Wednesday, July 1, 2020

Bersuci dengan Air



Bagi seorang muslim, bersuci (thaharah) sangatlah penting. Bersuci digunakan seorang muslim supaya menghilangkan najis dan hadas. Ketika membersihkan diri dari najis disebut istinjak, sedangkan ketika membersihkan diri dari hadas bisa ditempuh dengan wudu, mandi janabah maupun tayamum. Namun demikian, pada bahasan kali ini kita berfokus pada bersuci dengan air. Bersuci memakai air maksudnya membersihkan diri dari najis maupun hadas menggunakan air sebagai medianya.

Air merupakan senyawa penting bagi semua bentuk kehidupan di Bumi. Air menutupi hampir 71% permukaan Bumi. Perkiraan air yang tersedia di Bumi adalah 1,4 triliun kilometer kubik  atau 330 juta mil³. Kenyataan tersebut merupakan keagungan Allah. Semua makhluk hidup di Bumi membutuhkan air dan Allah cukupi. Allah menciptakan air dengan persentase besar di Bumi untuk kebutuhan makhluk-Nya, termasuk manusia. Air digunakan manusia untuk kebutuhannya maupun digunakan dalam peribadatannya. Mengingat begitu pentingnya air dalam beribadah, Islam mengatur sedemikian rupa perihal air dan membaginya dalam berbagai macam kategori hingga menentukan hukum-hukumnya. Mari kita simak pembahasan singkat berikut:

1. Air Mutlak
Air mutlak merupakan air suci dan menyucikan. Maksudnya adalah zat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Adapun macam air mutlak adalah sebagai berikut:

a. Air hujan
Hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Air hujan yang jatuh sebagian mengalir di permukaan dan sebagian meresap ke dalam tanah. Sehingga air hujan disini meliputi  air yang jatuh di darat seperti air sungai, air sumur, mata air. Air hujan tergolong air mutlak berdasarkan Firman Allah SWT dalam Alquran Surat Al Anfal ayat 11.

وَ يُنَزّلُ عَلَيْكُمْ مّنَ السَّمَآءِ مَآءً لّيُطَهّرَكُمْ بِه…. الانفال:11
Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. [QS. Al Anfal: 11]

Menurut Surat Al Anfal ayat 11 tadi sudah jelas bahwa hujan yang diturunkan Allah dapat digunakan untuk bersuci. Maksudnya bersuci adalah untuk menghilangkan najis maupun hadas. Sehingga dalam hal ini, air hujan sah digunakan untuk wudu maupun mandi janabah.

b. Salju, Embun, dan Air Sejuk
Sebelum membahas dalil tentang kebolehan salju, embun dan air sejuk yang digunakan untuk bersuci, mari kita simak bagaimana pengertian singkat salju, embun, dan air sejuk. Salju merupakan pengendapan (presipitasi) padat dalam bentuk kristal es. Salju berasal dari awan ketika suhu berada di bawah titik beku (0 °C atau 32 °F), sehingga uap air di atmosfer berkondensasi langsung menjadi es tanpa melalui tahap cair. Salju terbentuk dari kepingan salju mulai sebagai uap air di awan. Ketika awan sangat dingin, uap air berubah menjadi kristal es. Salju terbentuk ketika kristal es kecil di awan bersatu menjadi kepingan salju (snowflakes) saat suhu rendah dan ada kelembaban di atmosfer. Kepingan salju terdiri dari banyak kristal es kecil yang saling menempel. Kemudian kepingan salju akan menjadi cukup berat sehingga jatuh ke bumi. Kepingan salju yang turun melalui udara lembab yang sedikit lebih hangat dari 0 °C akan meleleh di sekitar tepinya dan tetap bersatu menghasilkan serpihan besar. Kepingan salju yang jatuh melalui udara yang dingin dan kering menghasilkan salju bubuk yang tidak saling menempel.

Sementara itu, embun adalah titik-titik air yang terbentuk karena adanya proses kondensasi, yaitu proses perubahan wujud air dari gas menjadi cair. Embun terbentuk bila udara mengandung banyak uap air, suhunya cukup dingin, dan kondisi yang tidak berangin. Dikarenakan suhu menjadi lebih dingin, uap air yang menempel pada suatu benda berada pada titik jenuh sehingga berubah kembali menjadi air. 

Selain salju dan embun, ada juga air sejuk yang merupakan air yang berada pada suhu lingkungan yang sejuk, tidak membeku, dan tidak sampai membuat seseorang kedinginan. Setelah kita tahu bagaimana pengertian salju, embun, dan air sejuk, dalil kebolehan bersuci menggunakan salju, embun, dan air sejuk adalah sebagai berikut:

اَللّهُمَّ طَهّرْنِى بِالثَّلْجِ وَ اْلبَرَدِ وَ اْلمَاءِ اْلبَارِدِ. مسلم 1: 346 عن عبد الله بن ابى اوفى
Ya Allah, sucikanlah aku dengan salju, embun dan air sejuk dingin. [HR. Muslim juz 1, hal. 346, dari ‘Abdullah bin Abi Aufa]

Menurut hadis di atas, salju, embun, maupun air sejuk itu sah digunakan untuk bersuci. Hal tersebut sebagaimana isi doa Rasulullah di dalam hadis di atas.

c. Air laut
Air laut merupakan air dari laut atau samudra. Air laut memiliki kadar garam rata-rata 3,5%. Artinya rata-rata dalam 1 liter (1000 mL) air laut terdapat 35 gram garam sehingga membuat air laut menjadi asin. Meski rasanya asin, air laut bisa digunakan untuk bersuci sebagaimana hadis berikut:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ ص فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَنَا نَرْكَبُ اْلبَحْرَ وَ نَحْمِلُ مَعَنَا اْلقَلِيْلَ مِنَ اْلمَاءِ فَاِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا. اَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ اْلبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ. الخمسة و قال الترمذى: هذا حديث حسن صحيح، فى نيل الاوطار 1: 24
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, orang itu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami biasa berlayar di lautan, dan kami hanya membawa air sedikit. Apabila kami gunakan untuk berwudu, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudu dengan air laut?”. Rasulullah SAW bersabda, “Dia (laut) itu suci airnya dan halal bangkainya”. [HR. Khamsah, Tirmidzi berkata: Ini adalah hadis hasan shahih, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 24]

2. Air Muntanajis
Secara pengertian, air muntanajis adalah air yang kemasukan najis. Lalu bagaimana dengan kebolehan bersuci dengan air muntanajis ini? Mari kita simak pembahasan singkat berikut:

(a) Hadis Pertama
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الخُدْرِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اْلمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجّسُهُ شَيْءٌ. اخرجه الثلاثة و صححه احمد، فى بلوغ المرام:19
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya air itu adalah pembersih yang tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun”. [HR. Tsalatsah dan dishahihkan oleh Ahmad, dalam Bulughul Maram hal. 19]

(b) Hadis Kedua
عَنْ اَبِى اُمَامَةَ اْلبَاهِلِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اْلمَاءَ لاَ يُنَجّسُهُ شَيْءٌ اِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَ طَعْمِهِ وَ لَوْنِهِ. ابن ماجه و ضعفه ابو حاتم، فى بلوغ المرام: 19
Dari Abu Umamah Al-Bahiliy RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun, kecuali oleh barang yang merubah baunya, rasanya dan warnanya”. [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, dan dilemahkan oleh Abu Hatim, dalam Bulughul Maram hal. 19]

Melalui dua hadis di atas dapat dipahami bahwa hadis pertama menerangkan bahwa air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu hal. Sedangkan hadis kedua menjelaskan bahwa air tidak bisa dinajiskan kecuali berubah baunya, rasanya, dan warnanya. Namun demikian hadis kedua adalah hadis dla’if. Oleh karenanya timbul berbagai pendapat dalam memahami kebolehan bersuci dengan air muntanajis.

Pendapat pertama memahami bahwa air tetap tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu hal. Sehingga meskipun air berubah bau, rasa, dan bau, tetap bisa digunakan untuk bersuci. Alasannya adalah hadis yang menyatakan pengecualian pada air yang berubah bau, rasa, dan warnanya adalah hadis dengan derajat yang lemah (dla’if).

Pendapat kedua memahami bahwa  air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu hal. Namun apabila kemasukan najis sehingga berubah bau, rasa, dan warnanya itu tidak dipakai untuk bersuci. Alasannya adalah hadis kedua tadi dengan derajat yang lemah (dla’if) yang menyatakan pengecualian air yang berubah bau, rasa, dan warnanya itu bisa digunakan sebagai pembatas (ihtiyath).

3. Air Musta’mal
Air mus’tamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Supaya mengerti kebolehan air musta’mal digunakan untuk bersuci, mari kita simak penjelasan singkat berikut:

(a) Hadis Pertama
عَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيّ ص قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ تَغْتَسِلَ اْلمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ اَوِ الرَّجُلُ بِفَضْلِ اْلمَرْأَةِ وَ لْيَغْتَرِفَا جَمِيْعًا. اخرجه ابو داود و النسائى و اسناده صحيح، فى بلوغ المرام: 20
Seorang sahabat Nabi SAW menerangkan, “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang orang perempuan mandi dengan sisa air mandi orang laki-laki, dan orang laki-laki mandi dengan sisa air mandi orang perempuan, dan hendaklah mereka masing-masing menceduknya”. [HR. Abu Dawud dan Nasai, dan sanadnya shahih, dalam Bulughul Maram hal. 20]

(b) Hadis Kedua
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُوْنَةَ. احمد و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 38
Dari Ibnu ‘Abbas, “Bahwasanya Rasulullah SAW pernah mandi dengan sisa air istrinya, Maimunah”. [HR. Ahmad dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 38]

(c) Hadis Ketiga
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُوْنَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص تَوَضَّأَ بِفَضْلِ غُسْلِهَا مِنَ اْلجَنَابَةِ. احمد و ابن ماجه، فى نيل الاوطار 1: 38
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Maimunah, “Bahwasanya Rasulullah SAW pernah berwudu dengan air sisa mandi janabatnya Maimunah”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 38]

Melalui ketiga hadis di atas bisa kita mengerti bahwa hadis pertama menegaskan bahwa Rasulullah SAW melarang orang perempuan mandi dengan air sisa orang laki-laki atau orang laki-laki dilarang mandi dengan air sisa mandi orang perempuan. Namun pada hadis pertama juga menerangkan tentang masing-masing orang menceduk air. Hadis kedua menerangkan bahwa Rasulullah pernah mandi dengan sisa air istrinya yang bernama Maimunah. Hadis ketiga menerangkan tentang Rasulullah yang pernah berwudu dengan sisa air mandi janabatnya Maimunah. Namun pada hadis kedua dan ketiga tidak ada keterangan bahwa hanya khusus untuk Rasulullah.

Melalui hadis-hadis di atas, seakan berlawanan antara hadis pertama dan hadis kedua bersama hadis ketiga. Oleh karenanya, kita takwil bahwa apabila hadis pertama adalah hadis yang shahih, tentu hukum larangan yang ada pada hadis pertama adalah makruh. Sebagai catatan, makruh di sini berlaku bagi laki-laki atau perempuan yang mandi dalam tempat bekas yang dipakai oleh seseorang yang bukan merupakan suami atau istrinya. Hal tersebut sebagai sarana pendidikan bagi seseorang menjaga kehormatan masing-masing dan membatasi pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Terlebih-lebih orang yang bukan mahramnya hingga ke tingkat yang paling halus sekalipun. Namun demikian apabila terpaksa menggunakan air dari tempat yang sama, maka diberi jalan supaya masing-masing orang menceduk air untuk keperluannya dan tidak masuk atau menyelam ke dalam wadah air. Sehingga dengan jalan menceduk, air di suatu tempat dapat digunakan oleh banyak orang.

4. Air Kemasukan Bangkai Tak Berdarah
Air kemasukan bangkai tak berdarah maksudnya adalah air yang mengandung bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir. Bagaimana kebolehan bersuci dengan air ini? Mari kita simak hadis berikut:

Diriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada Salman:
يَا سَلْمَانُ اَيُّمَا طَعَامٍ اَوْ شَرَابٌ مَاتَتْ فِيْهِ دَابَّةٌ لَيْسَتْ فِيْهِ نَفْسٌ سَائِلَةٌ فَهُوَ اْلحَلاَلُ اَكْلُهُ وَ شُرْبُهُ وَ وُضُوْءُهُ. الترمذى و الدارقطنى، فى المغنى 1: 39
Hai Salman, setiap makanan atau minuman (air) yang di dalamnya telah mati binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, maka halal dimakan dan diminum dan boleh dipakai untuk berwudu. [HR. Tirmidzi dan Daruquthni, dalam Al-Mughni juz 1, hal. 39]

Menurut hadis di atas menerangkan bahwa makanan dan minuman yang kemasukan bangkai hewan yang tidak berdarah mengalir sepertihalnya lalat dan sebagainya itu halal untuk dimakan atau diminum dan tentu air itu sah digunakan utuk berwudu.

5. Air Tergenang

Air tergenang adalah air yang tidak mengalir. Pada dasarnya air tergenang boleh digunakan untuk bersuci. Namun terdapat ketentuan-ketentuan dalam mengunakan air tergenang untuk bersuci. Mari kita simak penjelasan singkat berikut:

(a) Hadis Pertama
عَنْ بُكَيْرِ بْنِ اْلاَشَجّ اَنَّ اَبَا السَّائِبِ مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ حَدَّثَهُ، اَنَّهُ سَمِعَ اَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَغْتَسِلُ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ وَ هُوَ جُنُبٌ. فَقَالَ: كَيْفَ يَفْعَلُ يَا اَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلاً. مسلم 1: 236
Dari Bukair bin Al-Asyajji, ia berkata: Sesungguhnya Abu Saib maula Hisyam bin Zuhrah menceritakan kepadanya, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seseorang diantara kamu mandi dalam air yang tergenang, sedang ia berjunub”. Lalu ia (Abu Saib) bertanya, “Bagaimana seharusnya orang itu berbuat, ya Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab, “(Hendaklah) orang itu mandi dengan menciduknya”. [HR. Muslim I : 236]

(b) Hadis Kedua
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لاَ يَبُوْلَنَّ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ. مسلم 1: 235
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu kencing pada air yang tergenang (tidak mengalir) kemudian mandi pula darinya”. [HR. Muslim I : 235]

(c) Hadis Ketiga
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لاَ يَبُوْلَنَّ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ. الترمذى 1: 46
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu kencing pada air yang tergenang, kemudian berwudu pula darinya”. [HR. Tirmidzi I : 46, ia berkata: hadis hasan shahih]

Melalui ketiga hadis di atas bisa kita pahami bahwa hadis pertama menyatakan bahwa orang yang berjunub (hadas besar) tidak boleh mandi dalam air tergenang dengan cara menyelam ke dalam air tergenang. Apabila seorang yang hendak mandi itu dengan cara menceduk air dengan gayung. Hadis kedua menyatakan bahwa kita tidak boleh kencing di air yang tergenang dan malah mandi dengan air itu. Hadis ketiga menyatakan bahwa tidak boleh kencing pada air yang tergenang lalu berwudu dengan air tersebut selama air itu tidak berubah bau, rasa, dan warnanya.

Wallahu a’lam bish-shawab.


No comments:

Post a Comment