Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Kita sebagai warga negara Indonesia yang
kebetulan adalah suku Jawa tentunya tidak asing dengan salah satu falsafah Jawa
yaitu: “Cokro manggilingan owah gingsir gilir gumanti”. Falsafah
tersebut menggambarkan bahwa hidup itu kadang di atas dan kadang di bawah.
Hidup itu silih berganti, kadang mengalami masa kejayaan, kadang juga masa
keterpurukan. Posisi di atas dan di bawah silih berganti mengisyaratkan bahwa
hidup ini terus berjalan apapun yang terjadi. Anak Adam yang dilahirkan ke
dunia adalah pemimpin yang siap menghadapi romantika kehidupan dan membawa
bahtera kehidupannya dengan selamat hingga sampai pada kampung akhirat nanti.
Anak Adam ketika sampai di akhirat nanti dihadapkan
pada beberapa pilihan, yaitu syurga atau neraka yang kekal didalamnya. Agar
selamat sampai syurga, anak Adam perlu berhati-hati dan mengindahkan
rambu-rambu dari Yang Maha Kuasa. Demi menguji keseriusan anak Adam untuk
menggapai syurga, Yang Maha Kuasa pun akan terus menguji sejauh mana ketaatan
anak Adam kepada-Nya.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Kita sebagai seorang muslim menjadikan dunia
ini adalah sebagai ladang amal untuk persiapan kita menghadap Allah SWT. Mau
tidak mau agar kita selamat dan memiliki amal yang memadai ketika menghadap
Allah adalah mematuhi apa yang diperintahkan Allah dan Rasulullah, dan menjauhi
apa yang menjadi larangan Allah maupun Rasulullah. Manifestasi kepatuhan kita
sebagai seorang muslim adalah tetap berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah
apapun yang terjadi.
Allah Ta’ala telah berfirman di dalam surat Al
Anbiya (21) ayat 35:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ۗ
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ
وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ. الأنبياء:٣٥
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu
akan dikembalikan hanya kepada Kami. [QS. Al Anbiya’ (21): 35]
Melalui ayat tersebut dapat kita pahami bahwa
setiap manusia akan merasakan mati. Sebelum datang kematian, manusia akan diuji
dengan berbagai kebaikan dan keburukan. Melalui Surat Al Anbiya’ ayat 35 bisa
dimengerti bahwa Allah menguji hambanya dengan dua hal, yaitu kebaikan dan
keburukan. Saat diuji dengan kebaikan manusia semestinya tidak larut dalam
gemerlapnya dunia dan ketika diuji dalam keburukan semestinya tidak larut dalam
keterpurukan. Bila manusia diuji dengan kebaikan hendaknya bersyukur agar lulus
ujian. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Surat Al Fajr (89) ayat 15 sampai 16:
فَأَمَّا الْإِنسٰنُ إِذَا مَا ابْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ.
الفجر:١٥
وَأَمَّآ إِذَا مَا ابْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهٰنَنِ. الفجر:١٦
15. Maka adapun manusia, apabila Tuhan
mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku
memuliakanku.”
16. Namun apabila Tuhan mengujinya lalu
membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinakanku.”1
[QS. Al Fajr
(89): 15-16]
Note:
1.
Allah
menyalahkan orang yang berkata bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan, dan
kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16.
Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi
hamba-hamba-Nya.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Namun sebaliknya, ketika manusia diberikan
kesusahan dan kesempitan berjanji akan menjadi orang saleh yang dermawan.
Tetapi bila sudah diberikan rejeki yang berlimpah akan menjadi kikir dan
menentang kebenaran. Jika hal tersebut terjadi maka tidak lulus ujian. Sebagaimana
Allah berfirman didalam Surat Al Hajj (22) ayat 11:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ
فَإِنْ أَصَابَهُۥ
خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِۦ
ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ
فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ
خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَ ۚ
ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ. الحج:١١
Dan diantara manusia ada yang menyembah Alah
hanya di tepi,2 maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas,
dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang.3 Dia
rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. [QS. Al Hajj
(21): 11]
Note:
2.
Tidak dengan
penuh keyakinan.
3.
Kembali kafir
lagi.
Oleh sebab itu, kita sebagai seorang muslim
dalam menghadapi cobaan dibarengi dengan tawakal dan bersabar demi mengharap
rida Allah. Kesabaran dalam menghadapi ujian telah dicontohkan oleh Nabi Ismail
AS yang hendak disembelih ayahhandanya, yaitu Nabi Ibrahim.
Kisah tersebut tertulis pada Al Qur’an Surat As
Shaffat (37) ayat 99 sampai dengan 111. Pada ayat tersebut diterangkan bahwa
Nabi Ibrahim sudah mendambakan anak yang saleh demi melanjutkan risalah
dakwahnya. Suatu ketika datang kabar dari Allah bahwa Nabi Ibrahim akan
memiliki keturunan, padahal waktu itu Nabi Ibrahim sudah tua dan istrinya
mandul. Namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Singkat cerita, Nabi
Ibrahim akhirnya memiliki putera dan diberi nama Ismail.
Hingga pada suatu ketika Nabi Ibrahim terus
bermimpi bahwa Nabi Ibrahim menyembelih Ismail dan akhirnya Nabi Ibrahim pun
meminta pendapat Ismail. Lalu Ismail memiminta ayahnya untuk melakukan apa yang
diperintahkan Allah supaya ia termasuk orang yang sabar. Hingga peyembelihan
itu akan dilakukan, datanglah larangan Allah kepada Nabi Ibrahim untuk
menyembelih Ismail dan menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar.
Begitu sabarnya Ismail hingga membenarkan apa
yang menjadi perintah Allah. Coba bila kita ada di posisi Ismail. Paling-paling
kita akan mengelak dan kabur tidak mau disembelih. Tidak bisa dibayangkan
apabila tidak turun larangan dari Allah, kita sebagai seorang anak tentunya
akan was-was ketika Bulan Dzulhijjah tiba. Sebab orang tua kita hendak
menjalankan syariat untuk berkurban. Bisa-bisa jadi target orang tua untuk
disembelih bila kita malas-malasan, keset, dan tidak berbakti kepada
orang tua.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Berbagai rambu-rambu Allah yang disampaikan
Rasulullah semestinya jadi bahan renungan kita bahwa kita sudah menjalankan
sebagaimana perintah Allah dan Rasulullah apa tidak? Apakah kita benar-benar
menjauhi segala larangan Allah dan Rasulullah? Berbagai hal tersebut semestinya
membuat kita berpikir dan mengambil pelajaran.
Kita sebagai seorang manusia memiliki
kelebihan dari pada makhluk lainnya, yaitu manusia memiliki akal. Sebagai
manusia berakal, kita diperintahkan untuk berpegang pada agama yang diridai
Allah SWT. Rasulullah telah membawa pesan berupa kabar gembira dan peringatan
dari Allah. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Al Qur'an surat Saba’ (34) ayat
28:
وَمَآ
أَرْسَلْنٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ. سبإ:٢٨
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad),
melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. Saba’:
28]
Melalui ayat tersebut bisa kita ketahui bahwa
Rasulullah diperintahankan untuk membawa kabar gembira dan pemberi peringatan
kepada seluruh umat manusia, tetapi manusia banyak yang tidak mengetahui.
Peringatan yang dibawa Rasulullah diantaranya berisi akidah dan syariah.
Melalui akidah yang diajarkan oleh Rasulullah, manusia bisa mengerti dan
meyakini bahwa Allah-lah yang patut diimani dan perintah untuk bertakwa. Selain
itu, Rasulullah mengajarkan berbagai syariat kepada kita bagaimana beribadah
kepada Allah dan bagaimana agar kita selamat hidup dunia ini. Namun kebanyakan
manusia itu mengabaikan. Padahal bila suatu penduduk negeri beriman dan
bertakwa, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi. Sebagaimana
dalam Surat Al A'raf (7) ayat 96:
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰٓ
ءَامَنُوا۟
وَاتَّقَوْا۟
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا۟
فَأَخَذْنٰهُم بِمَا كَانُوا۟
يَكْسِبُونَ. الأعراف:٩٦
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan
bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa
mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. [QS.
Al A’raf: 96]
Begitu pentingnya iman dan takwa semestinya
membuat kita dalam beragama Islam tidak menuruti hawa nafsu. Sebab dengan
mengikuti hawa nafsu, apa-apa yang dikabarkan oleh Rasulullah justru malah
ditinggalkan. Hawa nafsu merupakan keinginan manusia yang terkadang justru
menyeret manusia kedalam kesesatan. Hawa nafsu bukanlah tolok ukur kebenaran.
Menolak kebenaran karena mengikuti hawa nafsu adalah awal mula kerusakan. Hal
tersebut sebagaimana yang ada dalam Al Qur’an surat Al Mu’minun (23) ayat 71:
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْأَرْضُ وَمَن
فِيهِنَّ ۚ
بَلْ أَتَيْنٰهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ. المؤمنون:٧١
Dan seandainya kebenaran itu menuruti
keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di
dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka
berpaling dari peringatan itu. [QS. Al Mu’minun: 71]
Orang-orang yang berpaling dari peringatan merupakan
orang-orang yang melampaui batas kebenaran. Orang-orang tersebut dengan ada
atau tidaknya aturan perintah dan larangan di dalam Agama Islam itu sama saja. Orang-orang
yang berpaling dari peringatan Allah diibaratkan seperti anjing. Orang-orang tersebut telah digambarkan
didalam Al Qur’an surat Al A’raf (7) ayat 176:
وَلَوْ
شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهُۥٓ
أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَىٰهُ ۚ
فَمَثَلُهُۥ
كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ۚ
ذّٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا۟
بِـَٔايٰتِنَا ۚ
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ. الأعراف:١٧٦
Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing,
jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia
menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka
berpikir.
[QS. Al A’raf (7): 176]
Melalui ayat diatas dapat kita pahami bahwa
apabila manusia berpegang teguh dan yakin atas apa-apa yang diperingatkan Allah,
akan ditinggikan derajatnya. Namun banyak manusia yang berpaling. Orang yang
berpaling dari apa yang ditetapkan Allah sepertihalnya anjung yang menjulurkan
lidah. Padahal seperti yang saya sampaikan diawal bahwa manusia memiliki kelebihan
dari pada makhluk yang lain, yaitu manusia memiliki akal. Manusia yang berakal semestinya
bisa memposisikan diri bahwa dia berbeda dengan anjing.
Sudah semestinya
kita sebagai manusia yang berakal itu menerima apa yang menjadi
ketetapan Allah dan Rasulullah. Penerimaan tersebut dibarengi dengan kesabaran
dan semata-mata untuk menggapai rida-Nya. Sebab bila kita tidak demikian,
bagaimana Allah akan rida terhadap setiap apa yang kita lakukan? Di dunia ini
kita ibaratnya adalah mampir ngombe. Artinya adalah singkat sekali hidup
di dunia ini. Kalau kita tidak mampu meninggalkan jejak kebaikan lalu mau
meninggalkan jejak yang bagaimana lagi?
No comments:
Post a Comment