Monday, December 18, 2023

Zakat Obligasi Syariah

 


 

Islam merupakan agama yang mengajarkan untuk peduli sesama sebagai bentuk ibadah. Adapun ibadah sebagai bentuk kepedulian yang dimaksud itu beragam. Hal tersebut di antaranya adalah zakat. Adapun zakat banyak macamnya. Di antara macam zakat yang ada yaitu zakat obligasi syariah. Supaya ada gambaran mengenai zakat obligasi syariah, maka kita akan mengulas di antaranya: (a) pengertian zakat obligasi syariah; (b) hukum zakat obligasi syariah; (c) nisab dan haul zakat obligasi syariah; (d) jumlah zakat yang ditunaikan; (e) orang yang mengeluarkan zakat; (f) orang yang berhak menerima zakat; (g) ucapan orang yang menerima zakat; (h) keutamaan menunaikan zakat; dan (i) ancaman bila zakat tidak dikeluarkan.

 

A. Pengertian Zakat Obligasi Syariah

Pada jaman dahulu, ulama klasik belum mencantumkan bahasan tentang pasar modal dalam kitab yang disusunnya. Hal tersebut karena pasar modal pada saat itu belum dikenal. Namun demikian prinsip-prinsip muamalah yang menjadi dasar hukum kelangsungan kegiatan pasar modal dapat di jumpai dalam kitab-kitab fikih klasik. Pasar modal sebenarnya bukan merupakan bentuk pasar baru dalam dunia perekonomian Islam dan Indonesia. Aktivitas pasar modal sudah dimulai sejak tahun 1912 di Jakarta. Objek yang diperdagangkan di pasar modal adalah efek. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Meskipun efek terdiri atas berbagai macam surat berharga, tetapi 2 (dua) instrument utama di pasar modal, yaitu saham dan obligasi. Pada pembahasan kali ini akan mengulas mengenai obligasi.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan arti obligasi adalah: (1) surat pinjaman dengan bunga tertentu dari pemerintah yang dapat diperjualbelikan; atau (2) surat utang berjangka (waktu) lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan. Istilah obligasi dalam bahasa fikih terkait dengan sukuk. Adapun sukuk (صُكُوْك) adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “Sakk” (صَكَّ), yang berarti dokumen atau sertifikat. Pada abad pertengahan abad 20, sukuk lazim digunakan oleh para pedagang muslim sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam–LK) Nomor KEP-181/BL/2009, sukuk didefinisikan sebagai Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: (1) Kepemilikan aset berwujud tertentu; (2) Nilai manfaat dan jasa atas asset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; (3) Kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, Sukuk (Obligasi Syariah) didefinisikan sebagai surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/ margin/ fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi adalah sekuritas berpendapatan tetap (fixed income securities) yang ditebitkan berhubungan dengan perjanjian utang.

 

Sebagai sekuritas berpenghasilan tetap obligasi mempunyai karakteristik, yaitu: (1) Surat berharga yang mempunyai kekuatan hukum; (2) Memiliki jangka waktu tertentu atau jatuh tempo; (3) Memberikan pendapatan tetap secara periodik; dan (d) Mempunyai nilai nominal (nilai pari). Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Jenis-jenis obligasi diantaranya adalah sebagai berikut:

 

1. Berberdasarkan penerbitnya terdiri dari:

a. Obligasi Pemerintah Pusat.

b. Obligasi Pemerintah daerah.

c. Obligasi Badan Usaha Milik Negara.

d. Obligasi Perusahaan Swasta.

 

2. Berdasarkan jatuh tempo terdiri dari:

a. Obligasi jangka pendek (sampai dengan satu tahun).

b. Obligasi jangka menengah (dua sampai lima tahun).

c. Obligasi jangka panjang (lebih dari lima tahun).

 

3. Berdasarkan Jaminan, terdiri dari:

a. Obligasi dengan jaminan (Secured bond) yaitu obligasi yang diberi agunan untuk pelunasan pokok pinjaman beserta bunganya. Agunan ini adalah harta kekayaan perusahaan (emiten).

b. Obligasi tanpa jaminan adalah obligasi tanpa didukung oleh agunan.

 

4. Berdasarkan konversi terdiri dari:

a. Convertible bond adalah obligasi yang dapat ditukar dengan saham setelah jangka waktu tertentu.

b. Non convertible bond adalah obligasi yang tidak dapat dikomversikan menjadi saham.

 

Obligasi merupakan surat berharga jangka panjang yang bersifat utang yang memungkinkan bagi pemegang obligasi tersebut untuk mendapat imbalan bunga secara periodik dan akan mendapatkan imbalan pengembalian pelunasan pokok pada saat jatuh tempo. Praktik obligasi yang ada pada keuangan konvensional tidak sesuai dengan syariah. Hal tersebut dikarenakan terdapat unsur bunga sebagai imbalan bagi pemegang obligasi. Untuk itu lembaga keuangan Syariah harus mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat tersebut harus sesuai dengan syariah, Obligasi syariah sebagai solusinya. Penerbitan instrument obligasi syariah (sukuk) bukan instrument utang piutang dengan bunga (riba), tetapi diterbitkan dengan suatu underlying asset dengan prinsip syariah yang jelas.

 

Pengertian obligasi (sukuk) dalam pasar modal syariah memiliki makna yang lebih luas yaitu meliputi beberapa akad yang dapat digunakan. Seperti akad mudharabah, murabahah, salam, istisna dan ijarah. Istilah sukuk sudah dikenal sejak abad pertengahan, yang mana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, pengertian obligasi syariah (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, 2006: 197-198) adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investmest) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan riba. Berdasarkan pengertian tersebut, obligasi syariah dapat memberikan:

1. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/muqadarah/qirad atau musyarakah. Hal tersebut karena akad mudharabah/musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi ini akan memberikan return dengan penggunaan term undicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kenerja pendapatan yang dibagihasilkan.

2. Margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarah. Dengan akad murabahah/salam/istishna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

 

Penerbitan obligasi syariah di Indonesia adalah struktur: mudaharabah dan Ijarah baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan, sehingga yang cukup dikenal adalah obligasi syariah mudarabah dan ijarah. Obligasi ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Oleh sebab itu, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan memfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Akad Ijarah disertai dengan adanya pemindahan manfaat tetapi tidak terjadi pemindahan kepemilikan. Ketentuan Ijarah sebagai berikut:

1. Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan) maupun berupa jasa.

2. Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.

3. Ruang lingkupnya dan jangka waktunya pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.

4. Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/ upah.

5. Pemakai manfaat (penyewa) harus mgenjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga.

6. Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak.

 

Ketentuan-ketentuan dalam akad ijarah baik itu syarat maupun rukunnya harus dipatuhi dan dilaksanakan agar dalam pelaksanaan akad ijarah tidak timbul mafsadat. Begitu juga dengan ketentuan-ketentuan lain yang menyertai obligasi syariah ijarah seperti Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Keuntungan Obligasi Syariah berdasarkan jenis akad yang digunakan, bentuk keuntungan penerbitan obligasi syariah ada dua yaitu:

1. Pembagian hasil berdasarkan akad persekutuan (syirkah) yaitu berupa mudharabah/musyarakah. Obligasi syariah yang menggunakan akad persekutuan ini akan memberikan keuntungan berupa bagi hasil (profit and loss sharing) antara investor sebagai shahib al-mal dengan perusahaan yang menjalankan usaha sebagai mudharib. Obligasi jenis ini memberikan keuntungan dengan menggunakan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja perusahaan yang dibagi hasilkan.

2. Pembagian margin/fee berdasarkan akad pertukaran (al-bai’) yaitu murabahah, salam, istishna dan ijarah). Fikih muamalah akad ini bersifat natural certainty contract, sehingga obligasi syariah yang menggunakannya akan memberikan hasil yang pasti dan dapat diperkirakan sebelumnya (fixed and predetermined).

 

Adapun macam-macam Obligasi Syariah adalah sebagai berikut:

1. Obligasi Syariah Mudharabah.

Menurut Fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002, yang dimaksud dengan obligasi syariah, namun di Indonesia hingga saat ini baru terdapat dua macam, yaitu obligasi syariah mudharabah dan obligasi syariah ijarah.

2. Obligasi Syariah Ijarah.

Instrumen obligasi syariah menggunakan akad ijarah. Dalam akad ijarah pada prinsipnya terjadi pemindahan manfaat yang bersifat sementara, namun tidak disertai pemindaan kepemilikan. Berdasarkan fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004. Obligasi Syariah Ijarah adalah obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan subtansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/200 tentang Pembiayaan Ijarah. Dan pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai mu’jir (pemberi sewa) (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, 2006: 292-293).

 

Begitu pentingnya pembahasan obligasi syariah ini dalam koridor agama Islam dan peran zakat bagi umat Islam, maka terkait saham ini diatur oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif menyebutkan zakat uang dan surat berharga lainnya adalah zakat yang dikenakan atas uang, harta yang disetarakan dengan uang, dan surat berharga lainnya yang telah mencapai nisab dan haul. Obligasi syariah di antaranya harta yang disetarakan dengan uang. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bahwa zakat obligasi syariah adalah pengeluaran zakat dari pendapatan surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah sehingga mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah, berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi syariah bukanlah surat hutang seperti pada obligasi konvensional, melainkan sertifikat investasi (bukti kepemilikan) atas suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title) yang menjadi underlying assetnya. Jadi akadnya bukan akad utang piutang melainkan investasi. Dalam hal ini para ulama telah sepakat atas kehalalannya.

 

B. Hukum Zakat Obligasi Syariah

Hukum zakat adalah wajib. Hal tersebut sebagaimana firman Allah berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-1

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ. البقرة: 43

Artinya: Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (QS. Al Baqarah: 43).

 

Ulama-ulama besar seperti Abu Zahra, Abdur Rahman, dan Khalaf, berpendapat bahwa saham dan obligasi adalah kekayaan yang diperjualbelikan. Hal tersebut karena pemiliknya memperjual-belikan dengan menjual dan membelinya dan dari pekerjaanya itu pemilik memperoleh keuntungan persis pedagang dengan barang dagangan. Keuntungan tersebut diperoleh karena harga yang sebenarnya yang berlaku di pasar berbeda dari harga yang tertulis dalam kegiatan jual beli tersebut. Berdasarkan pandangan ini, maka saham dan obligasi termasuk dalam kategori barang dagang. Oleh karena itu termasuk objek zakat seperti kekayaan-kekayaan dagang lain dan dinilai sama dengan barang dagang (zakat perniagaan). Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan Yusuf Qardawi.

 

Hadis Ke-1

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ سُلَيْمَانَ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ. أبي داود

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Daud bin Sufyan, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Musa Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Sa'd bin Samurah bin Jundab bin Sulaiman, telah menceritakan kepadaku Khubaib bin Sulaiman dari Bapaknya yaitu Sulaiman dari Samurah bin Jundab, ia berkata: Adapun selanjutnya, sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual. (HR. Abu Daud, no. 1335).

Keterangan: Terkait rawi yang bernama Khubaib bin Sulaiman bin Samurah merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Komentar ulama tentangnya yaitu Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan majhul, dan Adz Dzahabi mentsiqahkannya. Rawi yang bernama Ja'far bin Sa'ad bin Samurah bin Jundab merupakan tabi'in (tidak jumpa Sahabat). Komentar ulama tentangnya yaitu Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Ibnu Hazm mengatakan majhul, Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan laisa bi qowi. Rawi yang bernama Sulaiman bin Musa merupakan kalangan tabi'ut tabi'in kalangan pertengahan. Komentar ulama tentangnya yaitu Abu Hatim Ar Rozy mengatakan shalihul hadits, Adz Dzahabi mengatakan shalihul hadits, Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Al Bukhari mengatakan mungkarul hadits, Al 'Uqaili mengatakan mungkarul hadits, Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan fiihi layyin.

 

Hadis Ke-2

أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، ثنا أَبُو دَاوُدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ، ثنا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَبُو دَاوُدَ ، ثنا جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ أَبِيهِ سُلَيْمَانَ بْنِ سَمُرَةَ ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ.البيهقي

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Ali Ar-Rudzbari, telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Dasah, tekah menceritakan kepada kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Dawud bin Sufyan, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Musa Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sa’ad bin Samurah bin Jundab telah menceritakan kepadaku Khubaib bin Sulaiman dari Bapaknya yaitu Sulaiman bin Samurah dari Samurah bin Jundab, ia berkata: Adapun selanjutnya, sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual. (HR. Baihaqi, no. 7020)

Keterangan: Terkait rawi yang bernama Khubaib bin Sulaiman bin Samurah merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Komentar ulama tentangnya yaitu Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan majhul, dan Adz Dzahabi mentsiqahkannya. Rawi yang bernama Ja'far bin Sa'ad bin Samurah bin Jundab merupakan tabi'in (tidak jumpa Sahabat). Komentar ulama tentangnya yaitu Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Ibnu Hazm mengatakan majhul, Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan laisa bi qowi. Rawi yang bernama Sulaiman bin Musa merupakan kalangan tabi'ut tabi'in kalangan pertengahan. Komentar ulama tentangnya yaitu Abu Hatim Ar Rozy mengatakan shalihul hadits, Adz Dzahabi mengatakan shalihul hadits, Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Al Bukhari mengatakan mungkarul hadits, Al 'Uqaili mengatakan mungkarul hadits, Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan fiihi layyin.

 

Hadis riwayat Abu Daud nomor 1335 dan hadis riwayat Baihaqi nomor 7020 sering digunakan sebagai dalil adanya zakat perniagaan atau zakat perdagangan. Dua hadis tersebut lemah periwayatannya, tetapi bukan berarti apa-apa yang berkaitan dengan perniagaan atau jual beli itu tidak ada zakatnya. Meskipun dua hadis tersebut lemah periwayatannya, tetapi matan kedua hadis tersebut shahih. Hal tersebut karena matan hadis bersesuaian dengan Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 267. Perniagaan atau perdagangan merupakan bagian usaha manusia yang baik-baik dari apa-apa yang Allah rizkikan. Selain itu, ada juga yang mengaitkan hadis berikut menjadi hujjah dalam zakat perniagaan.

 

Hadis Ke-3

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو قُتَيْبَةَ مُسْلِمُ بْنُ الْفَضْلِ الآدَمِيُّ بِمَكَّةَ، ثنا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، ثنا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عِمَرَانَ بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الإِبِلِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهُ. البيهقي

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al Hafizh, telah menceritakan kepada kami Abu Qutaibah Muslim bin Al Fadlli orang Makkah, telah menceritakan kepada kami Musa bin Harun, telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, dari ‘Imran bin Abi Anas, dari Malik bin Aus bin Al Hadatsan, dari Abi Dzarr RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dalam unta, ada sedekahnya, sapi ada sedekahnya dan kambing juga ada sedekahnya serta dalam bazz (pakaian) juga ada sedekahnya. (HR. Baihaqi, no. 7021).

Keterangan: Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan kata "bazz" dalam hadits tersebut adalah pakaian dan senjata yang dijualbelikan.

 

Hadis Ke-4

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَجَّاجِ الرَّقِّيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ، نا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبُزُّ صَدَقَتُهُ. الدارقطني

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Muhammad bin Al Hajjaj Ar-Raqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, dari Imran bin Abi Anas, dari Malik bin Aus bin Al Hadatsan, dari Abu Dzar, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Pada unta ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya, pada sapi ada zakatnya dan pada pakaian ada zakatnya." (HR. Daruquthni, no. 1917).

 

C. Nisab dan Haul Zakat Obligasi Syariah

Terdapat waktu kapan umat Islam mengeluaran zakat. Haul dalam KBBI maksudanya adalah jangka waktu satu tahun yang menjadi batas kewajiban membayar zakat bagi pemilikan harta kekayaan, seperti perniagaan, emas, ternak. Secara umum dapat dikatakan bahwa haul adalah batasan waktu satu tahun hijriah (12 bulan kamariah) kepemilikan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Waktu kapan umat Islam mengeluaran zakat adalah ketika tiba haul. Adapun haul sebagaimana yang sudah disebutkan adalah batasan waktu satu tahun hijriah (12 bulan kamariah). Nisab dalam KBBI maksudanya jumlah harta benda minimum yang dikenakan zakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa nisab adalah batasan minimum harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif pada pasal 2 ayat 3 bahwa zakat pendapatan dan jasa tidak disyaratkan haul. Adapu pada pasal 26 ayat 1 menerangkan bahwa nisab zakat pendapatan senilai 653 kg gabah atau 524 kg beras. Adapun keterangan nisab dan haul zakat sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-5

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ وَعَنْ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ زُهَيْرٌ أَحْسَبُهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّه قَالَ هَاتُوا رُبْعَ الْعُشُورِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمٌ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ شَيْءٌ حَتَّى تَتِمَّ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَإِذَا كَانَتْ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ فَمَا زَادَ فَعَلَى حِسَابِ ذَلِكَ وَفِي الْغَنَمِ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا تِسْعٌ وَثَلَاثُونَ فَلَيْسَ عَلَيْكَ فِيهَا شَيْءٌ وَسَاقَ صَدَقَةَ الْغَنَمِ مِثْلَ الزُّهْرِيِّ قَالَ وَفِي الْبَقَرِ فِي كُلِّ ثَلَاثِينَ تَبِيعٌ وَفِي الْأَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ وَفِي الْإِبِلِ فَذَكَرَ صَدَقَتَهَا كَمَا ذَكَرَ الزُّهْرِيُّ قَالَ وَفِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ خَمْسَةٌ مِنْ الْغَنَمِ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَفِيهَا ابْنَةُ مَخَاضٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ الْجَمَلِ إِلَى سِتِّينَ ثُمَّ سَاقَ مِثْلَ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ قَالَ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً يَعْنِي وَاحِدَةً وَتِسْعِينَ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْجَمَلِ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الْإِبِلُ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ فَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ وَلَا تُؤْخَذُ فِي الصَّدَقَةِ هَرِمَةٌ وَلَا ذَاتُ عَوَارٍ وَلَا تَيْسٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْمُصَدِّقُ وَفِي النَّبَاتِ مَا سَقَتْهُ الْأَنْهَارُ أَوْ سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ وَمَا سَقَى الْغَرْبُ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ وَفِي حَدِيثِ عَاصِمٍ وَالْحَارِثِ الصَّدَقَةُ فِي كُلِّ عَامٍ قَالَ زُهَيْرٌ أَحْسَبُهُ قَالَ مَرَّةً وَفِي حَدِيثِ عَاصِمٍ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْإِبِلِ ابْنَةُ مَخَاضٍ وَلَا ابْنُ لَبُونٍ فَعَشَرَةُ دَرَاهِمَ أَوْ شَاتَانِ. حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ وَسَمَّى آخَرَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ وَالْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ أَوَّلِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ قَالَ فَلَا أَدْرِي أَعَلِيٌّ يَقُولُ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ أَوْ رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ إِلَّا أَنَّ جَرِيرًا قَالَ ابْنُ وَهْبٍ يَزِيدُ فِي الْحَدِيثِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ. أبي داود

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari 'Ashim bin Dhamrah dan Al Harits Al A'war dari Ali RA, Zuhair berkata: Aku mengiranya dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: "Berikan seperempat puluh, dari setiap empat puluh dirham satu dirham. Dan tidak ada kewajiban sedikitpun atas kalian hingga sempurna seratus dirham. Maka apabila telah berjumlah dua ratus dirham maka padanya terdapat zakat lima dirham, kemudian selebihnya sesuai perhitungan tersebut. Pada kambing, untuk jumlah empat puluh kambing zakat satu kambing, maka apabila hanya berjumlah tiga puluh sembilan maka tidak ada kewajiban sedikitpun atas kalian." Dan ia menyebutkan zakat kambing seperti yang disebutkan Az Zuhri. Ia berkata: Dan mengenai sapi pada setiap tiga puluh ekor terdapat seekor tabi', pada jumlah empat puluh terdapat satu musinnah, sapi yang digunakan untuk kerja tidak ada kewajiban sedikitpun, pada unta ia menyebutkan zakatnya seperti yang telah disebutkan Az Zuhri. Ia berkata: Dan pada jumlah dua puluh lima terdapat zakat lima kambing, kemudian apabila lebih satu ekor maka padanya terdapat zakat satu ekor bintu makhadh, kemudian apabila tidak ada bintu makhadh maka ibnu labun jantan, hingga tiga puluh lima. Kemudian apabila lebih satu ekor maka padanya zakat satu ekor bintu labun, hingga empat puluh lima. Kemudian apabila lebih satu ekor maka padanya terdapat zakat satu ekor hiqqah yang siap bunting, hingga enam puluh. Kemudian ia menyebutkan seperti hadis Az Zuhri. Ia berkata: kemudian apabila lebih satu ekor yaitu sembilan puluh satu ekor maka padanya terdapat zakat dua hiqqah yang siap untuk bunting, hingga seratus dua puluh. Kemudian apabila unta tersebut lebih banyak dari itu maka pada setiap lima puluh terdapat zakat satu hiqqah, dan tidak dipisahkan antara unta yang digabungkan, dan tidak digabungkan antara unta yang dipisahkan karena khawatir wajib mengeluarkan zakat. Dan tidak diambil dalam zakat unta yang tua dan telah tanggal giginya, serta yang memiliki cacat, dan unta pejantan, kecuali petugas zakat menghendakinya. Dan dalam tumbuh-tumbuhan yang diairi sungai atau disirami air hujan terdapat zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan ember maka padanya terdapat seperdua puluh. Dan dalam hadis 'Ashim serta Al Harits disebutkan: zakat pada setiap tahun. Zuhair berkata: aku mengira ia berkata lagi: Dan dalam hadis 'Ashim disebutkan: Apabia diantara unta tersebut tidak ada bintu makhadh dan juga ibnu labun maka diganti sepuluh dirham atau dua ekor kambing. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Jarir bin Hazim dan ia menyebutkan orang yang lain, dari Abu Ishaq, dari 'Ashim bin Dhamrah serta Al Harits Al A'war dari Ali RA dari Nabi SAW dengan sebagian awal hadis ini, ia berkata : “Apabila kamu mempunyai uang perak dua ratus dirham dan sudah disimpan satu tahun, maka padanya wajib zakat lima dirham. Dan tidak ada padamu kewajiban zakat pada emas, sehingga kamu mempunyai dua puluh dinar. Apabila kamu mempunyai dua puluh dinar dan telah disimpan satu tahun, maka padanya wajib zakat setengah dinar, lalu selebihnya dihitung demikian itu.” Zuhair berkata: Aku tidak tahu, apakah perkataan “lalu selebihnya dihitung demikian itu,” itu perkataan Ali atau sabda Nabi SAW, dan pada perkataan “dan tidak ada pada harta kewajiban zakat sehingga disimpan satu tahun.” Hanya saja Jarir menambahkan dalam hadis (kata Ibnu Wahbin), dari Nabi SAW: “Tidak ada kewajiban zakat pada harta sehingga disimpan satu tahun.” (HR. Abu Daud, no. 1342).

 

Zakat obligasi syariah merupakan masalah baru. Hasil obligasi syariah termasuk harta yang wajib dizakati, karena pada dasarnya kekayaan obligasi syariah itu terdapat unsur jual beli yang sama dengan harta yang diperoleh dari perdagangan. Unsur jual beli itulah yang menjadi penyebab disamakannya dengan harta perdagangan/ perniagaan. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif pada pasal 11 ayat 1 menerangkan nisab zakat perniagaan senilai dengan 85 gram emas.

 

Sebagaimana yang sudah kita tahu, zakat itu menurut hukum Islam wajib. Tentang nisab dan haul ada perbedaan pemahaman. Ada yang menggunakan nisab dan haul, ada yang tanpa nisab dan haul. Melalui pemaparan yang ada, penulis lebih condong pada zakat itu tanpa menunggu sampai nisab maupun tiba haul. Seandainya zakat dibayarkan sebelum mencapai nisab dan haul, itu tidak menyalahi Undang Undang Nomor 23 Tentang Pengelolaan Zakat maupun Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif. Hal tersebut mengingat zakat yang mencapai nisab dan tiba haul hampir tidak mungkin dilakukan di jaman sekarang. Berbeda dengan jaman Rasulullah dan sahabat, umat di jaman ini rentan untuk mengakali haul dan nisab. Apabila haul dan nisab diakali, maka tidak akan tertunaikan zakat seorang muslim. Dampaknya adalah orang-orang yang termasuk penerima zakat tidak akan pernah lagi menerima zakat. Oleh sebab itu, penulis dalam berzakat berpegang kepada jiwa zakat. Berapapun rezeki yang Allah titipkan hendaknya dizakati. Kapan rezeki datang, saat itulah langsung bisa dizakati. Hal tersebut sebagaimana riwayat hadis berikut.

 

Hadis Ke-6

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي الرَّجُلِ يَسْتَفِيدُ مَالًا قَالَ: يُزَكِّيهِ حِينَ يَسْتَفِيدُهُ. ابن أبي شيبة

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Asamah, dari Hisyam, dari 'Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas tentang seseorang yang memperoleh harta, (lalu) Ibnu 'Abbas berkata: ‘(Hendaknya) ia menzakatinya pada saat memperolehnya.’ (HR. Ibnu Abi Syaibah, no. 10010).

 

D. Jumlah Zakat yang Ditunaikan

Saham termasuk harta yang wajib dizakati, karena pada dasarnya kekayaan obligasi syariah itu terdapat unsur jual beli yang sama dengan harta yang diperoleh dari perdagangan. Unsur jual beli itulah yang menjadi penyebab disamakannya dengan harta perdagangan/ perniagaan. Seberapa banyak zakat perniagaan yang dikeluarkan menurut Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif pada pasal 11 ayat 2 menerangkan bahwa kadar zakat perniagaan sebesar 2,5%. Sementara itu pada buku yang berjudul Petunjuk Pelaksanaan Pengumpulan Zakat terbitan Kementerian Agama RI tahun 2011 menyebutkan bahwa jika perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan maka perusahaan tersebut mengeluarkan harta sesuai dengan aturan zakat perdagangan. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5%. Jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5% atau 10%. Adapun 5% untuk penghasilan kotor dan 10% untuk pengahasilan bersih.

 

E. Orang yang Mengeluarkan Zakat

Orang yang temasuk wajib mengeluarkan zakat adalah orang beriman yang mampu. Kadar untuk mengukur mana yang mampu dan belum mampu adalah dengan melihat kriteria seorang muslim. Kriteria yang dimaksud adalah bukan termasuk orang-orang yang menerima zakat. Orang beriman di luar orang orang yang berhak menerima zakat adalah wajib untuk mengeluarkan zakatnya. Dalil bahwa orang beriman yang mampu untuk diwajibkan membayar zakat adalah sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 267.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-3

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ. البقرة: 267

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al Baqarah: 267).

 

F. Orang yang Menerima Zakat

Sasaran atau orang yang berhak menerima zakat diatur dalam firman Allah. Hal tersebut tertuang pada surat At Taubah ayat 60.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-4

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَاْلعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَاْلغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ، فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. التوبة:60

Artinya: Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (QS. At Taubah: 60).

 

Melalui Surat At Taubah ayat 60 dapat diketahui siapa saja yang berhak menerima zakat fitrah. Adapun yang berhak menerima zakat sebagaimana Surat At Taubah ayat 60 meliputi: (1) orang-orang fakir; (2) orang-orang miskin; (3) amil zakat; (4) mualaf; (5) hamba sahaya; (6) orang terlilit hutang; (7) hal-hal terkait untuk jalan Allah; dan (8) musafir. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat dapat disimak dengan cara klik di sini.

 

G. Ucapan Orang yang Menerima Zakat

Ketika kita diamanahi sebagai panitia zakat atau pengurus zakat, hendaknya ketika kita menerima zakat yang dikeluarkan oleh muzaki dengan mengucapkan sebagaimana yang dituntunkan Rasulullah. Ucapan yang dimaksud sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-7

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَةٍ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى. البخارى

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amru bin Murrah ia berkata; aku mendengar Abdullah bin Abu Aufa, (dia adalah sahabat yang ikut berbai'at di bawah pohon) katanya; "Adalah Rasulullah SAW, apabila ada suatu kaum datang kepada beliau untuk menyerahkan zakat, beliau mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah selawat kepada mereka). Kemudian bapakku Abu Aufa datang kepada beliau untuk menyerahkan zakatnya, lalu Nabi SAW mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaa aali Abi Aufa (Ya Allah berilah selawat kepada keluarganya Abu Aufa)". (HR. Bukhari, no. 3848).

 

Melalui hadis tadi, ketika kita diamanahi sebagai panitia zakat fitrah atau semacamnya, hendaknya ketika kita menerima zakat yang dikeluarkan oleh muzaki dengan mengucapkan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Adapun lafal ucapan yang dimaksud adalah Alloohumma Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah selawat kepada mereka) atau dengan menyebut nama sehingga lafalnya adalah Alloohumma Shalli 'alaa aali (Fulan) (Ya Allah berilah selawat kepada keluarganya (fulan)).

 

H. Keutamaan Menunaikan Zakat

Zakat memiliki keutamaan yang besar. Keutamaan menunaikan zakat adalah mampu menyucikan dan membersihkan diri seorang muslim. Zakat mampu membersihkan diri seorang muslim dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-5

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ. التوبة: 103

Artinya: Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan332) dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At Taubah: 103).

Catatan: 332) Zakat membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap harta.

 

I. Ancaman Bila Zakat Tidak Dikeluarkan

Terdapat ancaman bagi orang beriman yang mampu dan tidak mau mengeluarkan zakat. Sebab orang beriman yang menumpuk kekayaan tanpa dizakati diancam dengan azab Allah. Azab yang dimaksud adalah kekayaan yang tidak dikeluarkan infaknya kelak itu dipanaskan dalam neraka Jahanam lalu disetrikakan pada dahi, lambung, dan punggung mereka yang tidak mengeluarkan zakat. Hal tersebut sebagaimana dalil Al-Qur’an berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-6

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ يَّوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوٰى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْۗ هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ. التوبة: 34 - 35

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari para rabi dan rahib benar-benar memakan harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih (34), pada hari ketika (emas dan perak) itu dipanaskan dalam neraka Jahanam lalu disetrikakan (pada) dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan), “Inilah apa (harta) yang dahulu kamu simpan untuk dirimu sendiri (tidak diinfakkan). Maka, rasakanlah (akibat dari) apa yang selama ini kamu simpan.” (35). (QS. At Taubah : 34 – 35).

 

Demikian diantaranya yang berkaitan dengan zakat. Semoga yang informasi yang didapat membuat kita semakin paham dengan ilmu agama dan kita bisa mengamalkannya. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita semuanya mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan istikamah sebagai upaya kita meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.

 

No comments:

Post a Comment