Sunday, August 5, 2018

Kultum: Sabar Dalam Menghadapi Cobaan




Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.


Kita sebagai warga negara Indonesia yang kebetulan adalah suku Jawa tentunya tidak asing dengan salah satu falsafah Jawa yaitu: “Cokro manggilingan owah gingsir gilir gumanti”. Falsafah tersebut menggambarkan bahwa hidup itu kadang di atas dan kadang di bawah. Hidup itu silih berganti, kadang mengalami masa kejayaan, kadang juga masa keterpurukan. Posisi di atas dan di bawah silih berganti mengisyaratkan bahwa hidup ini terus berjalan apapun yang terjadi. Anak Adam yang dilahirkan ke dunia adalah pemimpin yang siap menghadapi romantika kehidupan dan membawa bahtera kehidupannya dengan selamat hingga sampai pada kampung akhirat nanti.


Anak Adam ketika sampai di akhirat nanti dihadapkan pada beberapa pilihan, yaitu syurga atau neraka yang kekal didalamnya. Agar selamat sampai syurga, anak Adam perlu berhati-hati dan mengindahkan rambu-rambu dari Yang Maha Kuasa. Demi menguji keseriusan anak Adam untuk menggapai syurga, Yang Maha Kuasa pun akan terus menguji sejauh mana ketaatan anak Adam kepada-Nya.


Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.


Kita sebagai seorang muslim menjadikan dunia ini adalah sebagai ladang amal untuk persiapan kita menghadap Allah SWT. Mau tidak mau agar kita selamat dan memiliki amal yang memadai ketika menghadap Allah adalah mematuhi apa yang diperintahkan Allah dan Rasulullah, dan menjauhi apa yang menjadi larangan Allah maupun Rasulullah. Manifestasi kepatuhan kita sebagai seorang muslim adalah tetap berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah apapun yang terjadi.


Allah Ta’ala telah berfirman di dalam surat Al Anbiya (21) ayat 35:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ. الأنبياء:٣٥
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami. [QS. Al Anbiya’ (21): 35]


Melalui ayat tersebut dapat kita pahami bahwa setiap manusia akan merasakan mati. Sebelum datang kematian, manusia akan diuji dengan berbagai kebaikan dan keburukan. Melalui Surat Al Anbiya’ ayat 35 bisa dimengerti bahwa Allah menguji hambanya dengan dua hal, yaitu kebaikan dan keburukan. Saat diuji dengan kebaikan manusia semestinya tidak larut dalam gemerlapnya dunia dan ketika diuji dalam keburukan semestinya tidak larut dalam keterpurukan. Bila manusia diuji dengan kebaikan hendaknya bersyukur agar lulus ujian. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Surat Al Fajr (89) ayat 15 sampai 16:


فَأَمَّا الْإِنسٰنُ إِذَا مَا ابْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ. الفجر:١٥

وَأَمَّآ إِذَا مَا ابْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهٰنَنِ. الفجر:١٦

15. Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku memuliakanku.”
16. Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinakanku.”1 [QS. Al Fajr (89): 15-16]

Note:
1.         Allah menyalahkan orang yang berkata bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan, dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya.


Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Namun sebaliknya, ketika manusia diberikan kesusahan dan kesempitan berjanji akan menjadi orang saleh yang dermawan. Tetapi bila sudah diberikan rejeki yang berlimpah akan menjadi kikir dan menentang kebenaran. Jika hal tersebut terjadi maka tidak lulus ujian. Sebagaimana Allah berfirman didalam Surat Al Hajj (22) ayat 11:


وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَ ۚ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ. الحج:١١
Dan diantara manusia ada yang menyembah Alah hanya di tepi,2 maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang.3 Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. [QS. Al Hajj (21): 11]

Note:
2.         Tidak dengan penuh keyakinan.
3.         Kembali kafir lagi.


Oleh sebab itu, kita sebagai seorang muslim dalam menghadapi cobaan dibarengi dengan tawakal dan bersabar demi mengharap rida Allah. Kesabaran dalam menghadapi ujian telah dicontohkan oleh Nabi Ismail AS yang hendak disembelih ayahhandanya, yaitu Nabi Ibrahim.


Kisah tersebut tertulis pada Al Qur’an Surat As Shaffat (37) ayat 99 sampai dengan 111. Pada ayat tersebut diterangkan bahwa Nabi Ibrahim sudah mendambakan anak yang saleh demi melanjutkan risalah dakwahnya. Suatu ketika datang kabar dari Allah bahwa Nabi Ibrahim akan memiliki keturunan, padahal waktu itu Nabi Ibrahim sudah tua dan istrinya mandul. Namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Singkat cerita, Nabi Ibrahim akhirnya memiliki putera dan diberi nama Ismail.


Hingga pada suatu ketika Nabi Ibrahim terus bermimpi bahwa Nabi Ibrahim menyembelih Ismail dan akhirnya Nabi Ibrahim pun meminta pendapat Ismail. Lalu Ismail memiminta ayahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah supaya ia termasuk orang yang sabar. Hingga peyembelihan itu akan dilakukan, datanglah larangan Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail dan menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar.


Begitu sabarnya Ismail hingga membenarkan apa yang menjadi perintah Allah. Coba bila kita ada di posisi Ismail. Paling-paling kita akan mengelak dan kabur tidak mau disembelih. Tidak bisa dibayangkan apabila tidak turun larangan dari Allah, kita sebagai seorang anak tentunya akan was-was ketika Bulan Dzulhijjah tiba. Sebab orang tua kita hendak menjalankan syariat untuk berkurban. Bisa-bisa jadi target orang tua untuk disembelih bila kita malas-malasan, keset, dan tidak berbakti kepada orang tua.


Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.


Berbagai rambu-rambu Allah yang disampaikan Rasulullah semestinya jadi bahan renungan kita bahwa kita sudah menjalankan sebagaimana perintah Allah dan Rasulullah apa tidak? Apakah kita benar-benar menjauhi segala larangan Allah dan Rasulullah? Berbagai hal tersebut semestinya membuat kita berpikir dan mengambil pelajaran.


Kita sebagai seorang manusia memiliki kelebihan dari pada makhluk lainnya, yaitu manusia memiliki akal. Sebagai manusia berakal, kita diperintahkan untuk berpegang pada agama yang diridai Allah SWT. Rasulullah telah membawa pesan berupa kabar gembira dan peringatan dari Allah. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Al Qur'an surat Saba’ (34) ayat 28:


وَمَآ أَرْسَلْنٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ. سبإ:٢٨
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS. Saba’: 28]


Melalui ayat tersebut bisa kita ketahui bahwa Rasulullah diperintahankan untuk membawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh umat manusia, tetapi manusia banyak yang tidak mengetahui. Peringatan yang dibawa Rasulullah diantaranya berisi akidah dan syariah. Melalui akidah yang diajarkan oleh Rasulullah, manusia bisa mengerti dan meyakini bahwa Allah-lah yang patut diimani dan perintah untuk bertakwa. Selain itu, Rasulullah mengajarkan berbagai syariat kepada kita bagaimana beribadah kepada Allah dan bagaimana agar kita selamat hidup dunia ini. Namun kebanyakan manusia itu mengabaikan. Padahal bila suatu penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi. Sebagaimana dalam Surat Al A'raf (7) ayat 96:


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَاتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ. الأعراف:٩٦
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. [QS. Al A’raf: 96]


Begitu pentingnya iman dan takwa semestinya membuat kita dalam beragama Islam tidak menuruti hawa nafsu. Sebab dengan mengikuti hawa nafsu, apa-apa yang dikabarkan oleh Rasulullah justru malah ditinggalkan. Hawa nafsu merupakan keinginan manusia yang terkadang justru menyeret manusia kedalam kesesatan. Hawa nafsu bukanlah tolok ukur kebenaran. Menolak kebenaran karena mengikuti hawa nafsu adalah awal mula kerusakan. Hal tersebut sebagaimana yang ada dalam Al Qur’an surat Al Mu’minun (23) ayat 71:


وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنٰهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ. المؤمنون:٧١
Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu. [QS. Al Mu’minun: 71]   


Orang-orang yang berpaling dari peringatan merupakan orang-orang yang melampaui batas kebenaran. Orang-orang tersebut dengan ada atau tidaknya aturan perintah dan larangan di dalam Agama Islam itu sama saja. Orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah diibaratkan seperti anjing.  Orang-orang tersebut telah digambarkan didalam Al Qur’an surat Al A’raf (7) ayat 176:


وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهُۥٓ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَىٰهُ ۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ۚ ذّٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايٰتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ. الأعراف:١٧٦
Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. [QS. Al A’raf (7): 176] 


Melalui ayat diatas dapat kita pahami bahwa apabila manusia berpegang teguh dan yakin atas apa-apa yang diperingatkan Allah, akan ditinggikan derajatnya. Namun banyak manusia yang berpaling. Orang yang berpaling dari apa yang ditetapkan Allah sepertihalnya anjung yang menjulurkan lidah. Padahal seperti yang saya sampaikan diawal bahwa manusia memiliki kelebihan dari pada makhluk yang lain, yaitu manusia memiliki akal. Manusia yang berakal semestinya bisa memposisikan diri bahwa dia berbeda dengan anjing.


Sudah semestinya  kita sebagai manusia yang berakal itu menerima apa yang menjadi ketetapan Allah dan Rasulullah. Penerimaan tersebut dibarengi dengan kesabaran dan semata-mata untuk menggapai rida-Nya. Sebab bila kita tidak demikian, bagaimana Allah akan rida terhadap setiap apa yang kita lakukan? Di dunia ini kita ibaratnya adalah mampir ngombe. Artinya adalah singkat sekali hidup di dunia ini. Kalau kita tidak mampu meninggalkan jejak kebaikan lalu mau meninggalkan jejak yang bagaimana lagi?

No comments:

Post a Comment