Thursday, July 2, 2020

Seputar Najis Karena Sentuhan


Kita sebagai umat muslim tentu perlu betul-betul memahami seputar najis. Sebab kita tahu bahwa keberadaan najis ini perlu dihilangkan dari diri kita. Najis atau rijs adalah sesuatu hal yang dipandang kotor oleh hukum agama Islam. Adapun najis ini apabila disimak dari Alquran maupun sunnah, najis terbagi menjadi tiga macam najis. Tiga najis yang dimaksud adalah najis akidah, najis untuk dikonsumsi (dimakan/ diminum), najis karena sentuhan. Najis akidah adalah dalam arti kotor dalam kepercayaan atau keyakinan. Najis untuk dikonsumsi artinya adalah benda-benda haram untuk dimakan atau diminum. Najis karena sentuhan merupakan sesuatu hal yang wajib kita bersihkan atau cuci apabila kita kontak secara langsung, baik menyentuh atau tersentuh benda-benda tergolong najis. Meskipun dalam hukum agama Islam terdapat tiga macam najis, tetapi pada kesempatan kali ini kita akan membas seputar najis karena sentuhan.

Menurut kaidah ushul diterangkan bahwa asal segala sesuatu benda adalah halal dan suci serta boleh digunakan untuk berbagai hal. Namun demikian terdapat pengecualian yang ada di dalam Alquran maupun hadis shahih (sunah). Sejauh ini terdapat beberapa najis yang perlu kita bersihkan dari diri kita, antara lain: kotoran manusia, air kencing manusia, air mazi, darah haid, darah nifas. Supaya kita mendapat gambaran tentang macam najis karena sentuhan, mari kita simak penjelasan singkat berikut:

1. Kotoran Manusia
Sebagai makhluk hidup, manusia tentunya dalam kesehariannya mengeluarkan kotoran. Hal tersebut karena manusia bermetabolisme. Manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa makan. Oleh karenanya zat sisa dari pencernaan makan akan dibuang. Kita tidak bisa menafikkan keadaan manusia tersebut yang merupakan makhluk hidup. Adapun di dalam aturan Agama Islam, terdapat aturan mengenai keharusan membersihkan kotoran manusia yang termasuk najis. Keterangan yang dimaksud termaktub pada hadis berikut:

عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَدْخُلُ اْلخَلاَءَ فَاَحْمِلُ اَنَا وَ غُلاَمٌ نَحْوِى اِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَ عَنَزَةً فَيَسْتَنْجِى بِاْلمَاءِ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 119
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW masuk ke tempat buang air, lalu saya dan seorang muda sebaya saya membawakan ember berisi air dan sebuah tongkat, kemudian Rasulullah SAW beristinjak dengan air itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 119]

Menurut hadis di atas bisa kita pahami bahwa Rasulullah mengajari kita ketika buang air, maka kita harus beristinjak atau bersuci dari kotoran manusia dengan menggunakan media air. Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan tentang istinjak dengan media yang lain. Meskipun Bumi ini memiliki jumlah air yang banyak, tetapi ada saudara-saudara kita di suatu tempat yang kekurangan air. Oleh karenanya Islam yang rahmatan lil alamin ini memberi kemudahan kepada umat Islam dalam beristinjak. Kebolehan tersebut berdasar hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِذَا ذَهَبَ اَحَدُكُمْ اِلَى اْلغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَثَةِ اَحْجَارٍ فَاِنَّهَا تُجْزِى عَنْهُ. احمد و النسائى و ابو داود و الدارقطنى و قال: اسناده صحيح حسن. فى نيل الاوطار 1: 110
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu pergi buang air besar, maka hendaklah bersuci dengan tiga batu, karena tiga batu itu sudah mencukupinya”. [HR. Ahmad, Nasai, Abu Dawud dan Daruquthni. Ia berkata: Sanadnya shahih hasan, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 110]

Menurut hadis di atas, terdapat kebolehan bersuci dengan media selain air. Pada ketentuan di dalam hadis adalah beristinjak dengan tiga batu. Hal ini tentu meringankan saudara kita di daerah kekurangan air.

2. Air Kencing Manusia
Manusia menghasilkan air kencing karena tubuhnya bermetabolisme. Air kencing merupakan bagian sisa metabolisme tubuh manusia. Kita harus membersihkan diri dari air kencing supaya terhindar dari najis. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut:

عَنْ اَنِسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ اَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِى طَائِفَةِ اْلمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ ص. فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ اَمَرَ النَّبِيُّ ص بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ فَاُهْرِيْقَ عَلَيْهِ. البخارى 1: 62
Dari Anas bin Malik, ia berkata: Ada seorang Arab gunung datang, lalu kencing di bagian masjid. Kemudian orang banyak sama membentaknya, lalu Nabi SAW melarang mereka berbuat yang demikian. Setelah orang itu selesai dari kencingnya, Nabi SAW memerintahkan supaya mengambil seember air, lalu disiramkanlah air itu di atas kencing orang tersebut”. [HR.  Bukhari juz 1, hal. 62]

Melalui hadis di atas dapat diketahui bahwa air kencing merupakan najis. Rasulullah pun sampai memerintahkan supaya menyiram tempat bagian masjid tadi yang dikencingi. Andaikata air kencing bukanlah najis, maka tentu tidak ada perintah untuk menyiramnya dengan seember air. Selain itu juga ada ancaman terkait air kencing ini sebagaimana hadis berikut:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ اْلبَوْلِ فَاِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنْهُ. الدارقطنى. و للحاكم: اَكْثَرُ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنَ اْلبَوْلِ. فى بلوغ المرام :36
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda, “Bersucilah kamu sekalian dari kencing, karena umumnya azab kubur itu adalah dari sebab kencing”. [HR. Daruquthni] Dan pada riwayat Hakim, “Kebanyakan azab kubur itu adalah lantaran kencing”. [Dalam Bulughul Maram hal. 36]

Melalui hadis di atas dapat diketahui bahwa terdapat ancaman yang disebabkan air kencing. Hadis di atas menerangkan tentang azab kubur karena air kencing. Maka dapat diketahui bahwa air kencing adalah najis dan ketika sesudah kencing, kita wajib membersihkannya.

3. Air Mazi
Air mazi adalah air bening dan lekat (seperti lendir) yang keluar dari kemaluan seseorang apabila terangsang nafsu seksualnya (nafsu syahwat). Adapun hukumnya air wadi (air lelah) adalah disamakan dengan air mazi. Hadis mengenai air mazi adalah sebagai berikut:

عَنْ عَلِيّ قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَ كُنْتُ اَسْتَحْيِى اَنْ اَسْأَلَ النَّبِيَّ ص لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَاَمَرْتُ اْلمِقْدَادَ بْنَ اْلاَسْوَدِ فَسَأَلَهُ. فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَ يَتَوَضَّأُ. مسلم 1: 247
Dari ‘Ali, ia berkata: Saya adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan mazi, karena saya malu untuk bertanya kepada Nabi SAW mengingat kedudukan putri beliau (Fathimah), maka saya menyuruh Miqdad bin Aswad (untuk bertanya kepada beliau). Lalu dia bertanya kepada Nabi SAW. Kemudian beliau bersabda, “(Hendaklah) ia cuci kemaluannya dan berwudu”. [HR. Muslim juz 1, hal. 247]

Melalui hadis di atas dapat diambil pengertian bahwa air mazi adalah najis dan harus dibersihkan dari badan. Cara menyucikannya adalah dengan mencuci kemaluan.

4. Darah Haid
Darah haid merupakan darah yang keluar dari kemaluan wanita karena menstruasi. Hal tersebut ialah bagian siklus bulanan alami pada tubuh wanita. Siklus tersebut merupakan proses organ reproduksi wanita untuk bersiap jika terjadi kehamilan. Persiapan ini ditandai dengan penebalan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah. Apabila tidak terjadi kehamilan, endometrium akan mengalami peluruhan dan keluar bersama darah melalui kemaluan wanita.

Siklus menstruasi pada seorang wanita diatur oleh berbagai hormon, baik yang dihasilkan oleh organ reproduksi maupun kelenjar lain. Beberapa hormon yang terlibat adalah GnRH (gonadotropin relasing hormone), FSH (folicle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone), estrogen, dan progesteron. Berdasarkan perubahan kondisi rahim dan konsentrasi hormon, siklus menstruasi dibagi menjadi beberapa fase, yaitu: fase menstruasi, fase folikular, fase ovulasi, fase luteal. Melalui penjelasan singkat tadi dapat diketahui bahwa darah haid merupakan kotoran yang berasal dari peluruhan dinding rahim. Terkait darah haid, agama Islam mengatur bahwa darah tersebut harus dibersihkan dari badan karena termasuk najis. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ اَبِى حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ ص: فَقَالَ: ذلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَ بِاْلحَيْضَةِ. فَاِذَا اَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَ اِذَا اَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَ صَلّى. البخارى 1: 82
Dari ‘Aisyah bahwasanya Fathimah binti Abu Hubaisy dulu menderita istihadhah, lalu ia bertanya kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Sessungguhnya yang demikian itu hanyalah gangguan urat, bukan haid. Maka apabila datang haid, tinggalkanlah salat dan apabila sudah berhenti maka mandilah dan salatlah”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 82]

Hadis di atas menunjukkan bahwa ada beberapa pelajaran. Pelajaran pertama adalah istihadhah yang bukan merupakan haid. Rasulullah menjelaskan bahwa istihadhah adalah gangguan urat. Pelajaran kedua adalah apabila datang haid, wanita diharuskan meninggalkan salat. Apabila selesai haid, maka diperintahkan untuk mandi dan salat. Adapun apabila cara membersihkan pakaian yang terkena darah haid adalah dengan mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu mencucinya, dan barulah baju itu bisa digunakan untuk salat. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut:

عَنْ اَسْمَاءَ قَالَتْ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: اِحْدَانَا يُصِيْبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ اْلحَيْضَةِ، كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِاْلمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ. ثُمَّ تُصَلّى فِيْهِ. مسلم 1: 240
Dari Asma’, ia berkata: Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW lalu bertanya, “Salah seorang diantara kami pakaiannya terkena darah haid, bagaimana cara membersihkannya?”. Nabi SAW menjawab, “(Hendaklah) ia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu mencucinya, lalu ia boleh salat dengan pakaian itu”. [HR. Muslim juz 1, hal. 240]

5. Darah Nifas
Darah nifas adalah darah yang keluar ketika seorang wanita melahirkan dan sesudahnya. Wanita yang sedang nifas tidak boleh salat seperti halnya wanita yang sedang haid. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut:

عَنْ اُمّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا وَ كُنَّا نَطْلِى وُجُوْهَنَا بِاْلوَرْسِ مِنَ اْلكَلَفِ. الخمسة الا النسائى، فى نيل الاوطار 1: 331
Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Adalah wanita-wanita yang nifas di zaman Nabi SAW duduk (tidak salat) selama empat puluh hari dan kami memakai pilis pada wajah-wajah kami dengan waras (sejenis tumbuh-tumbuhan) berwarna merah kehitaman”. [HR. Khamsah kecuali Nasai, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 331]

Melalui hadis di atas dapat diketahui pengertian bahwa wanita nifas sebagaimana wanita haid yang tidak boleh salat. Oleh karenanya darah nifas pun hukumnya sama dengan darah haid, yaitu najis.

Wallahu a’lam bish-shawab.


No comments:

Post a Comment