Kita sebagai umat muslim tentu
perlu betul-betul memahami seputar najis. Sebab kita tahu bahwa keberadaan
najis ini perlu dihilangkan dari diri kita. Najis atau rijs adalah sesuatu hal
yang dipandang kotor oleh hukum agama Islam. Adapun najis ini apabila disimak
dari Alquran maupun sunnah, najis terbagi menjadi tiga macam najis. Tiga najis
yang dimaksud adalah najis akidah, najis untuk dikonsumsi (dimakan/ diminum),
najis karena sentuhan. Najis akidah adalah dalam arti kotor dalam kepercayaan
atau keyakinan. Najis untuk dikonsumsi artinya adalah benda-benda haram untuk
dimakan atau diminum. Najis karena sentuhan merupakan sesuatu hal yang wajib
kita bersihkan atau cuci apabila kita kontak secara langsung, baik menyentuh
atau tersentuh benda-benda tergolong najis. Meskipun dalam hukum agama Islam
terdapat tiga macam najis, tetapi pada kesempatan kali ini kita akan membas seputar
najis karena sentuhan.
Menurut kaidah ushul diterangkan
bahwa asal segala sesuatu benda adalah halal dan suci serta boleh digunakan
untuk berbagai hal. Namun demikian terdapat pengecualian yang ada di dalam
Alquran maupun hadis shahih (sunah). Sejauh ini terdapat beberapa najis yang
perlu kita bersihkan dari diri kita, antara lain: kotoran manusia, air kencing
manusia, air mazi, darah haid, darah nifas. Supaya kita mendapat gambaran
tentang macam najis karena sentuhan, mari kita simak penjelasan singkat
berikut:
1. Kotoran
Manusia
Sebagai makhluk hidup, manusia
tentunya dalam kesehariannya mengeluarkan kotoran. Hal tersebut karena manusia
bermetabolisme. Manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa makan. Oleh karenanya
zat sisa dari pencernaan makan akan dibuang. Kita tidak bisa menafikkan keadaan
manusia tersebut yang merupakan makhluk hidup. Adapun di dalam aturan Agama
Islam, terdapat aturan mengenai keharusan membersihkan kotoran manusia yang
termasuk najis. Keterangan yang dimaksud termaktub pada hadis berikut:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض
قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدْخُلُ اْلخَلاَءَ فَاَحْمِلُ اَنَا وَ غُلاَمٌ
نَحْوِى اِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَ عَنَزَةً فَيَسْتَنْجِى بِاْلمَاءِ. احمد و
البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 119
Dari Anas bin Malik RA, ia
berkata, “Adalah Rasulullah SAW masuk ke tempat buang air, lalu saya dan
seorang muda sebaya saya membawakan ember berisi air dan sebuah tongkat,
kemudian Rasulullah SAW beristinjak dengan air itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim,
dalam Nailul Authar juz 1, hal. 119]
Menurut hadis di atas bisa kita
pahami bahwa Rasulullah mengajari kita ketika buang air, maka kita harus
beristinjak atau bersuci dari kotoran manusia dengan menggunakan media air.
Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan tentang istinjak dengan media yang
lain. Meskipun Bumi ini memiliki jumlah air yang banyak, tetapi ada saudara-saudara
kita di suatu tempat yang kekurangan air. Oleh karenanya Islam yang rahmatan
lil alamin ini memberi kemudahan kepada umat Islam dalam beristinjak.
Kebolehan tersebut berdasar hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِذَا ذَهَبَ اَحَدُكُمْ اِلَى اْلغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ
بِثَلاَثَةِ اَحْجَارٍ فَاِنَّهَا تُجْزِى عَنْهُ. احمد و النسائى و ابو داود و
الدارقطنى و قال: اسناده صحيح حسن. فى نيل الاوطار 1: 110
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara
kamu pergi buang air besar, maka hendaklah bersuci dengan tiga batu, karena
tiga batu itu sudah mencukupinya”. [HR. Ahmad, Nasai, Abu Dawud dan Daruquthni. Ia berkata:
Sanadnya shahih hasan, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 110]
Menurut hadis di atas, terdapat
kebolehan bersuci dengan media selain air. Pada ketentuan di dalam hadis adalah
beristinjak dengan tiga batu. Hal ini tentu meringankan saudara kita di daerah
kekurangan air.
2. Air
Kencing Manusia
Manusia menghasilkan air kencing
karena tubuhnya bermetabolisme. Air kencing merupakan bagian sisa metabolisme
tubuh manusia. Kita harus membersihkan diri dari air kencing supaya terhindar
dari najis. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut:
عَنْ اَنِسِ بْنِ مَالِكٍ
قَالَ: جَاءَ اَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِى طَائِفَةِ اْلمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ
فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ ص. فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ اَمَرَ النَّبِيُّ ص
بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ فَاُهْرِيْقَ عَلَيْهِ. البخارى 1: 62
Dari Anas bin Malik, ia berkata:
Ada seorang Arab gunung datang, lalu kencing di bagian masjid. Kemudian orang
banyak sama membentaknya, lalu Nabi SAW melarang mereka berbuat yang demikian.
Setelah orang itu selesai dari kencingnya, Nabi SAW memerintahkan supaya
mengambil seember air, lalu disiramkanlah air itu di atas kencing orang tersebut”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 62]
Melalui hadis di atas dapat
diketahui bahwa air kencing merupakan najis. Rasulullah pun sampai memerintahkan
supaya menyiram tempat bagian masjid tadi yang dikencingi. Andaikata air
kencing bukanlah najis, maka tentu tidak ada perintah untuk menyiramnya dengan
seember air. Selain itu juga ada ancaman terkait air kencing ini sebagaimana
hadis berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ اْلبَوْلِ فَاِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ
اْلقَبْرِ مِنْهُ. الدارقطنى. و للحاكم: اَكْثَرُ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنَ
اْلبَوْلِ. فى بلوغ المرام :36
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Bersucilah kamu sekalian dari kencing, karena
umumnya azab kubur itu adalah dari sebab kencing”. [HR. Daruquthni] Dan pada
riwayat Hakim, “Kebanyakan azab kubur itu adalah lantaran kencing”. [Dalam
Bulughul Maram hal. 36]
Melalui hadis di atas dapat
diketahui bahwa terdapat ancaman yang disebabkan air kencing. Hadis di atas
menerangkan tentang azab kubur karena air kencing. Maka dapat diketahui bahwa
air kencing adalah najis dan ketika sesudah kencing, kita wajib
membersihkannya.
3. Air Mazi
Air mazi adalah air bening dan
lekat (seperti lendir) yang keluar dari kemaluan seseorang apabila terangsang
nafsu seksualnya (nafsu syahwat). Adapun hukumnya air wadi (air lelah) adalah
disamakan dengan air mazi. Hadis mengenai air mazi adalah sebagai berikut:
عَنْ عَلِيّ قَالَ: كُنْتُ
رَجُلاً مَذَّاءً وَ كُنْتُ اَسْتَحْيِى اَنْ اَسْأَلَ النَّبِيَّ ص لِمَكَانِ
ابْنَتِهِ فَاَمَرْتُ اْلمِقْدَادَ بْنَ اْلاَسْوَدِ فَسَأَلَهُ. فَقَالَ:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَ يَتَوَضَّأُ. مسلم 1: 247
Dari ‘Ali, ia berkata: Saya
adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan mazi, karena saya malu untuk
bertanya kepada Nabi SAW mengingat kedudukan putri beliau (Fathimah), maka saya
menyuruh Miqdad bin Aswad (untuk bertanya kepada beliau). Lalu dia bertanya kepada
Nabi SAW. Kemudian beliau bersabda, “(Hendaklah) ia cuci kemaluannya dan berwudu”. [HR. Muslim juz 1, hal. 247]
Melalui hadis di atas dapat
diambil pengertian bahwa air mazi adalah najis dan harus dibersihkan dari
badan. Cara menyucikannya adalah dengan mencuci kemaluan.
4. Darah
Haid
Darah haid merupakan darah yang
keluar dari kemaluan wanita karena menstruasi. Hal tersebut ialah bagian siklus
bulanan alami pada tubuh wanita. Siklus tersebut merupakan proses organ
reproduksi wanita untuk bersiap jika terjadi kehamilan. Persiapan ini ditandai
dengan penebalan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah.
Apabila tidak terjadi kehamilan, endometrium akan mengalami peluruhan dan keluar
bersama darah melalui kemaluan wanita.
Siklus menstruasi pada seorang
wanita diatur oleh berbagai hormon, baik yang dihasilkan oleh organ reproduksi
maupun kelenjar lain. Beberapa hormon yang terlibat adalah GnRH (gonadotropin
relasing hormone), FSH (folicle stimulating hormone), LH (luteinizing
hormone), estrogen, dan progesteron. Berdasarkan perubahan kondisi rahim
dan konsentrasi hormon, siklus menstruasi dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
fase menstruasi, fase folikular, fase ovulasi, fase luteal. Melalui penjelasan
singkat tadi dapat diketahui bahwa darah haid merupakan kotoran yang berasal
dari peluruhan dinding rahim. Terkait darah haid, agama Islam mengatur bahwa
darah tersebut harus dibersihkan dari badan karena termasuk najis. Adapun
dalilnya adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ فَاطِمَةَ
بِنْتَ اَبِى حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ ص: فَقَالَ:
ذلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَ بِاْلحَيْضَةِ. فَاِذَا اَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ فَدَعِى
الصَّلاَةَ وَ اِذَا اَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَ صَلّى. البخارى 1: 82
Dari ‘Aisyah bahwasanya Fathimah
binti Abu Hubaisy dulu menderita istihadhah, lalu ia bertanya kepada Nabi SAW,
maka beliau bersabda, “Sessungguhnya yang demikian itu hanyalah gangguan urat,
bukan haid. Maka apabila datang haid, tinggalkanlah salat dan apabila sudah
berhenti maka mandilah dan salatlah”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 82]
Hadis di atas menunjukkan bahwa
ada beberapa pelajaran. Pelajaran pertama adalah istihadhah yang bukan
merupakan haid. Rasulullah menjelaskan bahwa istihadhah adalah gangguan urat.
Pelajaran kedua adalah apabila datang haid, wanita diharuskan meninggalkan
salat. Apabila selesai haid, maka diperintahkan untuk mandi dan salat. Adapun
apabila cara membersihkan pakaian yang terkena darah haid adalah dengan mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu mencucinya, dan barulah baju itu bisa digunakan
untuk salat. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut:
عَنْ اَسْمَاءَ قَالَتْ:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: اِحْدَانَا يُصِيْبُ ثَوْبَهَا
مِنْ دَمِ اْلحَيْضَةِ، كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ
بِاْلمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ. ثُمَّ تُصَلّى فِيْهِ. مسلم 1: 240
Dari Asma’, ia berkata: Ada
seorang wanita datang kepada Nabi SAW lalu bertanya, “Salah seorang diantara
kami pakaiannya terkena darah haid, bagaimana cara membersihkannya?”. Nabi SAW
menjawab, “(Hendaklah) ia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu
mencucinya, lalu ia boleh salat dengan pakaian itu”. [HR. Muslim juz 1, hal. 240]
5.
Darah Nifas
Darah nifas adalah darah yang
keluar ketika seorang wanita melahirkan dan sesudahnya. Wanita yang sedang
nifas tidak boleh salat seperti halnya wanita yang sedang haid. Hal tersebut
sebagaimana hadis berikut:
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ قَالَتْ:
كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص اَرْبَعِيْنَ
يَوْمًا وَ كُنَّا نَطْلِى وُجُوْهَنَا بِاْلوَرْسِ مِنَ اْلكَلَفِ. الخمسة الا
النسائى، فى نيل الاوطار 1: 331
Dari Ummu Salamah, ia berkata,
“Adalah wanita-wanita yang nifas di zaman Nabi SAW duduk (tidak salat) selama
empat puluh hari dan kami memakai pilis pada wajah-wajah kami dengan waras
(sejenis tumbuh-tumbuhan) berwarna merah kehitaman”. [HR. Khamsah kecuali Nasai,
dalam Nailul Authar juz 1, hal. 331]
Melalui hadis di atas dapat
diketahui pengertian bahwa wanita nifas sebagaimana wanita haid yang tidak
boleh salat. Oleh karenanya darah nifas pun hukumnya sama dengan darah haid,
yaitu najis.
Wallahu a’lam bish-shawab.
No comments:
Post a Comment