Saturday, March 8, 2014

Kepiting Bakau


A. Klasifikasi Kepiting Bakau

Kepiting bakau tergolong dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla. Saat ini ada empat spesies dari genus Scylla, yakni Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan Scylla olivacea. Pembedaan keempat spesies ini dilakukan berdasarkan pada electrophoresis allozyme, pembagian mitokondria DNA dan analisis morphometrik.

Klasifikasi ilmiah bagi spesies Scylla serrata adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Subfamili : Portuninae
Genus : Scylla
Species : Scylla serrata
  Gambar 1. Kepiting Bakau
B. Ciri Penting Kepiting Bakau

Ciri- ciri kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri-kanannya terdapat Sembilan buah duri-duri tajam, dan pada bagian depannya diantaranya tangkai mata terdapat enam buah duri, sapit kanannya lebih besar dari sapit kiri dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi dengan alat pendayung.

Menurut Moosa et al. (1985) mendeskripsikan kepiting bakau sebagai berikut: karapas pipih dan agak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang, karapas umumnya berukuran lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagian daerahnya, tepi anterolateral bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar, terpisah dengan jelas dari sudut supra orbital, bergigi dua samapi enam buah, sungut kecil terletak melintang atau menyerong. Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua ruas terakhirnya. Perbedaan kepiting jantan dan betina terletak pada ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk seperti segitiga sedang pada betina berbentuk sedikit membulat dan lebih melebar.

Pola poligon dan warna kepiting bakau yakni Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari unggu, hijau sampai hitam kecoklatan. Duri pada dahi tinggi, sempit, dan agak tumpul, dasar cekungan (lembah) diantara dua duri membulat. Duri pada bagian luar cheliped memiliki sepasang duri tajam pada carpus dan. dua duri tajam pada propodus di bagian tepi atas, di belakang dactilus (Keenan, 1998).

C. Distribusi Kepiting Bakau

Distribusi merupakan gambaran pergerakan makhluk hidup dari suatu tempat ke tempat lain. Distribusi suatu spesies dalam satu area tertentu dapat disusun dalam tiga pola dasar yaitu acak, mengelompok dan teratur (reguler). Untuk menjelaskan fenomena pergerakan ini biasa digunakan istilah migrasi yakni pergerakan sejumlah besar spesies dari suatu tempat ketempat lain (Soetjipta, 1993).

Selanjutnya menurut Gunarto, dkk (2001) distribusi merupakan penyebaran spesies yang dipengaruhi oleh adanya selang geografi (geographic range) suatu perairan. Informasi mengenai distribusi kepiting bakau pada suatu perairan sangat membantu usaha penangkapan kepiting bakau, terutama berkaitan dengan kemudahan mendapatkan fishing ground dan nilai komersiel penangkapan.

Pola distribusi tergantung pada beberapa faktor antara lain : musim pemijahan, tingkat kelangsungan hidup dari tiap-tiap umur serta hubungan antara kepiting dengan perubahan lingkungan. Kepiting bakau biasanya terdapat pada dasar perairan lumpur berpasir, keberadaan mangrove dan masukan air laut sampai sungai (Sulaiman, 1992). Secara ekosistem, penyebaran kepiting bakau di bagi dua daerah, yaitu daerah pantai dan daerah perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan daerah nursery ground dan feeding ground kepiting bakau berada pada stadia muda; menjelang dewasa; dan dewasa, sedangkan diperairan laut merupakan spawning ground, kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad), zoea sampai megalops.

D. Habitat Kepiting Bakau

Kepiting bakau biasanyalebih menyukai tempat yang agak berlumpur dan berlubang-lubang di daerah hutan mangrove. Moosa et al., (1985) menyatakan bahwa distribusi kepiting menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam.

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting melakukan perkawinan diperairan bakau, setelah selesai maka secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, ditambak atau sekitar perairan pantai yang berlumpur dan memiliki organisme makanan berlimpah (Kasry, 1991).

E. Reproduksi

Kepiting betina yang telah berupaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakuan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai, sebanyak lima kali (Zoea V), kemudian berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang (Toro, 1992). Pada tingkat megalopa ini dia mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian keperairan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan.

Gambar 2. Siklus hidup kepiting bakau

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan spesies yang khas berada di kawasan bakau. Pada tingkat juvenil, kepiting bakau jarang terlihat di daerah bakau, karena lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur. Juvenil kepiting bakau lebih menyukai tempat terlindung seperti alur-alur laut yang menjorok kedaratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau. Kepiting bakau baru keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit kepiting bakau kembali membenamkan diri, sehingga kepiting bakau digolongkan hewan malam (nokturnal). Dalam mencari makan kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (omnivorous) dan pemakan bangkai (scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan plankton (Soim, 1999). Kepiting menggunakan sapitnya yang besar untuk makan, yaitu menggunakan sapit untuk memasukan makanan ke alam mulutnya. Kepiting mempunyai kebiasaan unik dalam mencari makan, bila di daerah kekuasaannya diganggu musuh, misalnya oleh kepiting lain, kepiting dapat saja menyerang musuhnya dengan ganas.

F. Daftar Referensi

Gunarto, Daud, Pirzan dan Utojo. (2001). Pematangan Gonad kepiting Bakau, Scylla spp. di Perairan Mangrove Muara Sungai Cenranae Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 7(1) : 47-52.

Kasry, A. (1991). Budidaya kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit PT. Bhratara Niaga Meda, Jakarta.

Keenan, C.P. (1998). A Revision of the Genus Scylla De Haan ( crustacea: decapoda, brachyura, portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology. National University of Singapore, 217-245.

Moosa, M.K, 1985. Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) Dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Jakarta.

Soetjipta. (1993). Dasar-dasar Ekologi Hewan. Depdikbud. Jakarta.

Soim, A. (1999). Budidaya Kepiting Bakau. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sulaiman, Hanafi. (1992). Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Kegiatan Produksi Kepiting Bertelur dengan Sistem Kurungan Tancap. Buletin Penelitian Perikanan 1 (2) : 43-49.

Toro, A.V. (1982). Pengetahuan Segi-segi Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) di Perairan Segara Anakan, Cilacap. Kongres Nasional V. Seminar II Ekosistem Mangrove. Prosiding. Baturaden 3-5 Agustus 1982. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.