Sering sekali kita mendengar pertanyaan, apakah diperbolehkan menggabungkan dua niat ibadah dalam satu ibadah? Pertanyaan tersebut sering berlalu lalang di sekitar kita sehingga membuat kita juga ikut penasaran. Kata niat (النِّيَّةُ) dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkan sesuatu. Bisa dikatakan bahwa (النِّيَّةُ) berarti kehendak atau (قَصْدً), yaitu keyakinan hati melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukan tanpa ada keraguan. Adapun menurut istilah syara’, niat (النِّيَّةُ) adalah tekad hati untuk melakukan suatu amalan atau perbuatan. Niat juga dapat diartikan dengan keinginan yang berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Hadis yang menjadi urgensi niat dalam melakukan sesuatu adalah sebagaimana hadis berikut.
Hadis Pertama
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. البخارى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah bin Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab RA di atas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena menginginkan keuntungan dunia yang akan didapatnya atau karena menginginkan wanita yang dia akan mengawininya, maka hijrahnya itu akan mendapatkan sesuai apa yang ia berniat hijrah padanya". (HR. Bukhari, no. 1).
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis yang agung dan merupakan salah satu hadis utama yang menjadi sumber ajaran-ajaran Islam. Maksud amal-amal (al-a’mal) berarti perbuatan yang mencakup perbuatan baik atau perbuatan buruk. Hadis tadi menjelaskan bahwa hukum suatu amal tidak akan ada tanpa adanya niat. Singkatnya, memahami hadis tadi bahwa amal/ perbuatan itu tergantung niat. Sebagaimana contoh pada hadis diterangkan bahwa apabila seseorang berhijrah dengan niat mendapatkan keuntungan dunia, maka ia mendapatkannya. Apabila seseorang berhijrah dengan niat untuk mengawini seorang wanita, maka ia akan mendapatkannya. Namun sebaliknya, bila seseorang hijrah dengan mengharap rida Allah, maka seseorang tersebut mendapatkannya. Hadis tersebut tidak dipahami dengan satu niat hijrah sehingga mendapat rida Allah, mendapatkan keuntungan dunia, dan mendapatkan wanita sekaligus. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang berakal secara sadar dan atas inisiatif sendiri, pasti disertai dengan niat terkait dengan ibadah ataupun muamalah.
Terkait ibadah, kita tahu bahwa ada ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah. Ibadah mahdlah (العبادت المحضة) secara istilah adalah ibadah yang secara umum tidak dapat diwakilkan sebagaimana ibadah badaniyah. Adapun ibadah badaniyah adalah ibadah murni berupa gerakan fisik. Contoh ibadah mahdlah yaitu salat dan puasa. Ibadah ghairu mahdlah (العبادت غير المحضة) secara umum dapat diwakilkan oleh orang lain. Ibadah ghairu mahdlah meliputi ibadah maliyah mahdlah dan ibadah maliyah ghairu mahdlah. Ibadah maliyah mahdlah adalah ibadah yang menyangkut urusan harta, seperti zakat dan sedekah. Sedangkan ibadah maliyah ghairu mahdlah adalah ibadah yang ada kaitanya dengan harta, tetapi juga terkandung gerakan fisik di dalamnya. Contohnya seperti haji dan umrah. Sementara dari segi muamalah, perbuatan yang bersifat mubah itu apabila dikerjakan tidak mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan juga tidak berdosa sebagaimana pengertian dalam fikih. Contoh sederhana dalam kehidupan diantaranya adalah memilih pakaian terbaik diantara yang terbaik untuk dikenakan, memilih moda transportasi dan menggunakannya untuk menuju satu dan/ atau dua tempat, dan lain sebagainya. Tentu segi muamalah tidak akan menjadi pertanyaan yang berarti terkait dua niat dalam satu perbuatan. Namun beda halnya terkait dengan ibadah. Supaya lebih memahaminya, mari simak dua contoh berikut.
1. Salat Tahiyatul Masjid dengan Salat Qabliyah di Masjid
Supaya lebih memahaminya, kita simak contoh terkait penggabungan salat qabliyah dan salat tahiyatul masjid. Salat qabliyah merupakan salat rawatib yang mengiringi salat fardu. Salat rawatib sendiri merupakan salat yang hukumnya sunah. Begitu juga dengan salat tahiyatul masjid. Penyebutan salat tahiyatul masjid merupakan istilah yang diantaranya agar mempermudah penyebutannya. Pada hadis yang menerangkan salat tahiyatul masjid disebutkan salat dua rakaat sebelum duduk di masjid. Sebagai contoh diambil salat tahiyatul masjid dengan salat qabliyah adalah sama-sama salat sunah. Hadis tentang salat tahiyatul masjid sebagai berikut.
Hadis Kedua
حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِيٍّ الْأنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ. البخارى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Makkiy bin Ibrahim dari 'Abdullah bin Sa'id dari 'Amir bin 'Abdullah bin Az Zubair dari 'Amru bin Sulaim Az Zuraqiy dia mendengar Abu Qatadah bin Rib'iy Al Anshariy RA berkata; Nabi SAW bersabda: “Apabila seseorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum salat dua rakaat. (HR. Bukhari, no. 1097).
Secara penyebutan, istilah salat tahiyatul masjid tidak disebutkan sebagaimana nama salat yang dimaksud. Namun disebutkan salat dua rakaat. Hal tersebut dipahami sebagai syarat duduk di masjid. Berbeda dengan salat tahiyatul masjid, salat qabliyah yang merupakan bagian dari salat rawatib sebelum ditegakkannya salat fardu. Salat rawatib qabliyah ada yang sunah muakkad dan ghairu muakkad. Salah satu landasan salat rawatib yang muakkad sebagaimana hadis berikut.
Hadis Ketiga
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ، حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ. البخارى
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar RA berkata; "Aku menghafal sesuatu dari Nabi SAW berupa shalat sunah sepuluh rakaat yaitu; dua rakaat sebelum salat Zuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah salat Magrib di rumah Beliau, dua rakaat sesudah salat Isya di rumah Beliau dan dua rakaat sebelum salat Subuh, dan pada pelaksanaan salat ini tidak ada waktu senggang bagi Nabi SAW". Telah menceritakan kepada saya Hafshah: "Bahwasanya bila muazin sudah mengumandangkan azan dan fajar sudah terbit, Beliau salat dua rakaat". (HR. Bukhari, no. 1109).
Melalui hadis tadi diketahui diantaranya salat rawatib muakkad, baik qabliyah maupun bakdiyah. Namun demikian, kita soroti yang qabliyah. Ketika masuk dan hendak duduk di masjid, disunahkan salat dua rakaat/ salat tahiyatul masjid. Adapun sebagaimana tadi disebutkan bahwa salat tahiyatul masjid dimaksudkan sebagai syarat duduk di masjid. Namun demikian, salat qabliyah merupakan salat sunah yang mengiringi salat fardu. Singkatnya, masing-masing dari salat qabliyah maupun salat tahiyatul masjid memiliki dasar atau hujjah sendiri-sendiri. Oleh karenanya dalam pelaksanaan dikerjakan secara sendiri-sendiri.
Ketika melaksanakan salat dua rakaat dan hendak duduk di masjid, tentu tergantung niat orang yang salat dua rakaat sebelum duduk di masjid. Bila seseorang tersebut melakukan salat tahiyatul masjid, maka sebagaimana adab masuk masjid itu sudah memenuhi syarat duduk di masjid. Namun ketika seseorang melaksanakan langsung salat qabliyah, maka hal tersebut juga sudah memenuhi syarat duduk di masjid. Bahkan ketika sudah ditegakkan salat wajib pun sudah memenuhi syarat. Hal tesebut dilakukan dengan satu niat satu amalan. Bukan berarti melakukan salat dua rakaat sebelum duduk di masjid itu ketika salat qabliyah dapat pahala salat tahiyatul masjid, atau salat wajib dapat pahala salat tahiyatul masjid. Hal tersebut dikarenakan salat qabliyah maupun salat tahiyatul masjid merupakan ibadah mahdlah yang tidak dapat diwakilkan dan murni ibadah badaniyah dengan satu niat satu perbuatan/ amal.
2. Puasa Syawwal dengan Puasa Senin Kamis
Selain contoh salat tahiyatul masjid dan salat qabliyah, ada juga terkait puasa enam hari di bulan Syawal dan puasa Senin Kamis. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal dan puasa Senin Kamis merupakan puasa sunah. Dalil terkait puasa puasa enam hari di bulan Syawal adalah sebagai berikut.
Hadis Keempat
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتِ بْنِ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ أَخُو يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ ثَابِتٍ أَخْبَرَنَا أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سَعْدِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ. مسلم
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan Ali bin Hujr semuanya dari Isma'il - Ibnu Ayyub berkata- Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far telah mengabarkan kepadaku Sa'd bin Sa'id bin Qais dari Umar bin Tsabit bin Harits Al Khazraji dari Abu Ayyub Al Anshari RA, bahwa ia telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa puasa Ramadan lalu ia iringi dengan puasa enam hari dari Syawwal, adalah (pahalanya) itu seperti puasa setahun." Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair (Muhammad bin Abdullah bin Numair) telah menceritakan kepada kami Bapakku (Abdullah bin Numair) telah menceritakan kepada kami Sa'ad bin Sa'id saudaranya Yahya bin Sa'id, telah mengabarkan kepada kami Umar bin Tsabit telah mengabarkan kepada kami Ayyub Al Anshari RA, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, yakni dengan hadis semisalnya. Dan telah menceritakannya kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mubarak dari Sa'd bin Sa'id ia berkata, saya mendengar Umar bin Tsabit ia berkata, saya mendengar Abu Ayyub RA berkata; Rasulullah SAW bersabda: yakni dengan hadis yang serupa. (HR. Muslim, no. 1984).
Nabi Muhammad SAW menggembirakan umatnya supaya suka berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa orang yang berpuasa satu bulan dibulan Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka pahalanya sebagaimana dengan puasa setahun. Hadis tersebut merupakan dasar hukum pelaksanaan puasa Syawwal dengan ketentuan enam hari di Bulan Syawwal. Sementara dalil pelaksanaan Puasa Senin Kamis sebagaimana hadis berikut.
Hadis Kelima
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ عَنْ بَقِيَّةَ قَالَ حَدَّثَنَا بَحِيرٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ. النسائى
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Utsman dari Baqiyyah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Bahir dari Khalid bin Ma'dan dari Jubair bin Nufair bahwasanya 'Aisyah berkata; "Sesungguhnya dahulu Nabi SAW biasa mementingkan puasa Senin dan Kamis." (HR. Nasa’i, no. 2320).
Hadis tersebut menyatakan bahw Nabi SAW biasa mementingkan puasa di hari Senin dan Kamis. Oleh karenanya, hadis tersebut menjadi suatu ketetapan ibadah puasa yang merupakan ibadah mahdlah. Melalui hadis yang ada terkait puasa Syawwal dan puasa Senin Kamis dalam pelaksanaannya sendiri-sendiri. Hal tersebut karena ada ketentuan terkait ibadah tersebut sehingga tidak dapat diwakilkan sebagaimana ibadah badaniyah. Adapun ibadah badaniyah adalah ibadah murni berupa fisik/ gerakan fisik.
Ketika memahami tentang dua
niat ibadah yang dilaksanakan dengan satu ibadah, kaum muslim berbeda
pemahaman. Ada yang memahami penggabungan dua niat dalam satu ibadah itu boleh.
Sebaliknya, ada juga yang memahami bahwa ibadah yang dimaksud adalah ibadah mahdlah,
sehingga harus berdiri sendiri-sendiri dengan satu niat satu ibadah. Selain itu
juga dapat diambil hikmah bahwa, sebagai kaum muslim hendaknya tidak “malas”
dalam beribadah dengan menggabungkan dua niat dalam satu ibadah. Hikmah lainnya
adalah bahwa ibadah hendaknya dilaksanakan secara serius dan bukan menjadikan
pelakunya sebagai “pemborong pahala” dengan sedikit usaha secara fisik
dalam beribadah. Namun demikian, perbedaan pemahaman bukanlah menjadi sekat diantara
kaum muslim. Marilah sebagai sesama kaum muslim saling toleransi, saling menasihati
dalam kebaikan dan saing menasihati dalam kesabaran. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment