Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai tayamum tidak harus diulang-ulang tiap mau salat.
Setelah memahami bagaimana tata cara wudu, penting bagi kaum muslimin untuk tahu mengenai tayamum. Hal ini dikarenakan tidak semua kondisi mengharuskan seseorang untuk wudu atau bahkan mandi janabat ketika hendak salat. Adapun dalam memahaminya, perlu mengerti berbagai dalil yang terkait tayamum tidak harus diulang-ulang tiap mau salat. Melalui dalil yang ada memunculkan berbagai pendapat berikut.
A. Tayamum Tidak Harus Diulang Tiap Mau Salat
Orang-orang yang termasuk dibolehkan bertayamum ketika hendak salat merupakan suatu keringanan. Tayamum adalah sebagai pengganti wudu atau mandi janabat bagi orang yang dalam beberapa keadaan, antara lain: (1) sakit yang akan membahayakan atau memperlambat kesembuhan bila terkena air; (2) orang yang tidak mendapatkan air di tempat mukim; (3) orang dalam lingkungan dingin secara ekstrim yang membahayakan nyawa; maupun (4) orang dalam safar. Tayamum dikatakan sebagai pengganti wudu atau mandi janabat di berbagai kondisi yang disebutkan adalah berdasar hadis berikut.
Hadis Ke-1
سنن الترمذي ١١٥: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ بُجْدَانَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ. و قَالَ مَحْمُودٌ فِي حَدِيثِهِ إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ وَضُوءُ الْمُسْلِمِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ بُجْدَانَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي عَامِرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَلَمْ يُسَمِّهِ قَالَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْجُنُبَ وَالْحَائِضَ إِذَا لَمْ يَجِدَا الْمَاءَ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا وَيُرْوَى عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى التَّيَمُّمَ لِلْجُنُبِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ وَيُرْوَى عَنْهُ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ فَقَالَ يَتَيَمَّمُ إِذَا لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ.
Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 115: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Mahmud bin Ghailan, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubairi berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari 'Amru bin Bujdan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka jika ia telah mendapatkan air, hendaklah ia mengusapkan pada kulitnya karena itu lebih baik." Mahmud menyebutkan dalam hadisnya, "Debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim." Ia berkata: "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Hurairah, Abdullah bin Amru dan Imran bin Hushain." Abu Isa berkata: "Seperti inilah, tidak hanya satu orang yang meriwayatkan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah, dari 'Amru bin Bujdan dari Abu Dzar." Ayyub meriwayatkan hadis ini dari Abu Qilabah dari seorang laki-laki dari bani 'Amir dari Abu Dzar, tetapi ia tidak menyebut namanya. Ia berkata: "Hadis ini derajatnya hasan shahih. Ini adalah perkataan mayoritas fuqaha, bahwa orang yang junub dan haid jika tidak mendapatkan air hendaklah ia bertayamum lalu salat." Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya seorang junub tidak boleh bertayamum meskipun tidak mendapatkan air. Namun diriwayatkan darinya, bahwa ia telah mencabut pendapatnya, lalu ia berkata: "Ia tidak boleh bertayamum jika tidak mendapatkan air." Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats Tsauri, Malik, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq."
Hadis Ke-2
سنن أبي داوود ٢٨١: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ الْوَاسِطِيُّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ ح حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْوَاسِطِيَّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ بُجْدَانَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: اجْتَمَعَتْ غُنَيْمَةٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ ابْدُ فِيهَا فَبَدَوْتُ إِلَى الرَّبَذَةِ فَكَانَتْ تُصِيبُنِي الْجَنَابَةُ فَأَمْكُثُ الْخَمْسَ وَالسِّتَّ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ فَسَكَتُّ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ أَبَا ذَرٍّ لِأُمِّكَ الْوَيْلُ فَدَعَا لِي بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ فَجَاءَتْ بِعُسٍّ فِيهِ مَاءٌ فَسَتَرَتْنِي بِثَوْبٍ وَاسْتَتَرْتُ بِالرَّاحِلَةِ وَاغْتَسَلْتُ فَكَأَنِّي أَلْقَيْتُ عَنِّي جَبَلًا فَقَالَ الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ وَضُوءُ الْمُسْلِمِ وَلَوْ إِلَى عَشْرِ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمِسَّهُ جِلْدَكَ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ وَقَالَ مُسَدَّدٌ غُنَيْمَةٌ مِنْ الصَّدَقَةِ. قَالَ أَبُو دَاوُد وَحَدِيثُ عَمْرٍو أَتَمُّ.
Artinya: Sunan Abu Daud nomor 281: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Aun, telah mengabarkan kepada kami Khalid Al Wasithi dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah Al Hadits. Dan telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah Al Wasithi dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Amru bin Bujdan dari Abu Dzarr dia berkata: Beberapa kambing sedekah dikumpulkan pada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: Wahai Abu Dzarr, kirimkan dia ke perkampungan badui. Lalu saya pun mengirimkannya ke Rabadzah. Lalu saya junub, sehingga saya tinggal lima atau enam hari salat tanpa bersuci. Lalu saya mendatangi Nabi SAW. Beliau memanggil: "Wahai Abu Dzarr!" Namun saya terdiam. Maka beliau bersabda: "Hus, wahai Abu Dzarr!" Lalu beliau memanggil seorang budak wanita hitam, dia datang dengan membawa wadah berisi air, lalu dia menutupiku dengan kain dan saya menutup diri dengan unta, lalu saya mandi, seakan-akan aku lempar tanah gunung dariku (karena tujuh hari tak bersuci dengan air). Beliau lantas bersabda: "Tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun dia tidak menemukan air hingga sepuluh tahun. Apabila kamu dapati air, maka berwudu dan mandilah, karena itu lebih baik bagimu." Musaddad berkata: Beberapa kambing sedekah. Abu Dawud berkata: Hadis Amru lebih sempurna.
Melalui hadis yang ada dapat diketahui bahwa debu adalah alat pembersih/ wudunya orang Islam meskipun 10 tahun tidak mendapati air. Pernyataan Rasulullah yang seperti ini menunjukkan bahwa debu untuk tayamum adalah pengganti secara mutlak wudu dan mandi janabat. Adapun apabila ada air, maka hendaklah mengusapkan air ke kulitnya karena hal tersebut lebih baik. Dalil yang ada juga menerangkan bahwa konsekuensi tayamum pengganti wudu atau mandi janabat di berbagai kondisi adalah sebab-sebab yang menjadikan wudu atau mandi janabat itu batal juga berlaku pada tayamum. Oleh sebab itu, ketika tayamum tetapi belum berhadas dalam kondisi yang dibolehkan bertayamum maka digunakan untuk salat berikutnya insya Allah tetap sah. Hal ini sebagaimana praktik salat jamak qasar ketika safar. Sebagai contoh saat safar hendak menegakkan salat jamak qasar Zuhur dan Asar sehingga tayamum sebelum salat jamak qasar. Ketika selesai melaksanakan salat Zuhur dua rakaat, maka dilanjutkan salat Asar dua rakaat tanpa bertayamum kembali sebagaimana sebelum ditegakkannya salat Zuhur. Padahal kita tahu bahwa salat jamak qasar Zuhur dan Asar adalah dua salat fardu yang digabung di satu waktu dan dikerjakan secara meringkas jumlah rakaat salat. Intinya ada dua salat, tetapi cukup dengan sekali tayamum selama belum berhadas.
B. Tayamum Harus Diulang Tiap Mau Salat
Pendapat ini mengatakan bahwa tayamum hendaknya diulang tiap hendak menegakkan salat. Hal tersebut karena tayamum hanya bersifat darurat. Oleh sebab itu, kesucian yang dihasilkan dengan cara bertayamum bukan kesucian yang bersifat mutlak. Apabila seseorang ingin mengerjakan salat lagi, dia harus kembali bertayamum lagi. Hal ini disamakan dengan wanita yang sedang mengalami istihadhah, yaitu darah keluar terus dari kemaluannya. Oleh karenanya tiap kali mau mengerjakan salat, dia harus mencuci kemaluannya dengan air. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan Ummu Habibah binti Jahsy pada riwayat berikut.
Hadis Ke-3
صحيح مسلم ٥٠٢: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: اسْتَفْتَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ جَحْشٍ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ فَاغْتَسِلِي ثُمَّ صَلِّي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ. قَالَ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ لَمْ يَذْكُرْ ابْنُ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ أَنْ تَغْتَسِلَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ فَعَلَتْهُ هِيَ و قَالَ ابْنُ رُمْحٍ فِي رِوَايَتِهِ ابْنَةُ جَحْشٍ وَلَمْ يَذْكُرْ أُمَّ حَبِيبَةَ.
Artinya: Shahih Muslim nomor 502: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Laits. Lewat jalur periwayatan lain, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh, telah mengabarkan kepada kami Al-Laits dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa dia berkata: "Ummu Habibah binti Jahsy telah meminta nasihat dari Rasulullah SAW kemudian berkata: 'Aku ini perempuan yang berdarah istihadhah. Maka Rasulullah SAW menjawab dengan bersabda, 'Itu adalah darah penyakit, maka hendaklah kamu mandi kemudian salatlah, maka dia mandi pada setiap waktu salat'." Al-Laits bin Sa'd berkata: "Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsy untuk mandi pada setiap waktu salat, akan tetapi itu adalah sesuatu yang dia perbuat sendiri." Ibnu Rumh berkata dalam riwayatnya, "Ibnah Jahsy." Dan tidak menyebutkan, "Ummu Habibah."
Pendapat ini selain menyamakan dengan wanita yang menderita istihadhah, juga mengambil dalil dari riwayat Ibnu Abbas. Adapun riwayat yang dimaksud adalah sebagaai berikut.
Hadis Ke-4
سنن الدارقطني ٧٠٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْفَارِسِيُّ، نا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُمَارَةَ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً، ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ الْأُخْرَى. وَالْحَسَنُ بْنُ عُمَارَةَ ضَعِيفٌ.
Artinya: Sunan Daruquthni nomor 700: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma'il Al Farisi, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, dari Al Hasan bin Umarah, dari Al Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, "Termasuk bagian sunah adalah seseorang tidak melaksanakan salat dengan tayamum kecuali hanya satu salat, kemudian bertayamum (lagi) untuk salat lainnya." Dan Al Hasan bin Umarah lemah.
Keterangan: Rawi yang bernama Al Hasan bin Umarah merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua yang hidup di Kufah dan wafat tahun 153 H. Komentar ulama tentangnya di antaranya adalah Ahmad bin Hambal mengatakan: matrukul hadits; Abu Hatim Ar Rozy mengatakan: matrukul hadits. Selain itu sebagaimana dalam matan hadis disebutkan bahwa Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Al Hasan bin Umarah adalah rawi yang lemah/ daif.
Pendapat tayamum hendaknya diulang tiap hendak menegakkan salat mengandung konsekuensi bahwa dalam salat jamak baik takdim ataupun takhir, harus kembali tayamum bila akan melakukan salat yang kedua. Sebagai contoh apabila seorang ingin menjamak salat Zuhur dengan salat Asar, maka yang harus dia lakukan pertama kali adalah bertayamum, lalu salat Zuhur. Selesai salam, dia bertayamum lagi, untuk mengerjakan salat Asar.
C. Simpulan Mengenai Tayamum Tidak Harus Diulang Tiap Mau Salat
Melihat berbagai pendapat, hendaknya saling menghargai di antara kaum muslimin. Terkait pendapat tayamum tidak harus diulang tiap mau salat ataupun tayamum harus diulang tiap mau salat itu dibangun dengan argumennya masing-masing. Silahkan mau mengambil pendapat yang mana. Penting untuk saling menghormati dan tidak intervensi satu dengan yang lain. Kita sudah dibekali Allah dengan hati nurani dan akal sehat untuk menentukan pilihan. Namun demikian, penulis memilih mengamalkan pendapat bahwa tayamum tidak harus diulang tiap mau salat. Hal tersebut sebagaimana pernyataan dari Rasulullah bahwa "Debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun.” Oleh sebab itu, tayamum adalah secara mutlak pengganti wudu ataupun mandi janabat. Selain itu, menyamakan tayamum dengan istihadhah adalah tidak apple to apple. Oleh sebab itu tidak bisa dikiaskan karena dua hal berbeda. Selain itu, atsar Ibnu Abbas adalah lemah derajatnya.
Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.
No comments:
Post a Comment