Islam merupakan agama yang
mengajarkan untuk peduli sesama sebagai bentuk ibadah. Adapun ibadah sebagai
bentuk kepedulian yang dimaksud itu beragam. Hal tersebut di antaranya adalah
zakat. Adapun zakat banyak macamnya. Di antara macam zakat yang ada yaitu zakat
obligasi syariah. Supaya ada gambaran mengenai zakat obligasi syariah, maka kita
akan mengulas di antaranya: (a) pengertian zakat obligasi syariah; (b) hukum
zakat obligasi syariah; (c) nisab dan haul zakat obligasi syariah; (d) jumlah
zakat yang ditunaikan; (e) orang yang mengeluarkan zakat; (f) orang yang berhak
menerima zakat; (g) ucapan orang yang menerima zakat; (h) keutamaan menunaikan
zakat; dan (i) ancaman bila zakat tidak dikeluarkan.
A.
Pengertian Zakat Obligasi Syariah
Pada jaman dahulu, ulama klasik
belum mencantumkan bahasan tentang pasar modal dalam kitab yang disusunnya. Hal
tersebut karena pasar modal pada saat itu belum dikenal. Namun demikian
prinsip-prinsip muamalah yang menjadi dasar hukum kelangsungan kegiatan pasar
modal dapat di jumpai dalam kitab-kitab fikih klasik. Pasar modal sebenarnya
bukan merupakan bentuk pasar baru dalam dunia perekonomian Islam dan Indonesia.
Aktivitas pasar modal sudah dimulai sejak tahun 1912 di Jakarta. Objek yang
diperdagangkan di pasar modal adalah efek. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995
Tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa efek adalah surat berharga, yaitu surat
pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang,
Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan
setiap derivatif dari efek. Meskipun efek terdiri atas berbagai macam surat
berharga, tetapi 2 (dua) instrument utama di pasar modal, yaitu saham dan
obligasi. Pada pembahasan kali ini akan mengulas mengenai obligasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menerangkan arti obligasi adalah: (1) surat pinjaman dengan bunga
tertentu dari pemerintah yang dapat diperjualbelikan; atau (2) surat utang
berjangka (waktu) lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, dikeluarkan
oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan
perusahaan. Istilah obligasi dalam bahasa fikih terkait dengan sukuk. Adapun sukuk
(صُكُوْك) adalah istilah yang berasal dari bahasa
Arab dan merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “Sakk” (صَكَّ),
yang berarti dokumen atau sertifikat. Pada abad pertengahan abad 20, sukuk
lazim digunakan oleh para pedagang muslim sebagai dokumen yang menunjukkan
kewajiban finansial yang timbul dari perdagangan dan aktivitas komersial
lainnya. Berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam–LK) Nomor KEP-181/BL/2009, sukuk didefinisikan sebagai
Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan
mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: (1) Kepemilikan
aset berwujud tertentu; (2) Nilai manfaat dan jasa atas asset proyek tertentu
atau aktivitas investasi tertentu; (3) Kepemilikan atas aset proyek tertentu
atau aktivitas investasi tertentu. Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah, Sukuk (Obligasi Syariah) didefinisikan sebagai surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/ margin/ fee
serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi adalah
sekuritas berpendapatan tetap (fixed income securities) yang ditebitkan
berhubungan dengan perjanjian utang.
Sebagai sekuritas
berpenghasilan tetap obligasi mempunyai karakteristik, yaitu: (1) Surat berharga
yang mempunyai kekuatan hukum; (2) Memiliki jangka waktu tertentu atau jatuh
tempo; (3) Memberikan pendapatan tetap secara periodik; dan (d) Mempunyai nilai
nominal (nilai pari). Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang
yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan
untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok
utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut.
Jenis-jenis obligasi diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Berberdasarkan penerbitnya
terdiri dari:
a. Obligasi Pemerintah Pusat.
b. Obligasi Pemerintah daerah.
c. Obligasi Badan Usaha Milik
Negara.
d. Obligasi Perusahaan Swasta.
2. Berdasarkan jatuh tempo
terdiri dari:
a. Obligasi jangka pendek
(sampai dengan satu tahun).
b. Obligasi jangka menengah
(dua sampai lima tahun).
c. Obligasi jangka panjang
(lebih dari lima tahun).
3. Berdasarkan Jaminan, terdiri
dari:
a. Obligasi dengan jaminan
(Secured bond) yaitu obligasi yang diberi agunan untuk pelunasan pokok pinjaman
beserta bunganya. Agunan ini adalah harta kekayaan perusahaan (emiten).
b. Obligasi tanpa jaminan
adalah obligasi tanpa didukung oleh agunan.
4. Berdasarkan konversi terdiri
dari:
a. Convertible bond
adalah obligasi yang dapat ditukar dengan saham setelah jangka waktu tertentu.
b. Non convertible bond
adalah obligasi yang tidak dapat dikomversikan menjadi saham.
Obligasi merupakan surat
berharga jangka panjang yang bersifat utang yang memungkinkan bagi pemegang
obligasi tersebut untuk mendapat imbalan bunga secara periodik dan akan
mendapatkan imbalan pengembalian pelunasan pokok pada saat jatuh tempo. Praktik
obligasi yang ada pada keuangan konvensional tidak sesuai dengan syariah. Hal
tersebut dikarenakan terdapat unsur bunga sebagai imbalan bagi pemegang
obligasi. Untuk itu lembaga keuangan Syariah harus mampu mengakomodir kebutuhan
masyarakat tersebut harus sesuai dengan syariah, Obligasi syariah sebagai
solusinya. Penerbitan instrument obligasi syariah (sukuk) bukan instrument
utang piutang dengan bunga (riba), tetapi diterbitkan dengan suatu underlying
asset dengan prinsip syariah yang jelas.
Pengertian obligasi (sukuk)
dalam pasar modal syariah memiliki makna yang lebih luas yaitu meliputi
beberapa akad yang dapat digunakan. Seperti akad mudharabah, murabahah, salam,
istisna dan ijarah. Istilah sukuk sudah dikenal sejak abad pertengahan, yang mana
umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Menurut
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, pengertian obligasi
syariah (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, 2006: 197-198) adalah
suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi
syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investmest)
memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap
menghindarkan riba. Berdasarkan pengertian tersebut, obligasi syariah dapat
memberikan:
1. Bagi hasil berdasarkan akad
mudharabah/muqadarah/qirad atau musyarakah. Hal tersebut karena akad
mudharabah/musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau
keuntungan, obligasi ini akan memberikan return dengan penggunaan term undicative/expected
return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kenerja
pendapatan yang dibagihasilkan.
2. Margin/fee berdasarkan akad
murabahah atau salam atau istishna atau ijarah. Dengan akad
murabahah/salam/istishna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis,
obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.
Penerbitan obligasi syariah di
Indonesia adalah struktur: mudaharabah dan Ijarah baik yang telah diterbitkan
maupun yang akan diterbitkan, sehingga yang cukup dikenal adalah obligasi
syariah mudarabah dan ijarah. Obligasi ijarah adalah obligasi syariah
berdasarkan akad ijarah. Akad Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian. Oleh sebab itu, pemilik harta memberikan hak
untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau
peminjaman objek dengan memfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik
objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Akad
Ijarah disertai dengan adanya pemindahan manfaat tetapi tidak terjadi
pemindahan kepemilikan. Ketentuan Ijarah sebagai berikut:
1. Objeknya dapat berupa barang
(harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan) maupun berupa
jasa.
2. Manfaat dari objek dan nilai
manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
3. Ruang lingkupnya dan jangka
waktunya pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
4. Penyewa harus membagi hasil
manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/ upah.
5. Pemakai manfaat (penyewa)
harus mgenjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga.
6. Pembeli sewa haruslah
pemilik mutlak.
Ketentuan-ketentuan dalam akad
ijarah baik itu syarat maupun rukunnya harus dipatuhi dan dilaksanakan agar
dalam pelaksanaan akad ijarah tidak timbul mafsadat. Begitu juga dengan
ketentuan-ketentuan lain yang menyertai obligasi syariah ijarah seperti Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang
Obligasi Syariah Ijarah. Keuntungan Obligasi Syariah berdasarkan jenis akad
yang digunakan, bentuk keuntungan penerbitan obligasi syariah ada dua yaitu:
1. Pembagian hasil berdasarkan
akad persekutuan (syirkah) yaitu berupa mudharabah/musyarakah. Obligasi syariah
yang menggunakan akad persekutuan ini akan memberikan keuntungan berupa bagi
hasil (profit and loss sharing) antara investor sebagai shahib al-mal dengan
perusahaan yang menjalankan usaha sebagai mudharib. Obligasi jenis ini
memberikan keuntungan dengan menggunakan term indicative/expected return karena
sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja perusahaan yang dibagi
hasilkan.
2. Pembagian margin/fee berdasarkan
akad pertukaran (al-bai’) yaitu murabahah, salam, istishna dan ijarah). Fikih
muamalah akad ini bersifat natural certainty contract, sehingga obligasi
syariah yang menggunakannya akan memberikan hasil yang pasti dan dapat
diperkirakan sebelumnya (fixed and predetermined).
Adapun macam-macam Obligasi
Syariah adalah sebagai berikut:
1. Obligasi Syariah Mudharabah.
Menurut Fatwa
No.33/DSN-MUI/IX/2002, yang dimaksud dengan obligasi syariah, namun di
Indonesia hingga saat ini baru terdapat dua macam, yaitu obligasi syariah
mudharabah dan obligasi syariah ijarah.
2. Obligasi Syariah Ijarah.
Instrumen obligasi syariah
menggunakan akad ijarah. Dalam akad ijarah pada prinsipnya terjadi pemindahan
manfaat yang bersifat sementara, namun tidak disertai pemindaan kepemilikan.
Berdasarkan fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004. Obligasi Syariah Ijarah adalah
obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan subtansi Fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/200 tentang Pembiayaan Ijarah. Dan
pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir
(penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai mu’jir (pemberi sewa) (Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, 2006: 292-293).
Begitu pentingnya pembahasan
obligasi syariah ini dalam koridor agama Islam dan peran zakat bagi umat Islam,
maka terkait saham ini diatur oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata
Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk
Usaha Produktif menyebutkan zakat uang dan surat berharga lainnya adalah
zakat yang dikenakan atas uang, harta yang disetarakan dengan uang, dan surat
berharga lainnya yang telah mencapai nisab dan haul. Obligasi syariah di
antaranya harta yang disetarakan dengan uang. Oleh sebab itu bisa disimpulkan
bahwa zakat obligasi syariah adalah pengeluaran zakat dari pendapatan surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi syariah sehingga mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah, berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Obligasi syariah bukanlah
surat hutang seperti pada obligasi konvensional, melainkan sertifikat investasi
(bukti kepemilikan) atas suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial
title) yang menjadi underlying assetnya. Jadi akadnya bukan akad utang
piutang melainkan investasi. Dalam hal ini para ulama telah sepakat atas
kehalalannya.
B.
Hukum Zakat Obligasi Syariah
Hukum zakat adalah wajib. Hal
tersebut sebagaimana firman Allah berikut.
Dalil
Al-Qur’an Ke-1
وَأَقِيمُوا۟
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟
ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟
مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ. البقرة: 43
Artinya: Tegakkanlah salat,
tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (QS. Al
Baqarah: 43).
Ulama-ulama besar seperti Abu Zahra,
Abdur Rahman, dan Khalaf, berpendapat bahwa saham dan obligasi adalah kekayaan
yang diperjualbelikan. Hal tersebut karena pemiliknya memperjual-belikan dengan
menjual dan membelinya dan dari pekerjaanya itu pemilik memperoleh keuntungan
persis pedagang dengan barang dagangan. Keuntungan tersebut diperoleh karena
harga yang sebenarnya yang berlaku di pasar berbeda dari harga yang tertulis
dalam kegiatan jual beli tersebut. Berdasarkan pandangan ini, maka saham dan
obligasi termasuk dalam kategori barang dagang. Oleh karena itu termasuk objek
zakat seperti kekayaan-kekayaan dagang lain dan dinilai sama dengan barang
dagang (zakat perniagaan). Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan Yusuf
Qardawi.
Hadis
Ke-1
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ
عَنْ أَبِيهِ سُلَيْمَانَ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ
الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ. أبي داود
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Daud bin Sufyan, telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Hassan, telah menceritakan kepada
kami Sulaiman bin Musa Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Ja'far
bin Sa'd bin Samurah bin Jundab bin Sulaiman, telah menceritakan kepadaku Khubaib
bin Sulaiman dari Bapaknya yaitu Sulaiman dari Samurah bin Jundab,
ia berkata: Adapun selanjutnya, sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami
untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu yang kami persiapkan untuk dijual.
(HR. Abu Daud, no. 1335).
Keterangan: Terkait rawi yang bernama Khubaib
bin Sulaiman bin Samurah merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Komentar
ulama tentangnya yaitu Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat,
Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan majhul, dan Adz Dzahabi
mentsiqahkannya. Rawi yang bernama Ja'far bin Sa'ad bin Samurah bin Jundab
merupakan tabi'in (tidak jumpa Sahabat). Komentar ulama tentangnya yaitu Ibnu
Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Ibnu Hazm mengatakan majhul,
Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan laisa bi qowi. Rawi yang bernama Sulaiman
bin Musa merupakan kalangan tabi'ut tabi'in kalangan pertengahan. Komentar
ulama tentangnya yaitu Abu Hatim Ar Rozy mengatakan shalihul hadits, Adz
Dzahabi mengatakan shalihul hadits, Ibnu Hibban mengatakan disebutkan
dalam 'ats tsiqaat, Al Bukhari mengatakan mungkarul hadits, Al
'Uqaili mengatakan mungkarul hadits, Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan fiihi
layyin.
Hadis Ke-2
أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ أَبُو
بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، ثنا أَبُو دَاوُدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ،
ثنا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ ، ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى أَبُو دَاوُدَ ، ثنا جَعْفَرُ
بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ ،
عَنْ أَبِيهِ سُلَيْمَانَ بْنِ سَمُرَةَ ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ
نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ.البيهقي
Artinya:
Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Ali Ar-Rudzbari, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Dasah, tekah menceritakan kepada
kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Dawud bin
Sufyan, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassan, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Musa Abu Dawud, telah menceritakan
kepada kami Ja’far bin Sa’ad bin Samurah bin Jundab telah menceritakan
kepadaku Khubaib bin Sulaiman dari Bapaknya yaitu Sulaiman bin
Samurah dari Samurah bin Jundab, ia berkata: Adapun selanjutnya,
sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari sesuatu
yang kami persiapkan untuk dijual. (HR. Baihaqi, no. 7020)
Keterangan: Terkait rawi yang bernama Khubaib
bin Sulaiman bin Samurah merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Komentar
ulama tentangnya yaitu Ibnu Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat,
Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan majhul, dan Adz Dzahabi
mentsiqahkannya. Rawi yang bernama Ja'far bin Sa'ad bin Samurah bin Jundab
merupakan tabi'in (tidak jumpa Sahabat). Komentar ulama tentangnya yaitu Ibnu
Hibban mengatakan disebutkan dalam 'ats tsiqaat, Ibnu Hazm mengatakan majhul,
Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan laisa bi qowi. Rawi yang bernama Sulaiman
bin Musa merupakan kalangan tabi'ut tabi'in kalangan pertengahan. Komentar
ulama tentangnya yaitu Abu Hatim Ar Rozy mengatakan shalihul hadits, Adz
Dzahabi mengatakan shalihul hadits, Ibnu Hibban mengatakan disebutkan
dalam 'ats tsiqaat, Al Bukhari mengatakan mungkarul hadits, Al
'Uqaili mengatakan mungkarul hadits, Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan fiihi
layyin.
Hadis riwayat Abu Daud nomor 1335 dan
hadis riwayat Baihaqi nomor 7020 sering digunakan sebagai dalil adanya zakat
perniagaan atau zakat perdagangan. Dua hadis tersebut lemah periwayatannya,
tetapi bukan berarti apa-apa yang berkaitan dengan perniagaan atau jual beli
itu tidak ada zakatnya. Meskipun dua hadis tersebut lemah periwayatannya,
tetapi matan kedua hadis tersebut shahih. Hal tersebut karena matan
hadis bersesuaian dengan Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 267. Perniagaan atau
perdagangan merupakan bagian usaha manusia yang baik-baik dari apa-apa yang
Allah rizkikan. Selain itu, ada juga yang mengaitkan hadis berikut menjadi
hujjah dalam zakat perniagaan.
Hadis Ke-3
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ
أَبُو قُتَيْبَةَ مُسْلِمُ بْنُ الْفَضْلِ الآدَمِيُّ بِمَكَّةَ، ثنا مُوسَى بْنُ
هَارُونَ، ثنا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ، عَنْ عِمَرَانَ بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ
الْحَدَثَانِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الإِبِلِ صَدَقَتُهَا، وَفِي
الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهُ. البيهقي
Artinya: Telah mengabarkan kepada
kami Abu Abdillah Al Hafizh, telah menceritakan kepada kami Abu
Qutaibah Muslim bin Al Fadlli orang Makkah, telah menceritakan kepada kami Musa
bin Harun, telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij,
dari ‘Imran bin Abi Anas, dari Malik bin Aus bin Al Hadatsan,
dari Abi Dzarr RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dalam unta, ada
sedekahnya, sapi ada sedekahnya dan kambing juga ada sedekahnya serta dalam
bazz (pakaian) juga ada sedekahnya. (HR. Baihaqi, no. 7021).
Keterangan: Menurut Wahbah
Zuhaili yang dimaksud dengan kata "bazz" dalam hadits tersebut adalah
pakaian dan senjata yang dijualbelikan.
Hadis Ke-4
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ، ثنا
جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَجَّاجِ الرَّقِّيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُعَاوِيَةَ، نا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
أَبِي أَنَسٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الْإِبِلِ
صَدَقَتُهَا، وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا، وَفِي
الْبُزُّ صَدَقَتُهُ. الدارقطني
Artinya: Telah menceritakan kepada
kami Abu Bakar An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ja'far
bin Muhammad bin Al Hajjaj Ar-Raqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr,
dari Ibnu Juraij, dari Imran bin Abi Anas, dari Malik bin Aus
bin Al Hadatsan, dari Abu Dzar, dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, "Pada unta ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya, pada sapi
ada zakatnya dan pada pakaian ada zakatnya." (HR. Daruquthni, no.
1917).
C. Nisab
dan Haul Zakat Obligasi Syariah
Terdapat waktu kapan umat Islam
mengeluaran zakat. Haul dalam KBBI maksudanya adalah jangka waktu satu
tahun yang menjadi batas kewajiban membayar zakat bagi pemilikan harta
kekayaan, seperti perniagaan, emas, ternak. Secara umum dapat dikatakan bahwa
haul adalah batasan waktu satu tahun hijriah (12 bulan kamariah) kepemilikan
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Waktu kapan umat Islam mengeluaran zakat
adalah ketika tiba haul. Adapun haul sebagaimana yang sudah disebutkan adalah
batasan waktu satu tahun hijriah (12 bulan kamariah). Nisab dalam KBBI
maksudanya jumlah harta benda minimum yang dikenakan zakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa nisab adalah batasan minimum harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014
Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta
Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif pada pasal 2 ayat 3 bahwa zakat
pendapatan dan jasa tidak disyaratkan haul. Adapu pada pasal 26 ayat 1
menerangkan bahwa nisab zakat pendapatan senilai 653 kg gabah atau 524 kg beras.
Adapun keterangan nisab dan haul zakat sebagaimana hadis berikut.
Hadis
Ke-5
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ
ضَمْرَةَ وَعَنْ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
زُهَيْرٌ أَحْسَبُهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّه
قَالَ هَاتُوا رُبْعَ الْعُشُورِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمٌ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ شَيْءٌ حَتَّى تَتِمَّ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَإِذَا كَانَتْ
مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ فَمَا زَادَ فَعَلَى حِسَابِ
ذَلِكَ وَفِي الْغَنَمِ فِي أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إِلَّا
تِسْعٌ وَثَلَاثُونَ فَلَيْسَ عَلَيْكَ فِيهَا شَيْءٌ وَسَاقَ صَدَقَةَ الْغَنَمِ
مِثْلَ الزُّهْرِيِّ قَالَ وَفِي الْبَقَرِ فِي كُلِّ ثَلَاثِينَ تَبِيعٌ وَفِي
الْأَرْبَعِينَ مُسِنَّةٌ وَلَيْسَ عَلَى الْعَوَامِلِ شَيْءٌ وَفِي الْإِبِلِ
فَذَكَرَ صَدَقَتَهَا كَمَا ذَكَرَ الزُّهْرِيُّ قَالَ وَفِي خَمْسٍ وَعِشْرِينَ
خَمْسَةٌ مِنْ الْغَنَمِ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَفِيهَا ابْنَةُ مَخَاضٍ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ إِلَى خَمْسٍ
وَثَلَاثِينَ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ إِلَى خَمْسٍ
وَأَرْبَعِينَ فَإِذَا زَادَتْ وَاحِدَةً فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ الْجَمَلِ
إِلَى سِتِّينَ ثُمَّ سَاقَ مِثْلَ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ قَالَ فَإِذَا زَادَتْ
وَاحِدَةً يَعْنِي وَاحِدَةً وَتِسْعِينَ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا
الْجَمَلِ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَإِنْ كَانَتْ الْإِبِلُ أَكْثَرُ مِنْ
ذَلِكَ فَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ وَلَا
يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ وَلَا تُؤْخَذُ فِي الصَّدَقَةِ
هَرِمَةٌ وَلَا ذَاتُ عَوَارٍ وَلَا تَيْسٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْمُصَدِّقُ
وَفِي النَّبَاتِ مَا سَقَتْهُ الْأَنْهَارُ أَوْ سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ
وَمَا سَقَى الْغَرْبُ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ وَفِي حَدِيثِ عَاصِمٍ
وَالْحَارِثِ الصَّدَقَةُ فِي كُلِّ عَامٍ قَالَ زُهَيْرٌ أَحْسَبُهُ قَالَ
مَرَّةً وَفِي حَدِيثِ عَاصِمٍ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْإِبِلِ ابْنَةُ مَخَاضٍ
وَلَا ابْنُ لَبُونٍ فَعَشَرَةُ دَرَاهِمَ أَوْ شَاتَانِ. حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ
حَازِمٍ وَسَمَّى آخَرَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ وَالْحَارِثِ
الْأَعْوَرِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ أَوَّلِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِذَا كَانَتْ لَكَ
مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ
وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ
دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ
فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ قَالَ فَلَا أَدْرِي
أَعَلِيٌّ يَقُولُ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ أَوْ رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ
الْحَوْلُ إِلَّا أَنَّ جَرِيرًا قَالَ ابْنُ وَهْبٍ يَزِيدُ فِي الْحَدِيثِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى
يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ. أبي داود
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan kepada
kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari 'Ashim
bin Dhamrah dan Al Harits Al A'war dari Ali RA, Zuhair
berkata: Aku mengiranya dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: "Berikan
seperempat puluh, dari setiap empat puluh dirham satu dirham. Dan tidak ada
kewajiban sedikitpun atas kalian hingga sempurna seratus dirham. Maka apabila
telah berjumlah dua ratus dirham maka padanya terdapat zakat lima dirham,
kemudian selebihnya sesuai perhitungan tersebut. Pada kambing, untuk jumlah
empat puluh kambing zakat satu kambing, maka apabila hanya berjumlah tiga puluh
sembilan maka tidak ada kewajiban sedikitpun atas kalian." Dan ia
menyebutkan zakat kambing seperti yang disebutkan Az Zuhri. Ia berkata:
Dan mengenai sapi pada setiap tiga puluh ekor terdapat seekor tabi', pada
jumlah empat puluh terdapat satu musinnah, sapi yang digunakan untuk kerja
tidak ada kewajiban sedikitpun, pada unta ia menyebutkan zakatnya seperti yang
telah disebutkan Az Zuhri. Ia berkata: Dan pada jumlah dua puluh lima
terdapat zakat lima kambing, kemudian apabila lebih satu ekor maka padanya
terdapat zakat satu ekor bintu makhadh, kemudian apabila tidak ada bintu
makhadh maka ibnu labun jantan, hingga tiga puluh lima. Kemudian apabila lebih
satu ekor maka padanya zakat satu ekor bintu labun, hingga empat puluh lima.
Kemudian apabila lebih satu ekor maka padanya terdapat zakat satu ekor hiqqah
yang siap bunting, hingga enam puluh. Kemudian ia menyebutkan seperti hadis Az
Zuhri. Ia berkata: kemudian apabila lebih satu ekor yaitu sembilan puluh
satu ekor maka padanya terdapat zakat dua hiqqah yang siap untuk bunting,
hingga seratus dua puluh. Kemudian apabila unta tersebut lebih banyak dari itu
maka pada setiap lima puluh terdapat zakat satu hiqqah, dan tidak dipisahkan
antara unta yang digabungkan, dan tidak digabungkan antara unta yang dipisahkan
karena khawatir wajib mengeluarkan zakat. Dan tidak diambil dalam zakat unta
yang tua dan telah tanggal giginya, serta yang memiliki cacat, dan unta
pejantan, kecuali petugas zakat menghendakinya. Dan dalam tumbuh-tumbuhan yang
diairi sungai atau disirami air hujan terdapat zakat sepersepuluh, dan yang
disirami dengan ember maka padanya terdapat seperdua puluh. Dan dalam hadis 'Ashim
serta Al Harits disebutkan: zakat pada setiap tahun. Zuhair
berkata: aku mengira ia berkata lagi: Dan dalam hadis 'Ashim disebutkan:
Apabia diantara unta tersebut tidak ada bintu makhadh dan juga ibnu labun maka
diganti sepuluh dirham atau dua ekor kambing. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman
bin Daud Al Mahri, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah
mengabarkan kepadaku Jarir bin Hazim dan ia menyebutkan orang yang lain,
dari Abu Ishaq, dari 'Ashim bin Dhamrah serta Al Harits Al
A'war dari Ali RA dari Nabi SAW dengan sebagian awal hadis ini, ia
berkata : “Apabila kamu mempunyai uang perak dua ratus dirham dan sudah
disimpan satu tahun, maka padanya wajib zakat lima dirham. Dan tidak ada padamu
kewajiban zakat pada emas, sehingga kamu mempunyai dua puluh dinar. Apabila
kamu mempunyai dua puluh dinar dan telah disimpan satu tahun, maka padanya
wajib zakat setengah dinar, lalu selebihnya dihitung demikian itu.” Zuhair
berkata: Aku tidak tahu, apakah perkataan “lalu selebihnya dihitung demikian
itu,” itu perkataan Ali atau sabda Nabi SAW, dan pada perkataan “dan
tidak ada pada harta kewajiban zakat sehingga disimpan satu tahun.” Hanya saja
Jarir menambahkan dalam hadis (kata Ibnu Wahbin), dari Nabi SAW: “Tidak
ada kewajiban zakat pada harta sehingga disimpan satu tahun.” (HR. Abu
Daud, no. 1342).
Zakat obligasi syariah merupakan
masalah baru. Hasil obligasi syariah termasuk harta yang wajib dizakati, karena
pada dasarnya kekayaan obligasi syariah itu terdapat unsur jual beli yang sama
dengan harta yang diperoleh dari perdagangan. Unsur jual beli itulah yang
menjadi penyebab disamakannya dengan harta perdagangan/ perniagaan. Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata
Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk
Usaha Produktif pada pasal 11 ayat 1 menerangkan nisab zakat perniagaan senilai
dengan 85 gram emas.
Sebagaimana yang sudah kita tahu,
zakat itu menurut hukum Islam wajib. Tentang nisab dan haul ada perbedaan
pemahaman. Ada yang menggunakan nisab dan haul, ada yang tanpa nisab dan haul.
Melalui pemaparan yang ada, penulis lebih condong pada zakat itu tanpa menunggu
sampai nisab maupun tiba haul. Seandainya zakat dibayarkan sebelum mencapai
nisab dan haul, itu tidak menyalahi Undang Undang Nomor 23 Tentang Pengelolaan
Zakat maupun Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014
Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta
Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif. Hal tersebut mengingat zakat yang
mencapai nisab dan tiba haul hampir tidak mungkin dilakukan di jaman sekarang.
Berbeda dengan jaman Rasulullah dan sahabat, umat di jaman ini rentan untuk
mengakali haul dan nisab. Apabila haul dan nisab diakali, maka tidak akan
tertunaikan zakat seorang muslim. Dampaknya adalah orang-orang yang termasuk
penerima zakat tidak akan pernah lagi menerima zakat. Oleh sebab itu, penulis
dalam berzakat berpegang kepada jiwa zakat. Berapapun rezeki yang Allah
titipkan hendaknya dizakati. Kapan rezeki datang, saat itulah langsung bisa
dizakati. Hal tersebut sebagaimana riwayat hadis berikut.
Hadis Ke-6
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ
عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي الرَّجُلِ يَسْتَفِيدُ مَالًا قَالَ:
يُزَكِّيهِ حِينَ يَسْتَفِيدُهُ. ابن أبي شيبة
Artinya: Telah menceritakan kepada
kami Abu Asamah, dari Hisyam, dari 'Ikrimah, dari Ibnu
'Abbas tentang seseorang yang memperoleh harta, (lalu) Ibnu 'Abbas
berkata: ‘(Hendaknya) ia menzakatinya pada saat memperolehnya.’ (HR. Ibnu
Abi Syaibah, no. 10010).
D. Jumlah
Zakat yang Ditunaikan
Saham termasuk harta yang wajib
dizakati, karena pada dasarnya kekayaan obligasi syariah itu terdapat unsur
jual beli yang sama dengan harta yang diperoleh dari perdagangan. Unsur jual
beli itulah yang menjadi penyebab disamakannya dengan harta perdagangan/
perniagaan. Seberapa banyak zakat perniagaan yang dikeluarkan menurut
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat
dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat
Untuk Usaha Produktif pada pasal 11 ayat 2 menerangkan bahwa kadar zakat
perniagaan sebesar 2,5%. Sementara itu pada buku yang berjudul Petunjuk
Pelaksanaan Pengumpulan Zakat terbitan Kementerian Agama RI tahun 2011
menyebutkan bahwa jika perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan maka
perusahaan tersebut mengeluarkan harta sesuai dengan aturan zakat perdagangan.
Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5%. Jika perusahaan tersebut bergerak
dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat
investasi atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada
saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang
dikeluarkan sebesar 5% atau 10%. Adapun 5% untuk penghasilan kotor dan 10%
untuk pengahasilan bersih.
E.
Orang yang Mengeluarkan Zakat
Orang yang temasuk wajib
mengeluarkan zakat adalah orang beriman yang mampu. Kadar untuk mengukur mana
yang mampu dan belum mampu adalah dengan melihat kriteria seorang muslim.
Kriteria yang dimaksud adalah bukan termasuk orang-orang yang menerima zakat.
Orang beriman di luar orang orang yang berhak menerima zakat adalah wajib untuk
mengeluarkan zakatnya. Dalil bahwa orang beriman yang mampu untuk diwajibkan
membayar zakat adalah sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah
ayat 267.
Dalil
Al-Qur’an Ke-3
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا
مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ
اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ
اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا
فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا
اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ. البقرة: 267
Artinya: Wahai orang-orang
yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih
yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali
dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Mahakaya
lagi Maha Terpuji. (QS. Al Baqarah: 267).
F.
Orang yang Menerima Zakat
Sasaran atau orang yang berhak
menerima zakat diatur dalam firman Allah. Hal tersebut tertuang pada surat At
Taubah ayat 60.
Dalil
Al-Qur’an Ke-4
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَآءِ
وَالْمَسٰكِيْنِ وَاْلعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى
الرِّقَابِ وَاْلغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ،
فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. التوبة:60
Artinya: Sesungguhnya zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang
dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana. (QS. At Taubah: 60).
Melalui Surat At Taubah ayat 60
dapat diketahui siapa saja yang berhak menerima zakat fitrah. Adapun yang
berhak menerima zakat sebagaimana Surat At Taubah ayat 60 meliputi: (1)
orang-orang fakir; (2) orang-orang miskin; (3) amil zakat; (4) mualaf; (5)
hamba sahaya; (6) orang terlilit hutang; (7) hal-hal terkait untuk jalan Allah;
dan (8) musafir. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai siapa saja yang berhak
menerima zakat dapat disimak dengan cara klik di sini.
G. Ucapan
Orang yang Menerima Zakat
Ketika kita diamanahi sebagai
panitia zakat atau pengurus zakat, hendaknya ketika kita menerima zakat yang
dikeluarkan oleh muzaki dengan mengucapkan sebagaimana yang dituntunkan
Rasulullah. Ucapan yang dimaksud sebagaimana hadis berikut.
Hadis
Ke-7
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي
أَوْفَى، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَةٍ قَالَ اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَيْهِمْ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
آلِ أَبِي أَوْفَى. البخارى
Artinya: Telah menceritakan
kepada kami Adam bin Abu Iyas, telah menceritakan kepada kami Syu'bah
dari 'Amru bin Murrah ia berkata; aku mendengar Abdullah bin Abu Aufa,
(dia adalah sahabat yang ikut berbai'at di bawah pohon) katanya; "Adalah
Rasulullah SAW, apabila ada suatu kaum datang kepada beliau untuk menyerahkan
zakat, beliau mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah
selawat kepada mereka). Kemudian bapakku Abu Aufa datang kepada beliau untuk
menyerahkan zakatnya, lalu Nabi SAW mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaa aali
Abi Aufa (Ya Allah berilah selawat kepada keluarganya Abu Aufa)".
(HR. Bukhari, no. 3848).
Melalui hadis tadi, ketika kita
diamanahi sebagai panitia zakat fitrah atau semacamnya, hendaknya ketika kita
menerima zakat yang dikeluarkan oleh muzaki dengan mengucapkan sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah. Adapun lafal ucapan yang dimaksud adalah Alloohumma
Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah selawat kepada mereka) atau dengan
menyebut nama sehingga lafalnya adalah Alloohumma Shalli 'alaa aali (Fulan)
(Ya Allah berilah selawat kepada keluarganya (fulan)).
H.
Keutamaan Menunaikan Zakat
Zakat memiliki keutamaan yang
besar. Keutamaan menunaikan zakat adalah mampu menyucikan dan membersihkan diri
seorang muslim. Zakat mampu membersihkan diri seorang muslim dari kekikiran dan
cinta yang berlebihan terhadap harta. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut.
Dalil
Al-Qur’an Ke-5
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ
اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ
وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ. التوبة: 103
Artinya: Ambillah zakat dari
harta mereka (guna) menyucikan332) dan membersihkan mereka, dan
doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka.
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At Taubah: 103).
Catatan: 332)
Zakat membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihan terhadap
harta.
I.
Ancaman Bila Zakat Tidak Dikeluarkan
Terdapat ancaman bagi orang
beriman yang mampu dan tidak mau mengeluarkan zakat. Sebab orang beriman yang
menumpuk kekayaan tanpa dizakati diancam dengan azab Allah. Azab yang dimaksud
adalah kekayaan yang tidak dikeluarkan infaknya kelak itu dipanaskan dalam
neraka Jahanam lalu disetrikakan pada dahi, lambung, dan punggung mereka yang
tidak mengeluarkan zakat. Hal tersebut sebagaimana dalil Al-Qur’an berikut.
Dalil
Al-Qur’an Ke-6
۞ يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ
كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ
يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ
ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ
يَّوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوٰى بِهَا جِبَاهُهُمْ
وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْۗ
هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ.
التوبة: 34 - 35
Artinya: Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya banyak dari para rabi dan rahib benar-benar memakan
harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah.
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di
jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapat) azab yang pedih (34), pada hari ketika (emas dan perak) itu
dipanaskan dalam neraka Jahanam lalu disetrikakan (pada) dahi, lambung, dan
punggung mereka (seraya dikatakan), “Inilah apa (harta) yang dahulu kamu simpan
untuk dirimu sendiri (tidak diinfakkan). Maka, rasakanlah (akibat dari) apa
yang selama ini kamu simpan.” (35). (QS. At Taubah : 34 – 35).
Demikian diantaranya yang
berkaitan dengan zakat. Semoga yang informasi yang didapat membuat kita semakin
paham dengan ilmu agama dan kita bisa mengamalkannya. Dalil yang kita gunakan
untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau
hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil
yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih
lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita
semuanya mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan istikamah sebagai upaya kita
meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.