Friday, January 1, 2021

Syarat Hadis Dikatakan Shahih


 

Rujukan dalam hukum Agama Islam adalah Alquran dan Sunah. Alquran sudah jelas kebenarannya dan tidak diragukan lagi isi dari padanya. Selain Alquran, sunah Rasulullah SAW menjadi rujukan dalam Agama Islam. Sunah Rasulullah SAW terdapat dalam berbagai hadis. Ketika kita mendengarkan kajian ilmu agama atau ceramah para Alim Ulama, Kyai, Dai, maupun Ustadz sering mendengar istilah hadis shahih. Sebenarnya apa maksud hadis shahih? Supaya pertanyaan tersebut terjawab, mari kita simak penjelasan singkat berikut terkait hadis shahih.

 

Hadis sahih adalah hadis yang sanandnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis tersebut tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat). Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Syarh Manzhumah Al Baiquniyah.

 

3 - أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ ... إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ

 

Artinya: (3) Yang pertama hadis shahih yaitu yang sanadnya bersambung tanpa adanya syadz dan illat.

 

Selain hal tersebut, hadis shahih kemudian dijelaskan sebagaimana berikut.

 

4 - يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ ... مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ

 

Artinya: (4) Yang diriwayatkan dari perawi adil dan dhabit dari yang semisalnya yang diakui kedhabitan dan penukilannya.

 

Secara umum pengertian hadis shahih secara eksplisit mengambil pengertian sebagaimana dari syarat-syarat hadis dikatakan shahih. Adapun shahih secara bahasa artinya sehat lawannya sakit, atau terbebas dari aib dan keraguan. Secara istilah dapat didefinisikan sebagai hadits yang terpenuhi 5 syarat. Hal tersebut dapat disimak pada penjelasan singkat berikut.

 

1.       Sanadnya Bersambung (اِتِّصَالُ السَّنَدِ)

Sanadnya bersambung (ما اتصل إسناده) maksudnya adalah dari satu rawi ke rawi berikutnya benar-benar mendengar yang ada di atasnya bersambung hingga kepada pengucapnya.  Sanad tersambung mulai dari mukharrij hadis sampai pada periwayat pertama (kalangan sahabat) yang memang langsung bersangkutan dengan nabi. Oleh karenanya hadis shahih harus memiliki sanad yang bersambung dari pencatat hadis, para rawi, hingga Nabi Muhammad SAW. Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta dikatakan hadis shahih. Hal tersebut karena ada yang istilah hadis yang sanadnya bersambung dengan istilah hadis musnad. Menurut Ibn Abd al-Barr, hadis musnad adalah hadis yang didasarkan pada hadis Nabi (sebagai hadis marfu’), sanad hadis musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’). Hadis tersebut bisa dijadikan patokan menetukan keshahihan hadis. Para ulama hadis bersepakat bahwa hadis musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, tapi hadis marfu’ belum tentu hadis musnad. Ada pula istilah dengan sebutan hadis muttashil atau mawshul. Ibn al-Shalah dan al-Nawawi memberikan pengertian bahwa hadis muttashil atau mawshul merupakan hadis yang sanadnya bersambung, baik bersambung sampai kepada Nabi (marfu’) maupun hanya disandarkan pada sahabat Nabi (mauquf). Selain itu ada juga yang maqthu’ (disandarkan pada tabi’in). Oleh karenanya, sebuah hadis yang sanandnya bersambung tidak bisa serta merta dijadikan patokan untuk menentukan keshahihan hadis. Hal tersebut berbeda dengan hadis musnad. Hadis yang terputus (munqathi’) terdapat informasi yang terputus dari Nabi SAW.

 

2.       Para Perawinya Adil (عَدَالَةُ الرُّوَاةِ)

Para perawinya adil (يَرْوِيهِ عَدْلٌ) maksudnya adil (عَدَالَةُ) adalah sebuah sifat yang mendorong seorang rawi senantiasa bertakwa sehingga bersegera dalam ketaatan, menjauhi dosa besar, dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Takwa dan rasa takut kepada Allah ini menjadikan seorang rawi tidak bertindak khianat dalam periwayatan. Hal tersebut baik berdusta, menambah, mengurangi, atau yang lainnya. Imam Asy-Syafi’i mendefinisikannya:

 

العَدْلَ: العَامِلُ بِطَاعَتِهِ، فَمَنْ رَأَوْهُ عَامِلاً بِهَا كَانَ عَدْلاً، وَمَنْ عَمِلَ بِخِلَافِهَا كَانَ خِلاَفَ الْعَدْلِ

 

Artinya: Adil adalah orang yang mengerjakan ketaatan-Nya. Siapa melihat orang itu melakukannya berarti orang itu adil, tetapi siapa yang melakukan kebalikannya berarti dia menyelisihi adil (Ar-Risalah I/ 34 oleh Asy-Syafi’i).

 

Oleh karenanya, ukuran muhadditsin dalam menilai perawi adalah zahirnya. Hal tersebut meskipun apa-apa yang ditampakkan terkadang berbeda dengan apa yang disembunyikan. Merujuk pada definisi adil, seakan-akan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa penilaian keshalihan perawi berdasarkan apa yang nampak dan kabar yang sampai. Adapun hati itu bukan urusan penilaian keshalihan perawi dan justru menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Oleh karenanya Muhadditsin berkata, “Kami menghukumi berdasarkan zahirnya.”

 

3.       Para perawinya Dhabt sempurna (ضَبْطُ الرًّوَاةِ تَمَام الضَّبْطِ)

Secara bahasa dhabt artinya kuat, terjaga, teliti, dan cermat. Adapun dhabt yang dimaksud adalah kuat dan terjaganya periwayatan perawi baik dalam hafalan maupun kitab. Oleh karenanya, dhabt terbagi menjadi dua, yaitu kuat hafalan dan terjaganya kitab.

 

a.         Kuat hafalan (ضَبْطُ صَدْرٍ)

Termasuk kuat hafalan yaitu seorang perawi memiliki hafalan yang kuat dan akurat sehingga dia bisa menghadirkannya kapan pun dia mau meski tanpa membawa kitab.

 

b.        Terjaganya kitab (ضَبْطُ كِتَابٍ),

Terjaganya kitab membuat seorang perawi meriwayatkan hadisnya melalui kitabnya yang terjaga yang mana kitabnya telah dikoreksi gurunya atau sama persis dengan periwayatan gurunya. Selain itu juga terhindar dari penambahan atau pengurangan yang bukan dari aslinya.

 

Melalui sifat dhabt, perawi akan terhindar dari kesalahan periwayatan tanpa kesengajaan karena kuat dan keakuratan hafalan yang sempurna. Tingkat dhabt yang membedakan dengan hadits hasan. Kedhabitan perawi hasan di bawah perawi shahih, misalnya agak kuat dan kadang salah.

 

4.       Terbebas dari Syadz (عَدَمُ الشُّذُوذِ)

Secara bahasa syadz artinya menyelisihi. Syadz maksudnya adalah perawi tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya, baik karena hafalan maupun jumlah. Ada kalanya rawi yang diselisihi itu lebih dhabit atau jumlahnya lebih dari satu.

 

5.       Terbebas dari ‘illat (عَدَمُ الْعِلَّةِ)

Secara bahasa ‘illat artinya penyakit atau cacat, yakni tepatnya penyakit atau cacat tersembunyi. ‘Illat maksudnya adalah hadis yang memiliki cacat tersembunyi atau samar sehingga yang nampak adalah shahih. Cacat tersembunyi hanya diketahui oleh pakar hadis seperti Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Ali Ibnul Madini, Yahya bin Ma’in, Al-Bukhari, Muslim, dan yang semisalnya. Supaya mengetahui ‘illat suatu hadis perlu mengumpulkan seluruh jalur periwayatan  yang ada dan baru kemudian diteliti. Contohnya pada hadis mu’allal.

 

Melalui penjelasan yang singkat tadi, syarat dikatakan hadis shahih apabila syarat sanadnya bersambung, para perawinya adil, perawinya dhabt sempurna, terbebas dari syadz, dan terbebas dari ‘illat itu semuanya terpenuhi. Apabila salah satu syarat tersebut tidak ada, maka hadis tersebut tidak dihukumi shahih. Apabila berhubungan dengan kelemahan dhabt yang ringan, barulah turun ke hasan. Bila tidak terpenuhi syarat ketentuannya, maka dipastikan dla’if (lemah) atau mardud (tertolak). Contoh hadis shahih adalah semua hadis yang tercantum di kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Kedua imam hadis tersebut mensyaratkan kriteria shahih dalam kitabnya. Shahih sendiri terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzhatih sebagaimana penjelasan tadi, dan shahih li ghairih, yaitu hadis hasan yang terangkat ke shahih karena adanya syahid atau mutaba’ah (hadis dari jalur lain yang menguatkan hadis hasan menjadi shahih).

 

Demikian penjelasan singkat mengenai syarat dikatakan hadis shahih. Semoga menambah khazanah pengetahuan yang kita miliki dan semoga beriringnya bertambah ilmu kita akan senantiasa menambah ketakwaan kita kepada Allah. Aamiin.

 

Wallahu a’lam bishshwab.

 

No comments:

Post a Comment