam. Tidak mungkin bisa mentaati aturan Islam apabila tidak mampu mengambil pelajaran pada Alquran dan Sunah dengan menggunakan akal sehat. Allah SWT sudah mengetahui akan kemampuan bernalar manusia, maka Allah pun menurunkan Alquran yang mudah dipahami manusia. Selain itu, Allah juga mengutus Rasul dari kalangan manusia sendiri untuk diikuti.
Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Kita tahu bahwa dasar ilmu agama adalah wahyu. Ajaran agama Islam sampai kepada kita secara estafet dari masa kenabian/ Nubuwah, kemudian ke masa Salaf, hingga akhirnya masa Khalaf. Masa kenabian itu masa dimana Nabi masih hidup. Masa salaf merujuk pada masa tiga generasi setelah masa kenabian, yaitu generasi sahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in. Sementara itu, masa khalaf mulai dari generasi tabi’ul atba’ dan seterusnya. Umat Islam dengan akal sehatnya bisa mengambil pelajaran agama Islam dari berbagai ulama salih dari masa-masa tersebut. Hal tersebut karena kebenaran pemahaman ajaran Agama Islam tidak hanya dibatasi pada orang yang mendengar langsung dari Nabi. Orang yang tidak mendengar langsung bisa jadi lebih paham. Sebagaimana hadis menjelaskan.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ اَوْعَى مِنْ سَامِعٍ. الترمذى 4: 142، رقم: 2795، و قال: حديث حسن صحيح
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud RA, ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengar sesuatu dariku lalu menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, karena kadangkala orang yang diberi penyampaian itu lebih bisa memahami daripada orang yang mendengar langsung". (HR. Tirmidzi juz 4, hal. 142, no. 2795, ia berkata: "Ini hadis Hasan Shahih")
Maasyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
No comments:
Post a Comment