Sunday, November 26, 2017

Kultum: Bahaya Lisan





Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.

Manusia dalam kehidupan sehari-hari saling berinteraksi antara satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Fenomena tersebut membuat ilmuwan terdahulu yaitu Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah makhluk zoon politicon, yang maksudnya manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Interaksi bisa diartikan suatu tindakan yang terjadi bila dua pihak atau lebih manusia saling mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. 

Pada pengertian lain, interaksi merupakan suatu peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, yang kemudian berkomunikasi satu sama lain. Masyarakat pada umumnya berkomunikasi secara lisan atau verbal yang mudah dimengerti. Komunikasi sendiri artinya adalah suatu proses penyampaian informasi baik pesan, ide, dan gagasan dari satu pihak ke pihak lain. Dalam penyampaian informasi, manusia acap kali kebablasan sehingga timbullah berbagai informasi yang tidak benar dan tidak patut untuk disebarluaskan.

Berbagai persitiwa kebablasan dalam penyampaian informasi berdampak bagi seseorang, kelompok atau pihak-pihak tertentu. Dalam koridor Islam, hal tersebut telah diatur supaya manusia tidak terpeleset menjadi orang yang dhalim. Sebab Islam tidak hanya mengatur urusan beribadah tetapi juga termasuk didalamnya adalah bermuamalah. Dengan demikian, dalam bermuamalah kita perlu memperhatikan rambu-rambu dari Alloh SWT dan Rasulullah SAW. Sehingga pada suatu pertemuan kita mampu menghindari pembicaraan yang berupa suudzon, tajassus, ghibah, dan namimah. Perintah tersebut disebutkan dalam Al Quran Surat Al Hujurat (49) ayat 11:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِالْأَلْقٰبِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (memperolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang memperolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim. [QS. Al-Hujurat : 11]

Dalam ayat tersebut telah tertulis jelas bahwa kita dilarang untuk mengolok-olok orang lain karena bisa jadi mereka lebih baik dari kita dan perintah untuk tidak mencela diri sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk. Agar kita tidak termasuk orang-orang yang dhalim, maka perlu kita ketahui bersama apa itu suudzon, tajassus, ghibah, dan namimah.

1.    Suudzon
Suudzon artinya adalah prasangka buruk. Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya. Berbagai prasangka terlintas didalam pikiran misalnya, si A begini, si B begitu, si C demikian, si D demikian dan demikian. Parahnya, persangkaan tersebut tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat suka curiga dan penuh sangka seseorang kepada orang lain, lalu membiarkan zhan (dugaan) tersebut bersemayam di dalam hati dan bahkan membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal suudzon kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/ bukti merupakan perkara yang terlarang.
Larangan tersebut tertuang dalam Surat Al-Hujurat (49) ayat 12 sebagai berikut:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ اجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu mempergunjingkan sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [QS. Al-Hujurat : 12]

Dan dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِيَّاكُمْ وَ الظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ اْلحَدِيْثِ. وَ لاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَنَافَسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَ لاَ تَبَاغَضُوْا وَ لاَ تَدَابَرُوْا، وَ كُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا. مسلم 4: 1985
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhkanlah diri kalian dari berprasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan (hati), janganlah kalian mendengar-dengarkan (pembicaraan orang lain) dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah kalian bersaing yang tidak sehat, janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling membenci dan janganlah saling membelakangi. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”. [HR. Muslim juz 4, hal. 1985]

2.    Tajassus
Tajassus merupakan mencari-cari kesalahan orang lain, terutama yang terus ingin dicari aibnya adalah orang-orang beriman. Larangan tajassus sudah termaktub dalam Surat Al-Hujurat (49) ayat 12 dan hadist tadi. Allah SWT melarang kita untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Entah itu dengan menyelidikinya secara langsung atau dengan bertanya kepada temannya. Tajassus biasanya merupakan kelanjutan dari prasangka buruk sebagaimana yang Allah SWT dan Rasulullah larang dalam beberapa kalimat sebelum pelarangan sikap tajassus.

3.    Ghibah
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, baik tentang agama, kekayaan, akhlak, atau bentuk lahiriyahnya, sedang seseorang tersebut tidak suka bila hal itu disebutkan. Hal tersebut dilakukan dengan cara membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal ghibah adalah sesuatu yang keji dan kotor. Pengertian ghibah terdapat pada hadist berikut:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اَ تَدْرُوْنَ مَا اْلغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَ رَسُوْلُهُ اَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ اَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: اَفَرَأَيْتَ اِنْ كَانَ فِى اَخِى مَا اَقُوْلُ؟ قَالَ: اِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَ اِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ. مسلم 4: 2001
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda (kepada para shahabatnya), “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Para shahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “(Ghibah) ialah kamu menyebut tentang saudaramu dengan apa-apa yang dia tidak suka”. Ada yang bertanya kepada beliau, “Bagaimana pendapat engkau jika keadaan saudaraku itu memang betul-betul seperti apa yang aku katakan?”. Rasulullah SAW bersabda, “Jika keadaan saudaramu itu betul seperti apa yang kamu katakan, maka sungguh kamu telah berbuat ghibah kepadanya. Dan jika (apa yang kamu katakan itu) tidak ada padanya, maka berarti kamu telah berbuat buhtan (kebohongan) kepadanya”. [HR. Muslim juz 4, hal. 2001]

4.    Namimah
Namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Alloh tidak suka kepada orang yang menyebarkan berita yang dasarnya hanya "katanya dan katanya" untuk tujuan adu domba, dan Allah SWT berfirman:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ. هَمَّازٍ مَّشَّآءٍۭ بِنَمِيمٍ. مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ. عُتُلٍّۭ بَعْدَ ذٰلِكَ زَنِيمٍ.

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian-kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya. [QS. Al-Qalam (68): 10-13].

Orang yang melakukan namimah tidak akan masuk surga. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut:

عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: كُنَّا جُلُوْسًا مَعَ حُذَيْفَةَ فِى الْمَسْجِدِ. فَجَاءَ رَجُلٌ حَتَّى جَلَسَ اِلَيْنَا. فَقِيْلَ لِحُذَيْفَةَ: اِنَّ هَذَا يَرْفَعُ اِلَى السُّلْطَانِ اَشْيَاءَ. فَقَالَ حُذَيْفَةَ اِرَادَةَ اَنْ يُسْمِعَهُ: رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ. مسلم 1: 101
Dari Hammam bin Harits, ia berkata: Dahulu ketika kami sedang duduk bersama Hudzaifah di masjid, datanglah seorang laki-laki ikut duduk diantara kami, lalu dikatakan kepada Hudzaifah, “Sesungguhnya orang ini suka melaporkan omongan-omongan kepada penguasa”. Maka Hudzaifah berkata agar didengar orang tersebut: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka berbuat namimah”. [HR. Muslim juz 1, hal 101]

Oleh sebab itu kita sebagai kaum muslim semestinya berhati-hati dalam berinteraksi. Jangan hanya karena miskomunikasi, umat jadi terpecah belah. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk taat kepada Alloh dan Rasul-Nya, serta tidak berbantah-bantahan karena justru akan memperlemah umat. Hal tersebut sebagaimana dalam surat Al Anfaal (8) ayat 46: 

وَأَطِيعُوا۟ اللَّـهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ اللَّـهَ مَعَ الصّٰبِرِينَ.
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [QS. Al-Anfaal : 46]

Seorang muslim merupakan saudara bagi muslim lainnya. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 10:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. [QS. Al-Hujurat: 10]

Sunday, October 15, 2017

Kultum: Pedoman Bersuci Untuk Menggapai Syarat Sahnya Sholat





Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Dalam syariat Islam, yang dimaksud dengan bersuci adalah menghilangkan perkara yang dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah, diantaranya shalat. Perkara tersebut dapat berupa hadats ataupun najis. Hukum bersuci dari najis adalah wajib sesuai kemampuan yang bisa dilakukan oleh seseorang, sedangkan hukum bersuci dari hadats adalah wajib dalam rangka sahnya shalat seseorang.


Hadats adalah istilah yang menunjukkan kondisi badan seseorang yang sedang tidak suci. Hadats terbagi dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil dalam bersuci cukup berwudhu atau tayamum terlebih dahulu sebelum sholat. Di antara yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi berhadats kecil adalah setelah buang air kecil, setelah buang air besar, kentut, dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan hadats besar dalam bersuci harus mandi janabah terlebih dahulu sebelum sholat. Apabila tidak ada air, maka mandi janabah bisa digantikan dengan tayamum. Diantara yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi berhadats besar adalah setelah keluarnya air madzi, berhenti dari haidh dan nifas.


Najis atau Rijs adalah sesuatu yang dipandang kotor oleh syara’/ hukum agama. Berdasarkan keterangan yang diambil dari ayat dan berbagai hadits, najis terbagi menjadi tiga diantaranya: (1) Najis Aqidah merupakan kotor dalam kepercayaan atau keyakinan; (2) Najis untuk dimakan/ diminum adalah benda-benda yang haram hukumnya untuk dimakan/ diminum; (3) Najis disentuh yang merupakan suatu kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk mencuci/ membersihkannya bila kita menyentuh/ tersentuh oleh benda-benda yang najis hukumnya. Menurut kaidah ushul (berbagai aturan untuk menetapkan suatu hukum agama), asal segala sesuatu benda itu adalah halal dan suci serta boleh dipergunakan untuk apa saja, kecuali bila ada keterangan agama berdasarkan Al Quran dan hadits sahih yang mencegahnya. Oleh sebab itu dalam menetapkan bahwa sesuatu benda itu tergolong najis, wajib ada nash Al Quran dan hadits shahih yang menjelaskannya, sehingga dalam hukum agama hal yang wajib kita untuk mensucikannya antara lain: (1) kotoran manusia; (2) kencing manusia; (3) air madzi; (4) darah haid; dan (5) darah nifas.


Bersuci merupakan hal penting dalam implementasi Rukun Islam yang kedua di kehidupan sehari-hari, yaitu sholat. Seorang muslim dengan seorang non-muslim yang membedakannya adalah sholat. Dalam ibadah sholat, sangat erat sekali hubungannya dengan wudlu. Sholat seseorang akan tidak sah apabila wudlunya tidak sempurna. Oleh karena itu kita harus memperhatikan sejak dari wudlu untuk memperoleh sholat yang sah. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT:
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْآ اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ اَيْدِيَكُمْ اِلَى اْلمَرَافِقِ وَ امْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَ اَرْجُلَكُمْ اِلَى اْلكَعْبَيْنِ. المائدة:6
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki ... [QS. Al-Maidah : 6]


Ayat tersebut menerangkan bahwa orang yang hendak shalat (dan berhadats kecil) wajib hukumnya untuk berwudlu. Adapun tatacara berwudlu berdasar sunnah-sunnahnya adalah sebagai berikut: (1) membaca basmalah; (2) membasuh dua tangan sampai pergelangan; (3) berkumur dan menaikkan air ke hidung, lalu menghembuskannya; (4) membasuh muka hingga rata; (5) membasuh kedua tangan hingga siku-siku sampai rata; (6) mengusap kepala dengan air yang ada pada kedua telapak tangan dan langsung telinga sebanyak satu kali; (7) membasuh kaki hingga mata kaki dan meratakannya; (8) membaca syahadat. Adapun penjelasan tata cara wudlu beserta sunnah-sunnahnya ialah sebagai berikut:


1.    Membaca Basmalah
Sebelum berwudlu hendaknya mengucap basmalah terlebih dahulu. Hal tersebut dijelaskan dalam hadist berikut:
 عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رض. قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ. ابن ماجه 1: 140
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda,  “Tak ada shalat bagi orang yang tidak berwudlu, dan tidak ada wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya”. [HR. Ibnu Majah 1 : 140].
Hadist tersebut menerangkan bahwa kita diperintahkan untuk mengucap basmalah sebelum berwudlu sebagai wujud menyebut asma Allah SWT.


2.    Membasuh Dua Tangan Sampai Pergelangan
Basuh kedua telapak tangan dengan air hingga pergelangan dengan mendahulukan yang kanan. Hal tersebut berdasarkan hadist berikut:
عَنْ اَوْسِ بْنِ اَوْسٍ الثَّقَفِيّ رض قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص تَوَضَّأَ فَاسْتَوْكَفَّ ثَلاَثًا أَيْ غَسَلَ كَفَّيْهِ. احمد و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 162
Dari Aus bin Aus Ats-Tsaqafiy RA, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW berwudlu, maka beliau memulai dengan membasuh telapak tangannya tiga kali, yaitu mencuci dua telapak tangan beliau”. [HR. Ahmad dan Nasai, dalam Nailul Authar 1 : 162]


3.    Berkumur dan menaikkan air ke hidung, lalu menghembuskannya
Caranya adalah dengan mengambil air seciduk dengan telapak tangan kemudian sebagian air digunakan untuk berkumur dan sebagian dinaikkan untuk dimasukkan ke hidung. Hal tersebut sebagaimana hadist berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: اَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص بِاْلمَضْمَضَةِ وَ اْلاِسْتِنْشَاقِ. الدارقطنى، فى نيل الاوطار 1: 170
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW menyuruh berkumur dan menghirup air ke hidung”. [HR. Daruquthni, dalam Nailul Authar 1 : 170]


4.    Membasuh muka hingga rata
Caranya adalah dengan mengambil air dengan dua telapak tangan, lalu dibasuhkan ke muka sampai merata. Dasar hadistnya ialah sebagai berikut:
عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى اْلمَازِنِيِّ رض قَالَ: قِيْلَ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ يَوْمًا: تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ ص: فَدَعَا بِاِنَاءٍ فَاَكْفَأَ مِنْهُ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثًا، ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ مِنْ كَفًّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذلِكَ ثَلاَثًا، ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ اِلَى اْلمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَاَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَ اَدْبَرَ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ اِلَى اْلكَعْبَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا كَانَ وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ. احمد و البخارى و مسلم
Dari ‘Amr bin Yahya Al-Mazani RA, ia berkata, “Pada suatu hari ada orang meminta kepada ‘Abdullah bin Zaid supaya menerangkan (memberi contoh) tentang wudlunya Rasulullah SAW. Maka ‘Abdullah bin Zaid meminta bejana berisi air lalu menuangkan air atas kedua tangannya dan membasuhnya tiga kali. Sesudah itu beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana untuk menceduk air dan berkumur-kumur, menghirupnya ke hidung dan menghembuskannya, dari satu telapak tangannya, beliau mengerjakan tangannya lagi ke dalam bejana untuk menciduk air dan terus membasuh mukanya tiga kali, sesudah itu beliau memasukkan tangannya untuk menceduk air dan membasuh kedua tangan hingga siku dua kali. Sesudah itu, beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana, lalu mengeluarkannya dan menyapu kepala dengan dua tangannya ke depan dan ke belakang (beliau mengusapkan kedua tangannya sampai ke belakang hingga ke tengkuk dan mengembalikan ke muka lagi). Sesudah itu beliau membasuh kakinya hingga dua mata kaki. Kemudian beliau berkata, “Beginilah wudlunya Rasulullah SAW”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].


5.    Membasuh kedua tangan hingga siku-siku sampai rata
Caranya adalah dengan mengambil seciduk air dengan telapak tangan kanan atau dengan dua tangan untuk mencuci tangan kanan dengan rata sampai siku-siku. Lalu ambil seciduk air dengan tangan kiri atau dengan dua tangan untuk mencuci tangan kiri dengan rata sampai siku-siku. Hal tersebut sebagaimana ‘Abdullah bin Zaid dalam memperagakan wudlu Rasullullah SAW demikian:
 ...ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ اِلَى اْلمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ.... مسلم
... kemudian ia masukkan tangannya (untuk menciduk air) lalu ia keluarkan, terus dicucinya kedua tangannya sampai siku-sikunya.... [HR. Muslim, juz 1 hal. 210]


6.    Mengusap kepala dengan air yang ada pada kedua telapak tangan dan langsung telinga sebanyak satu kali
Caranya adalah dengan membasahi kedua telapak tangan dan letakkan di kepala sebelah depan, lalu sapukan tangan tersebut kebelakang kepala, kemudian kembalikan menyapu kedepan, lalu turunkan tangan itu, terus disapukan/ diusapkan pada dua telinga dengan memasukkan jari telunjuk kedalam telinga untuk menyapu/ mengusap daun telinga yang sebelah dalam, dan ibu jari untuk menyapu/ mengusap daun telinga sebelah luar. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan pada hadist berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَاَقْبَلَ بِهِمَا وَ اَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا اِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا اِلَى اْلمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ. الجماعة، فى نيل الاوطار 1: 183
Dari ‘Abdullah bin Zaid RA, bahwasanya Rasulullah SAW mengusap kepala beliau dengan kedua tangannya, beliau tarik kedua tangan itu ke depan dan ke belakang. Beliau memulai dari bagian depan kepala, lalu mengusap dengan kedua tangannya itu sampai ke tengkuknya, kemudian mengembalikan kedua tangan itu ke tempat memulainya tadi. [HR. Jama’ah, dalam Nailul Authar 1 : 183]


Lalu dalam hadist lain juga menerangkan sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رض قَالَ: ثُمَّ رَاَيْتُ النَّبِيَّ ص مَسَحَ بِرَاْسِهِ وَ اَدْخَلَ اُصْبُعَيْهِ السَّبَابَتَيْنِ فِى اُذُنَيْهِ وَ مَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ طَاهِرَ اُذُنَيْهِ. ابو داود و النسائى
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr RA, ia berkata, “Kemudian saya melihat Nabi SAW menyapu kepalanya dan memasukkan dua jari telunjuknya dalam lipatan daun telinganya dan mengusap bagian belakang telinganya dengan kedua ibu jarinya”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]


7.    Membasuh kaki hingga mata kaki dan meratakannya
Caranya adalah dengan membasuh kaki kanan terlebih dahulu sampai dengan mata kaki hingga bersih, kemudian membasuh kaki kiri sampai bersih. Hal tersebut dijelaskan dalam hadist berikut:
‘Abdullah bin Zaid dalam memperagakan wudlu Rasullullah SAW demikian:
... ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ اِلَى اْلكَعْبَيْنِ ....  البخارى و مسلم
... kemudian ia mencuci dua kakinya sampai dua mata kakinya .... [HR. Al Bukhari dan Muslim]


8.    Membaca syahadat
Perintah membaca syahadat untuk menyempurnakan wudlu diterangkan dalam hadist berikut:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَا مِنْكُمْ مِنْ اَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. اِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ ابْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ اَيِّهَا شَاءَ. احمد و مسلم و ابو داود، فى نيل الاوطار 1: 204
Dari Umar bin Khaththab RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang diantara kalian yang berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya, lalu membaca, “Asyhadu allaa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariika lah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh. (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya) melainkan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan, ia boleh masuk dari pintu manasaja yang ia kehendaki”. [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 204].


Umumnya kita membasuh anggota wudlu sebanyak tiga kali-tiga kali. Namun perlu kita melihat situasi keberadaan air yang ada dalam sebelum berwudlu. Keberadaan air yang sulit tetapi cukup untuk berwudlu, kita sebaiknya berwudlu dengan membasuh anggota-anggota wudlu dengan satu kali-satu kali atau dua kali-dua kali. Adapun membaca basmalah, mengusap kepala serta daun telinga, dan membaca syahadat tetap hanya sekali saja. Landasan dalam berwudlu dengan membasuh anggota wudlu dengan satu kali-satu kali ialah berdasarkan hadist sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً. الجماعة الا مسلما
Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW berwudlu sekali-sekali”. [HR. Jama’ah, kecuali Muslim]


Berwudlu dengan membasuh anggota wudlu sebanyak dua kali-dua kali dijelaskan dalam hadist sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ. احمد و البخارى
Dari ’Abdullah bin Zaid RA, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW berwudlu dua kali-dua kali”. [HR. Ahmad dan Bukhari]

Kemudian membasuh anggota wudlu sebanyak tiga kali-tiga kali berdasarkan pada hadist berikut:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا. احمد و مسلم
Dari ‘Utsman bin ‘Affan RA, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW berwudlu tiga kali-tiga kali”. [HR. Ahmad dan Muslim]


Apabila kita hendak melaksanakan sholat tetapi ternyata kita sedang tidak suci karena berhadats besar, maka kita harus mandi janabah terlebih dahulu. Mandi janabah atau yang populer dinamakan mandi besar/ mandi keramas merupakan mandi yang disyariatkan oleh agama bagi orang-orang yang hendak melaksanakan shalat bila berhadats besar. Tata cara mandi janabah bagi laki-laki yaitu: (1) membaca basmalah; (2) mencuci kedua tangan; (3) mencuci kemaluan; (4) berwudlu; (5) menyiram kepala sebanyak tiga kali; (6) meratakan/ membasuh air keseluruh tubuh secara merata; (7) mencuci kedua kaki. Adapun dalil pelaksanaannya ialah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يَاْخُذُ اْلمَاءَ فَيُدْخِلُ اَصَابِعَهُ فِى اُصُوْلِ الشَّعَرِ حَتَّى اِذَا رَاَى اَنْ قَدِ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ اَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. مسلم
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW apabila mandi janabat, beliau memulai dengan mencuci dua tangannya. Kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya pada tangan kirinya, lalu mencuci kemaluannya. Kemudian beliau berwudlu seperti wudlu untuk shalat, lalu mengambil air (dengan tangan) dan memasukkan jari-jari beliau pada pangkal-pangkal rambut, sehingga apabila dirasanya sudah merata, barulah beliau menyiram kepala beliau tiga kali dengan kedua tangan. Kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya, lalu mencuci kedua kaki beliau”. [HR. Muslim I : 253]


Sedangkan tata cara mandi janabah bagi perempuan secara umum sama dengan laki-laki, tetapi terdapat keringanan yaitu: bagian kepala cukup disiram tiga kali tanpa harus membuka sanggul rambutnya, kemudian menyiramkan air ke seluruh tubuh hingga rata. Adapun landasan dalil pelaksanaannya sebagai berikut:
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى امْرَاَةٌ اَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِيْ اَفَاَنْقُضُهُ لِغُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ، اِنَّمَا يَكْفِيْكِ اَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ اْلمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ. مسلم 1: 259
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya adalah seorang wanita yang memintal (nglabang) rambut saya, oleh karena itu apakah saya harus membukanya untuk mandi janabat ?”. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak, cukup bagimu hanya dengan menyiram kepalamu tiga kali siraman, kemudian kamu menyiramkan air ke seluruh tubuhmu. Dengan begitu kamu sudah bersih”. [HR. Muslim I : 259]


Sebagian kaum muslim yang berdomisili didaerah yang tidak terdapat air mendapatkan suatu keringanan bahwa ketika akan melaksanakan sholat cukup dengan tayammum. Orang bermukim yang tidak mendapat air maksudnya adalah walaupun ada air tetapi tempatnya sangat jauh menurut ukuran yang umum, atau tempatnya berbahaya. Selain itu juga walaupun ada air, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan diperlukan untuk keperluan penting lainnya (seperti minum dan memasak), sehingga adanya sama dengan tidak ada. Tayammum adalah suatu syariat agama sebagai pengganti wudlu/ mandi janabah bagi yang hendak melaksanakan sholat karena suatu keadaan. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam Al Quran, yaitu:
وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى اَوْ عَلَى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لَـمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ اَيْدِيْكُمْ.... النساء 43 و المائدة:6
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. [QS. An-Nisaa’ : 43 dan Al-Maaidah : 6]


Cara Tayammum yang dituntunkan Nabi SAW adalah sebagai berikut: (1) menepukkan tangan ke tempat yang suci dan mengandung debu dengan satu kali tepukan; (2) kemudian mengusapkannya ke muka dan pada kedua tangan hingga pergelangan; (3) boleh pula meniup-niupnya terlebih dahulu. Adapun dalil pelaksanaannya ialah sebagai berikut:
فَضَرَبَ النَّبِيُّ ص بِكَفَّيْهِ اْلاَرْضَ وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَ كَفَّيْهِ. البخارى 1: 87
Lalu Nabi SAW menepukkan kedua tangannya ke bumi, lalu meniup keduanya, kemudian menyapukannya ke muka dan dua tangannya (hingga pergelangan)”. [HR. Bukhari juz 1, hal 87]


Secara umum dapat kita ketahui bahwa sholat seseorang akan tidak sah apabila wudlunya tidak sempurna. Oleh karena itu kita harus memperhatikan sejak dari cara bersuci kita dengan memperhatikan kondisi kita apakah berhatats kecil atau besar dan ada tidaknya air. Bila berhadats kecil cukup dengan berwudlu dan bila berhadats besar perlu mandi janabah.  Apabila pada situasi tidak ada air maka bersuci untuk melaksanakan sholat ialah dengan tayammum. Demikian yang bisa saya haturkan. Mohon maaf apabila ada kesalahan dan terdapat tutur kata yang kurang berkenan. Mari kita tutup dengan doa penutup majlis.