Monday, February 24, 2025

Serial Taharah: Pembatal Wudu

Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai berbagai pembatal wudu, keraguan berhadas tidak membatalkan wudu, dan bersentuhan antara pria dan wanita tidak membatalkan wudu.

 

Setelah memahami bagaimana tata cara wudu, penting bagi kaum muslimin untuk tahu berbagai pembatal wudu. Sebab wudu adalah syarat sahnya salat. Tanpa wudu, maka salat seseorang itu tidaklah sah. Sebuah hadis menerangkan,

 

Hadis Ke-1

صحيح مسلم ٣٢٩: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَاللَّفْظُ لِسَعِيدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: دَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى ابْنِ عَامِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ، فَقَالَ: أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لِي يَا ابْنَ عُمَرَ. قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ. وَكُنْتَ عَلَى الْبَصْرَةِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ ح قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَوَكِيعٌ عَنْ إِسْرَائِيلَ كُلُّهُمْ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 329: Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur dan Qutaibah bin Sa'id serta Abu Kamil Al-Jahdari sedang lafal milik Sa’id, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Simak bin Harb dari Mush'ab bin Sa'd dia berkata: " Abdullah bin Umar menemui Ibnu Amir untuk menjenguknya yang saat itu sedang sakit. Ibnu Amir lalu berkata: 'Tidakkah engkau mendoakanku wahai Ibnu Umar'. Ibnu Umar menjawab, 'Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak diterima salat yang dilakukan tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah yang dilakukan dengan harta yang diperoleh dari jalan khianat, dan kamu ketika itu berada di Bashrah." Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Zaidah. Dalam riwayat lain disebutkan, Abu Bakar dan Waki' berkata dari Isra’il, semuanya dari Simak bin Harb dengan isnad ini dari Nabi SAW dengan hadis yang semisalnya."

 

Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak sah (tidak diterima) salat seseorang yang tidak suci, dan demikian pula tidak akan diterima amal sedekah yang menggunakan harta yang haram. Seseorang dikatakan ”tidak suci” sehingga terhalang untuk melakukan salat adalah mereka bila berhadats besar maupun hadats kecil. Supaya suci dari hadas besar, agama Islam mensyariatkan mandi janabat. Sedangkan bagi orang-orang berhadas kecil, maka cukup dengan wudu. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-1

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. الماۤئدة: ٦

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit,202) dalam perjalanan, datang dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh203) perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur. (QS. Al-Ma'idah/5:6)

Catatan:

202) Maksudnya, sakit yang membuatnya tidak boleh terkena air.

203) Lihat catatan kaki surah an-Nisā’ (4): 43.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-2

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا. النساۤء: ٤٣

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan,156) sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa'/4: 43)

Catatan:

156) Menurut jumhur, kata menyentuh pada ayat ini adalah bersentuhan kulit, sedangkan ebagian mufasir mengartikannya sebagai berhubungan suami istri.

 

Melalui Surat Al-Maidah ayat 6 dan An-Nisa ayat 43 tersebut terdapat banyak pelajaran. Maksud “datang dari tempat buang air” itu yang dimaksud ialah mengeluarkan sesuatu dari dua jalan kotoran. Biasanya seseorang mengeluarkan kotoran di tempat buang air. Hal ini menunjukkan hadas kecil. Sedangkan maksud “menyentuh perempuan” ialah bersetubuh. Hal tersebut menunjukkan hadas besar. Kedua-duanya, baik berhadas kecil maupun berhadas besar bila tidak mendapatkan air untuk wudu/ mandi janabat, maka sebagai gantinya agama Islam menuntunkan untuk tayamum. Adapun pengertian lebih rinci mengenai hadas kecil sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-2

صحيح البخاري ١٣٢: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ: مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 132: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali berkata: telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq berkata: telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Hammam bin Munabbih bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kamu apabila berhadas, sehingga ia berwudu.” Lalu ada seorang dari Hadlaramaut bertanya, “Apa yang dikatakan hadas itu, ya Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “”(Hadas itu ialah) kentut yang tidak bersuara ataupun kentut yang bersuara.”

 

Abu Hurairah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hadas” itu adalah mengeluarkan angin, baik bersuara maupun tidak. Hal ini bermaksud menerangkannya dengan singkat tetapi mencakup keseluruhan mengenai hadas kecil. Tegasnya, dia tidak bermaksud mengatakan bahwa hadas itu hanya mengeluarkan angin (kentut) saja, tetapi dengan menerangkan bahwa mengeluarkan angin yang bersuara atau tidak bersuara itu pun sudah termasuk hadas, apalagi yang lebih berat dari itu. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa seseorang yang hendak salat, wajib suci dari hadas besar maupun hadas kecil. Batalnya wudu seseorang bila ia mengalami hadas kecil maupun hadas besar.

 

A.    Berbagai Pembatal Wudu

Kita sebagai seorang muslim hendaknya memahami berbagai pembatal wudu yang menyebabkan seseorang terhalang untuk ibadah salat. Pembatal wudu adalah segala sesuatu yang menyebabkan seseorang dalam keadaan berhadas. Seseorang ketika berhadas kecil cukup dengan berwudu kembali, sedangkan bagi seseorang berhadas besar dengan mandi janabat. Wudu menjadi batal bisa disebabkan mengalami hadas kecil maupun hadas besar. Adapun yang termasuk hadats besar di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Bersetubuh, baik mengeluarkan mani maupun tidak.

2. Mengeluarkan mani sebab mimpi dan lain-lain.

3. Mengeluarkan darah haid.

4. Mengeluarkan darah nifas.

 

Sedangkan yang termasuk hadas kecil mencakup beberapa hal. Adapun yang termasuk hadas kecil di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Mengeluarkan kotoran (berak)/ keluar tinja.

2. Mengeluarkan kencing.

3. Mengeluarkan mazi (air seks).

4. Mengeluarkan angin (kentut), baik bersuara maupun tidak.

 

B. Ragu Berhadas Tidak Membatalkan Wudu

Keraguan telah berhadas sebelum tampak nyata penyebab batalnya wudu merupakan bisikan setan. Oleh sebab itu, batalnya wudu ketika benar-benar telah terjadi berbagai penyebab batalnya wudu. Sebagai contoh adalah kentut yang mesti benar-benar terdengar suaranya atau tercium baunya. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-3

صحيح مسلم ٥٤١: و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا.

Artinya: Shahih Muslim nomor 541: Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu merasakan ada sesuatu di perutnya, apakah telah keluar kentut dari padanya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudu) sehingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.”

 

Melalui hadis tersebut dapat diketahui bahwa hendaknya kentut sebagai pembatal wudu itu mesti jelas suara ataupun baunya. Adapun keraguan tentang kentut atau tidak adalah disebabkan oleh bisikan setan. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-4

مسند أحمد ١١٤٧٦: حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ وَهُوَ فِي صَلَاتِهِ فَيَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ دُبُرِهِ فَيَمُدُّهَا فَيَرَى أَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ فَلَا يَنْصَرِفَنَّ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 11476: Telah menceritakan kepada kami 'Affan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari Sa'id Ibnul Musayyab dari Abu Sa'id Al Khudri bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Setan datang kepada seseorang di antara kamu yang sedang salat, lalu memegang sehelai rambut dari dubur orang yang sedang salat itu dan menariknya. Karena itu terasalah oleh orang itu, bahwa ia telah berhadas. Maka janganlah ia berpaling dari salatnya, sehingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.”

Keterangan: Rawi yang bernama Ali bin Zaid bin 'Abdullah bin Jud'an merupakan tabi'in kalangan biasa. Komentar ulama tentangnya di antaranya Ahmad bin Hambal mengatakan: laisa bi qowi; Yahya bin Ma'in mengatakan: dla'if; Al 'Ajli mengatakan: laisa bi qowi; Abu Zur'ah mengatakan: laisa bi qowi; An Nasa'i mengatakan: dla'if; dan Ibnu Hajar mengatakan: dla'if. Ia terdapat dalam hadis Muslim sebanyak 1 kali.

 

Hadis Ke-5

مسند أحمد ٨٠١٩: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ جَاءَهُ الشَّيْطَانُ فَأَبَسَ بِهِ كَمَا يَأْبِسُ الرَّجُلُ بِدَابَّتِهِ فَإِذَا سَكَنَ لَهُ أَضْرَطَ بَيْنَ أَلْيَتَيْهِ لِيَفْتِنَهُ عَنْ صَلَاتِهِ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا لَا يُشَكُّ فِيهِ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 8019: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Hanafi, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Adh Dhahak bin Utsman dari Sa'id Al Maqburi, Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya apabila salah seorang dari kalian berada dalam salat, setan akan datang kepadanya lalu menepuknya sebagaimana seorang laki-laki yang menepuk hewan tunggangannya, maka apabila ia tenang, setan mencoba kentut di antara kedua pantatnya untuk mengacaukan salatnya. Oleh karena itu apabila salah seorang dari kalian mendapatkan sesuatu pada duburnya janganlah ia beranjak dari salatnya hingga ia mendengar suara atau mendapatkan bau yang tidak diragukan lagi."

 

C. Bersentuhan Antara Pria dan Wanita Tidak Membatalkan Wudu

Wudu tidak batal ketika bersentuhan antara pria dan wanita. Sementara ada ulama yang berpendapat bahwa bila seorang pria bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahramnya, maka batallah wudunya. Mereka beralasan dengan bunyi Surat An-Nisa ayat 43 dan Al-Maidah ayat 6. Mereka mengecualikan wanita-wanita yang termasuk mahram (perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dikawini) dari keumuman lafal لَمَسْتُمُ النّسَاءَ (kalian menyentuh perempuan) dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu, menurut mereka bila sentuhan itu terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan/ wanita yang termasuk mahram tersebut tidaklah membatalkan wudu keduanya. Sedangkan yang termasuk mahram sebagaimana yang tertera dalam Surat An-Nisa ayat 22 dan 23. Allah SWT berfirman,

 

Dalil Al-Qur’an Ke-3

وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا (٢٢) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا (٢٣). النساۤء: ٢٢ - ٢٣

Artinya: (22) Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (23) Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu151) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa'/4: 22-23)

Catatan:

151) Yang dimaksud dengan ibu pada awal ayat ini adalah ibu, nenek, dan seterusnya ke atas, sedangkan anak perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah. Yang dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut sebagian besar ulama, mencakup anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

 

Pendapat mana yang dipegang adalah bagaimana kemantapan hati seseorang muslim dalam memahaminya menggunakan hati yang bening dan akal yang sehat. Adapun penulis memperhatikan beberapa pertimbangan berikut.

 

1. Penetapan batal wudu apabila bersentuhan kulit antara pria dan wanita bukan mahram itu bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sah dari Nabi SAW. Adapun sebagai penjelas utama syariat Allah sebagaimana beberapa dalil berikut.

 

Hadis Ke-6

سنن النسائي ١٧٠: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو رَوْقٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ. قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ لَيْسَ فِي هَذَا الْبَابِ حَدِيثٌ أَحْسَنُ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ وَإِنْ كَانَ مُرْسَلًا وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ الْأَعْمَشُ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ يَحْيَى الْقَطَّانُ حَدِيثُ حَبِيبٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ هَذَا وَحَدِيثُ حَبِيبٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ تُصَلِّ وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيرِ لَا شَيْءَ.

Artinya: Sunan Nasa'i nomor 170: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dari Yahya bin Sa'id dari Sufyan dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Abu Rauq dari Ibrahim At-Taimi dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW pernah mencium salah seorang dari istrinya, kemudian terus salat dengan tidak berwudu lagi.” Abu Abdurrahman berkata: tidak ada dalam bab ini sebuah hadis yang lebih baik dari hadis ini, walaupun hadis ini mursal. Hadis ini telah diriwayatkan oleh Al A'masy dari Habib bin Abu Tsabit dari Urwah dari Aisyah. Yahya Al Qathan berkata: "Ini adalah hadis Habib, dari Urwah dari Aisyah. Adapun ini dan hadis Habib, dari Urwah dari Aisyah: 'Beliau salat padahal darah menetes pada tikar adalah tidak ada.

 

Hadis Ke-7

سنن النسائي ١٦٦: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ شُعَيْبٍ عَنْ اللَّيْثِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي وَإِنِّي لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ.

Artinya: Sunan Nasa'i nomor 166: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam dari Syu'aib dari Laits, dia berkata: Telah memberitakan kepada kami Ibnu Had dari Abdurrahman bin Qasim dari Al Qasim dari Aisyah dia berkata: “Pada suatu waktu Rasulullah SAW sedang salat, sedang aku tidur di hadapannya seperti jenazah, sehingga apabila Rasulullah SAW hendak mengerjakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya.”

 

Hadis Ke-8

صحيح مسلم ٧٥١: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ، وَهُوَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 751: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar, dari Muhammad bin Yahya bin Habban, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah dari Aisyah, dia berkata: “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah SAW dari tempat tidur, lalu aku mencarinya, maka tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau, pada waktu itu beliau sedang sujud, dan kedua telapak kaki beliau pada posisi tegak. Dan beliau berdoa (yang artinya), 'Ya Allah, aku berlindung dengan rida-Mu dari bahaya murka-Mu, dan berlindung dengan ampunan-Mu dari bahaya hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab-Mu, aku tidak bisa menghitung pujian atas-Mu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu'.”

 

2. Apabila dengan dasar surat Al-Maidah ayat 6 dan surat An-Nisa ayat 43 bahwa menyentuh perempuan/ wanita adalah membatalkan wudu, maka harus ditetapkan pula menyentuh mahram itu membatalkan wudu. Berpegang dengan pernyataan tersebut, mahram seperti halnya kakak perempuan, bibi, nenek, dan lain-lain itupun juga membatalkan wudu. Hal tersebut dikarenakan lafal النّسَاءَ (perempuan/ wanita) dalam ayat 43 surat An-Nisa’ dan ayat 6 surat Al-Maidah itu bersifat umum. Oleh sebab itu, siapasaja asalkan perempuan/ wanita, baik termasuk mahram (ibu, saudara perempuan kandung, bibi, nenek) maupun bukan mahram adalah semuanya tercakup dalam keumuman lafal tersebut. Tidak ada nas yang sahih dan tegas dari agama yang mengecualikan wanita-wanita yang mahram dari lafal umum لَمَسْتُمُ النّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) pada ayat tersebut. Sedangkan apabila surat An-Nisa ayat 22 dan 23 dipakai dasar pengecualian wanita-wanita itu, maka hal itu tidak tepat. Hal itu karena satu sama lain tidak ada munasabah (sangkut paut)nya sama sekali dalam bidang hukum. Surat Al-Maidah ayat 6 dan surat An-Nisa ayat 43 adalah membahas masalah salat, tayamum, berhadas dan lain-lain, yang termasuk bab taharah dan salat. Sedangkan yang diterangkan dalam surat An-Nisa ayat 22 dan 23 adalah masalah wanita-wanita yang diharamkan untuk dikawini (mahram) sehingga termasuk bab nikah. Kedua masalah dalam ayat-ayat tersebut masing-masing berdiri sendiri pembahasannya, dan tidak bisa dicampur-adukkan satu dengan yang lain.

 

3. Maksud menyentuh perempuan/ wanita dalam surat Al-Maidah ayat 6 dan surat An-Nisa ayat 43 adalah bersetubuh dengan istri. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan tampak jelas bahwa yang dimaksud oleh لَمَسْتُمُ النّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) itu adalah “kalian bersetubuh dengan wanita (istri-istrimu).” Hal tersebut karena dalam surat Al-Maidah ayat 6 dan surat An-Nisa ayat 43 menjelaskan kebolehan bertayamum sebagai pengganti wudu dan mandi besar bagi orang yang hendak salat karena sebab-sebab tertentu. Sebagaimana yang telah diterangkan bahwa wudu untuk salat adalah bagi orang berhadas kecil, sedangkan mandi janabat/ mandu besar adalah untuk berhadas besar. Berhadas kecil dalam surat Al-Maidah ayat 6 dan surat An-Nisa ayat 43 diisyaratkan oleh Allah dengan kalimat جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَائِطِ (seseorang di antara kamu datang dari tempat buang air). Sementara itu lafal لَمَسْتُمُ النّسَآءَ (kalian menyentuh perempuan/ wanita) adalah isyarat Allah bagi hadas besar, yang salah satu sebabnya adalah bersetubuh. Oleh sebab itu tidak dapat dimaknai sekedar menyentuh, tetapi yang dimaksud adalah menyetubuhi wanita.

 

D. Menyentuh Kemaluan Tidak Membatalkan Wudu

Terkait menyentuh kemaluan, ahli ilmu beda pendapat. Adapun pendapat-pendapat yang ada di antaranya adalah sebagai berikut.

 

1. Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudu

Ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudu. Hal tersebut berpegang pada dalil berikut.

 

Hadis Ke-9

مسند أحمد ٢٠٧٠٠: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 20700: Telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritrakan kepadaku Bapakku dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Muslim Az Zuhri dari Urwah bin Zubair dari Zaid bin Khalid Al Juhanni berkata: "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudu."

 

Hadis Ke-10

مسند أحمد ٦٧٧٩: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ مُحَمَّدٍ يَعْنِي الْخَطَّابِيَّ حَدَّثَنِي بَقِيَّةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْوَلِيدِ الزُّبَيْدِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 6779: Telah menceritakan kepada kami Abdul Jabbar bin Muhammad yaitu Al Khaththabi, telah menceritakan kepadaku Baqiyyah, dari Muhammad bin Al Walid Az Zubair, dari 'Amru bin Syu'aib dari Bapaknya, dari Kakeknya, dia berkata: Rasulullah SAW pernah berkata kepadaku: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudu. Dan wanita mana saja yang menyentuh alat kelaminnya, maka hendaklah ia juga berwudu."

 

Hadis Ke-11

سنن أبي داوود ١٥٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ، يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَذَكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ. فَقَالَ مَرْوَانُ: وَمِنْ مَسِّ الذَّكَرِ. فَقَالَ عُرْوَةُ: مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ. فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 154: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Abdullah bin Abu Bakr bahwasanya dia pernah mendengar Urwah berkata: Saya pernah menghadap kepada Marwan bin Al Hakam, lalu kami menyebut-nyebut sesuatu yang mengharuskan berwudu. Kemudian Marwan berkata: "Dan karena menyentuh kemaluan." Maka Urwah berkata: "Saya tidak mengetahui tentang hal itu." Setelah itu Marwan berkata: Busrah binti Shafwan telah mengabarkan kepada saya, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia berwudu."

Keterangan: Hadis tersebut jalur periwayatannya goncang. Hal tersebut karena di riwayat yang lain dengan jalur periwayatan yang sama, ada perawi yang tidak diketahui. Posisinya adalah antara Busrah binti Shafwan (sahabat) dan Marwan bin Al Hakam (tabi’in kalangan pertengahan). Riwayat lain yang menyebutkan lebih rinci adalah jalur dari hadis riwayat Ahmad nomor 26030.

 

Hadis Ke-12

مسند أحمد ٢٦٠٣٠: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ قَالَ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ يُحَدِّثُ أَبِي قَالَ: ذَاكَرَنِي مَرْوَانُ مَسَّ الذَّكَرِ فَقُلْتُ لَيْسَ فِيهِ وُضُوءٌ. فَقَالَ: إِنَّ بُسْرَةَ بِنْتَ صَفْوَانَ تُحَدِّثُ فِيهِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا رَسُولًا فَذَكَرَ الرَّسُولُ أَنَّهَا تُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 26030: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ulaiyah berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Bakar Bin Hazm dia berkata: aku mendengar Urwah Bin Zubair menceritakan kepada Bapakku dia berkata: "Marwan mengingatkan aku tentang menyentuh kemaluan, kemudian aku katakan, "Tidak ada wudu padanya." Kemudian dia berkata: "Sungguh Busrah binti Shafwan telah menceritakan tentang itu, maka diutuslah seseorang untuk menemuinya, utusan itu kemudian menyebutkan bahwa Busrah binti Shafwan menceritakan, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudu."

Keterangan: Terdapat rawi yang tidak disebutkan namanya. Seseorang itu tidak ada indikasi disifati seperti sahabat sehingga ia majhul. Busrah binti Shafwan adalah sahabat. Sementara Marwan bin Al Hakam adalah tabi’in kalangan pertengahan.

 

2. Menyentuh Kemaluan Tidak Membatalkan Wudu

Ada pendapat bahwa menyentuh kemaluan sendiri adalah tidak membatalkan wudu. Hal tersebut dikarenakan kemaluan adalah bagian tubuh sendiri dari seseorang. Pendapat ini berpegang pada hadis berikut.

 

Hadis ke-13

سنن الترمذي ٧٨: حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ هُوَ الْحَنَفِيُّ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْهُ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْهُ. قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَعْضِ التَّابِعِينَ أَنَّهُمْ لَمْ يَرَوْا الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْكُوفَةِ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَهَذَا الْحَدِيثُ أَحَسَنُ شَيْءٍ رُوِيَ فِي هَذَا الْبَابِ وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ أَيُّوبُ بْنُ عُتْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِي مُحَمَّدِ بْنِ جَابِرٍ وَأَيُّوبَ بْنِ عُتْبَةَ وَحَدِيثُ مُلَازِمِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَدْرٍ أَصَحُّ وَأَحْسَنُ.

Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 78: Telah menceritakan kepada kami Hannad berkata: telah menceritakan kepada kami Mulazim bin 'Amru dari Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalq bin Ali Al Hanafi, dari Bapaknya dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Kemaluan hanyalah segumpal atau sepotong daging dari seseorang." Ia berkata: "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Umamah." Abu Isa berkata: "Diriwayatkan tidak hanya dari satu sahabat Nabi SAW dan sebagian tabi'in, mereka berpendapat bahwa tidak ada wudu karena menyentuh kemaluan. Ini adalah pendapat yang diambil oleh penduduk Kufah dan Ibnul Mubarak. Dan hadis ini adalah sebaik-baik hadis yang diriwayatkan dalam bab ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Ayyub bin Utbah dan Muhammad bin Jabir dari Qais bin Thalq, dari Bapaknya. Namun ada beberapa ulama yang masih memperbincangkan tentang Muhammad bin Jabir dan Ayyub bin Utbah. Dan hadis Mulazim bin Amru dari Abdullah bin Badr lebih sahih dan lebih baik."

 

Hadis Ke-14

سنن النسائي ١٦٥: أَخْبَرَنَا هَنَّادٌ عَنْ مُلَازِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِي رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ وَهَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ.

Artinya: Sunan Nasa'i nomor 165: Telah mengabarkan kepada kami Hannad dari Mulazim dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalq bin Ali dari Bapaknya dia berkata: "Kami keluar (dari daerah kami) hingga kami sampai kepada Rasulullah SAW. Lalu kami berbaiat kepadanya dan salat bersamanya. Setelah selesai salat datanglah seseorang yang kelihatannya seorang badui, dia berkata: 'Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang menyentuh kemaluannya ketika salat?' Rasulullah SAW menjawab: 'Bukankah itu hanya daging bagian dari drirmu?' atau 'sebagian dari dirimu?'"

 

Hadis Ke-15

مسند أحمد ١٥٧٠٣: حَدَّثَنَا قُرَّانُ بْنُ تَمَّامٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَابِرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَتَوَضَّأُ أَحَدُنَا إِذَا مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ هَلْ هُوَ إِلَّا مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 15703: Telah menceritakan kepada kami Qurrab bin Tamam dari Muhammad bin Jabir dari Qais bin Thalq dari Bapaknya berkata: Ada seorang laki-laki yang berkata: Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kita memegang kemaluannya ketika salat, apa harus berwudu? Rasulullah bersabda: "Itu hanya potongan dari tubuhmu atau secuil daging darimu."

 

Melalui hadis-hadis yang ada, apabila dipahami secara terpisah (parsial) maka akan ada yang berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudu dan ada yang berpendapat bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudu. Hikmah dari hadis yang menyatakan menyentuh kemaluan itu hendaknya berwudu bisa jadi karena menyentuh kemaluan menjadi sebab keluarnya najis dari kemaluan. Namun apabila berbagai hadis dikompromikan, maka dapat dipahami bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudu. Menyentuh kemaluan di dalam salat saja tidak membatalkan wudu, apalagi ketika di luar salat. Bila menyentuh kemaluan dipandang membatalkan wudu di luar salat saja, hal ini tentunya tidak seperti berkentut di dalam maupun luar salat membatalkan wudu. Semestinya bila dipandang membatalkan wudu itu berlaku di dalam salat maupun di luar salat. Oleh sebab itu, penulis lebih condong pendapat kedua bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudu.

 

E. Tidur Tidak Membatalkan Wudu

Seseorang yang sudah berwudu lalu tertidur, maka wudunya tidak batal. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-16

صحيح مسلم ٥٦٦: و حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ وَهُوَ ابْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُا: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ. قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِي وَاللَّهِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 566: Dan telah menceritakan kepadaku Yahya bin Habib Al-Haritsi, telah menceritakan kepada kami Khalid, yaitu Ibnu Al-Harits, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dia berkata: Saya mendengar Anas berkata: "Dahulu para sahabat Rasulullah SAW tertidur, kemudian mereka salat tanpa berwudu." Dia berkata: "Aku berkata: 'Aku mendengarnya dari Anas. Dia berkata: 'Ya, demi Allah'."

 

Hadis Ke-17

صحيح البخاري ٥٨٤١: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ سَلَمَةَ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بِتُّ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى حَاجَتَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَأَتَى الْقِرْبَةَ فَأَطْلَقَ شِنَاقَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا بَيْنَ وُضُوءَيْنِ لَمْ يُكْثِرْ وَقَدْ أَبْلَغَ فَصَلَّى فَقُمْتُ فَتَمَطَّيْتُ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَرَى أَنِّي كُنْتُ أَتَّقِيهِ فَتَوَضَّأْتُ فَقَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِأُذُنِي فَأَدَارَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَتَتَامَّتْ صَلَاتُهُ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ اضْطَجَعَ فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ فَآذَنَهُ بِلَالٌ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَكَانَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا. قَالَ كُرَيْبٌ وَسَبْعٌ فِي التَّابُوتِ فَلَقِيتُ رَجُلًا مِنْ وَلَدِ الْعَبَّاسِ فَحَدَّثَنِي بِهِنَّ فَذَكَرَ عَصَبِي وَلَحْمِي وَدَمِي وَشَعَرِي وَبَشَرِي وَذَكَرَ خَصْلَتَيْنِ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 5841: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari Sufyan dari Salamah dari Kuraib dari Ibnu Abbas RA dia berkata: "Aku pernah bermalam di rumah Maimunah, lalu Nabi SAW bangun untuk membuang hajat. Kemudian beliau membasuh wajah dan kedua tangannya, lalu beliau mendatangi tempat air yang digantung dan membuka talinya. Kemudian beliau berwudu di antara dua wudu (dua kali dalam membasuh), tidak banyak tetapi sempurna. Kemudian beliau melaksanakan salat, aku pun berdiri dan berjinjit khawatir beliau akan melihat bahwa aku memperhatikannya, lalu aku berwudu dan berdiri untuk salat. Maka aku berdiri di sebelah kiri beliau lalu beliau meraih telingaku dan menggeserku ke sebelah kanannya. Salat beliau pun selesai hingga tiga belas rakaat. Kemudian beliau berbaring hingga tertidur sampai mendengkur, biasanya Nabi kalau tidur mendengkur, lalu Bilal mengumandangkan azan untuk salat, kemudian beliau salat tanpa berwudu lagi. Di dalam doanya beliau mengucapkan: "'ALLAHUMMAJ'AL FI QALBI NURAN WA FI BASHARI NURAN WA FI SAM'I NURAN WA 'AN YAMINI NURAN WA 'AN YASARI NURAN WA MIN FAUQI NURAN WA MIN TAHTI NURAN WA MIN AMAMI NURAN WA MIN KHALFI NURAN WA A'ZHIM LI NURAN' (Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di hadapanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku dan muliakanlah cahaya bagiku)." Kuraib berkata: Ada tujuh di dalam dada, ia berkata: Lalu aku bertemu dengan salah seorang anak Al Abbas, lalu ia menceritakannya kepadaku, lalu menyebutkan: 'ASHABI WA LAHMI WA DAMI WA SYA'RI WA BASYARI' (Uratku, dagingku, rambutku dan kulitku).' Ia berkata: Dan menyebutkan dua hal lainnya.

 

F. Makan dan Minum Tidak Membatalkan Wudu

Makan dan minum tidak membatalkan wudu. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut ini yang menerangkan Rasulullah makan dalam keadaan belum batal wudunya, lalu beliau mendirikan salat.

 

Hadis Ke-18

صحيح البخاري ٢٧٠٦: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ مِنْ كَتِفٍ يَحْتَزُّ مِنْهَا ثُمَّ دُعِيَ إِلَى الصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ. حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَزَادَ فَأَلْقَى السِّكِّينَ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 2706: Telah bercerita kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah berkata telah bercerita kepadaku Ibrahim bin Sa'ad dari Ibnu Syihab dari Ja'far bin 'Amru bin Umayyah Adh Dhamriy dari Bapaknya berkata: Aku melihat Nabi SAW memakan daging paha depan (kambing) yang langsung dipotong darinya, kemudian dikumandangkan seruan salat maka beliau salat tanpa berwudu lagi. Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy, dan dia menambahkan: "Lalu beliau melemparkan pisaunya (kepada beliau)."

 

Hadis Ke-19

صحيح البخاري ٢٠٠: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ كَتِفَ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 200: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar dari 'Abdullah bin 'Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW makan paha kambing kemudian salat dan tidak berwudlu lagi.

 

Hadis Ke-20

صحيح البخاري ٤٩٧١: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ سُوَيْدِ بْنِ النُّعْمَانِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُمْ كَانُوا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّهْبَاءِ وَهِيَ عَلَى رَوْحَةٍ مِنْ خَيْبَرَ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَلَمْ يَجِدْهُ إِلَّا سَوِيقًا فَلَاكَ مِنْهُ فَلُكْنَا مَعَهُ ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَمَضْمَضَ ثُمَّ صَلَّى وَصَلَّيْنَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 4971: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Yahya dari Busyair binti Yasar dari Suwaid bin An Nu'man bahwa ia telah mengabarkan kepadanya bahwa mereka pernah bersama Nabi SAW di Shahba`, tempat yang berjarak semalam perjalanan Khaibar. Kemudian tibalah waktu salat. Beliau meminta makanan, namun tidak ada makanan kecuali tepung gandum, lalu beliau mengunyahnya dan kami pun ikut mengunyah bersamanya. Setelah itu, beliau meminta air dan berkumur-kumur kemudian salat dan kami pun salat sementara beliau tidak berwudu lagi.

 

Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.

 

No comments:

Post a Comment