Wednesday, June 21, 2017

Kultum: Samudra Dunya




Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.

Pernah kita berwisata ke pantai. Saat kita melihat samudera nan jauh disana, dari kejauhan kita melihat ombak yang mendekat menyapu bibir pantai. Ombak-ombak tersebut menjadi salah satu daya tarik pantai dan kekaguman kita karena panorama alam yang indah dan ada beberapa yang digunakan untuk berselancar oleh peselancar. Namun apa jadinya apabila ombak tersebut ukurannya lebih besar seperti yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu? Tentu samudera juga mematikan. Ombak yang kita kira indah juga bisa membunuh kita. Samudra terdiri dari air. Substansi sama yang tentunya menjadi kebutuhan manusia setiap harinya juga bisa mengakhiri hidup manusia sendiri. Bila kita melihat lebih jauh lagi, samudra bisa menopang kapal-kapal besar agar tetap terapung diatasnya akan tetapi juga mampu menghancurkannya sampai berkeping-keping.

Kehidupan dunya, atau duniawi seperti samudra dan hati kita sebagai kapal-kapalnya. Kita menggunakan samudera untuk kebutuhan kita dan sebagai sarana agar tujuan kita tercapai. Itulah makna samudra yang merupakan sarana untuk mencari makan, berpergian, sarana mencari tujuan yang lebih luhur. Laut adalah yang kita lewati dan bukan menjadi tempat tinggal kita. Kita tidak bisa terus-terusan diatas laut karena bisa jadi akan tenggelam.

Kapal akan terus mengapung bila air laut terus berada diluar kapal. Namun bila terjadi kebocoran kapal dan air laut masuk kedalam kapal menyebabkan kapal tenggelam. Begitu jugalah kita jika dunya masuk kedalam hati kita, kita akan tenggelam kedalam dunya.

Saat kita tenggelam kedalam dunya, hati kita tersandera dan menjadi budak. Dunya yang semula dapat kita kendalikan akan mengendalikan kita. Ibarat kapal yang telah mengalami kebocoran sehingga kapal tak lagi bisa dikendalikan dan akhirnya karam.

Supaya kapal kita tetap terapung, kita mesti melihat dunia ini dengan cara pandang yang sama karena Allah telah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 190:

إِنَّ فِى خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلٰفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَءَايٰتٍ لِّأُو۟لِى الْأَلْبٰبِ.
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Ditambah lagi firman Allah SWT pada Surat An Nur ayat 44:

يُقَلِّبُ اللَّـهُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُو۟لِى الْأَبْصٰرِ.
44. Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.

Dunya diciptakan agar kita pergunakan sekaligus kita hidup di dunya ini. Kita berlaku zuhud bukan berarti kita tidak bisa berinteraksi dengan dunia. Sebagaimana dalam suatu riwayat:

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi SAW dan bertanya tentang ibadah Nabi SAW. Setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah SAW, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah SAW kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari No. 5063).

Rasulullah tidak memisahkan dirinya dari dunya. Pemisahan yang dilakukan jauh lebih dalam, yaitu pemisahan hati. Keterikatan beliau adalah kepada Allah SWT karena beliau memahami firman Allah pada Surat Al Ankabut ayat 64:

وَمَا هٰذِهِ الْحَيَوٰةُ الدُّنْيَآ إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْءَاخِرَةَ لَهِىَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ.
64. dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.

Pemisahan bukan diartikan tidak boleh memiliki benda-benda duniawi. Sebab dalam melaksanakan ibadah, kita memerlukan harta benda misalnya untuk shodaqoh, menunaikan ibadah haji dan amal shaleh lainnya. Selain itu pada jaman Rasulullah, para sahabat Rasulullah kaya raya. Pemisahan berarti memandang dan berinteraksi dengan dunya dalam arti yang sebenarnya, yaitu sekedar suatu sarana. Pemisahan ialah ketika kita menyimpan dunya di tangan dan bukan di hati. Hal itu sesuai pernyataan Ali bahwa: “Zuhud bukan berarti kamu tidak boleh memiliki sesuatu, melainkan tidak ada sesuatu pun yang boleh memilikimu”.

Layaknya air laut yang masuk kapal, ketika kita biarkan dunya masuk hati kita maka kita akan tenggelam. Air laut dimaksudkan hanya sebagai sarana yang harus tetap berada di luar kapal. Dunya juga tidak dimasukkan kedalam hati kita. Sebab dunya hanya sarana yang tidak boleh masuk dan mengendalikan kita. Dunya bukan tujuan kita.

Seperti dalam Surat Al Ankabut ayat 64 tadi, kehidupan dunia hanyalah senda gurau dan main-main, dan akhirat adalah yang sebenar-benarnya kehidupan. Dunya hanyalah fana (bersifat sementara). Akhir setelah kehidupan ini usai, seluruh manusia akan kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggung-jawabkan dari segala apa yang diperbuat dalam hidup di dunia ini. Sesuai firman Allah SWT yang sudah terabadikan pada Surat Az Zumar ayat 7:

إِن تَكْفُرُوا۟ فَإِنَّ اللَّـهَ غَنِىٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا۟ يَرْضَهُ لَكُمْ ۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُورِ.
7. Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu[1] dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[2]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu.
[1] Maksudnya: manusia beriman atau tidak hal itu tidak merugikan Tuhan sedikitpun.
[2] Maksudnya: masing-masing memikul dosanya sendiri- sendiri.