Umat Islam yang berusaha menjalankan syariat Islam dalam hidupnya tentu mengimpikan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Ibadah haji merupakan salah satu di antaranya rukun Islam. Namun demikian, dalam praktiknya ibadah haji di tanah haram tidak terlepas dari ibadah umrah. Bagi kita yang masih awam tentunya akan banyak bertanya-tanya bagaimana pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Supaya mampu menjawab pertanyaan kita bersama tersebut, pada kesempatan kali ini akan membahas mengenai badal haji.
A. Pengertian Badal Haji
Buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2023 menerangkan bahwa badal secara bahasa berarti mengganti, mengubah, atau menukar. Badal haji adalah diwakilkannya pelaksanaan ibadah haji seseorang oleh orang lain. Badal haji diberlakukan bagi orang-orang dengan kategori berikut:
1. Orang yang sudah berkewajiban melaksanakan haji (haji pertama/ haji Islam, bukan haji sunah) atau haji nazar tetapi kemudian wafat, baik dia berwasiat atau tidak;
2. Orang yang sudah mencapai derajat isthitha'ah kemudian dia sakit berat sehingga timbul masyaqqah sebelum pelaksanaan haji (ma’dhub).
3. Jemaah haji Indonesia yang sudah berangkat/ berada ke Arab Saudi, kemudian sakit berat atau wafat sebelum wukuf, maka hajinya dibadalkan. Jemaah yang berhak dibadalkan pelaksanaan hajinya adalah sebagai berikut:
a) Jemaah yang meninggal dunia di asrama haji embarkasi, di perjalanan, atau di Arab Saudi sebelum melaksanakan wukuf;
b) Jemaah yang sakit dan tidak dapat disafari-wukufkan karena pertimbangan keselamatan atau sangat bergantung pada peralatan medis;
c) Jemaah yang mengalami gangguan jiwa.
Badal haji dilaksanakan oleh petugas haji yang ditunjuk dan dibiayai oleh pemerintah. Pihak keluarga atau jemaah tidak dikenakan biaya atas pelaksanaan badal haji. Sebagai bukti atas pelaksanaan badal haji, pemerintah melalui Ketua Daker Makkah akan memberikan sertifikat badal haji kepada keluarganya. Adapun laki-laki bisa membadalkan perempuan dan sebaliknya. Orang yang menjadi wakil badal haji diutamakan adalah keluarga yang berangkat dari tempat tinggal orang yang dibadali. Namun juga bisa dilakukan oleh orang lain dengan cara keluarganya melakukan perjanjian sesuai kesepakatan dengan orang tersebut.
B. Dalil Badal Haji
Ibadah haji merupakan di antara ibadah yang besar keutamaannya bagi umat Islam. Bagi umat Islam yang berusaha menjalankan perintah agama tentunya semaksimal mungkin mengusahakan untuk beribadah haji. Melalui ibadah yang ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Nabi, seseorang memperoleh pahala yang besar bagi dirinya sendiri.
Dalil Al-Qur’an Ke-1
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ. فصّلت: ٤٦
Artinya: Siapa yang mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan siapa yang berbuat jahat, maka (akibatnya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (QS. Fussilat/41: 46)
Ayat tersebut bersifat umum bahwa siapa saja yang mengerjakan amal salih/ kebajikan, maka pahala kebaikannya untuk dirinya sendiri. Hal tersebut termasuk ibadah haji. Namun demikian di antara dali-dalil yang ada terdapat dalil yang menjadi pengecualian bagi praktik ibadah badal haji. Dalil-dalil yang dimaksud di antaranya sebagai berikut.
Hadis Ke-1
صحيح البخاري ١٧٢١: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ امْرَأَةً ح حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ.
Artinya: Shahih Bukhari nomor 1721: Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar dari Ibnu 'Abbas dari Al Fadhal bin 'Abbas RA bahwa ada seorang perempuan. Dan diriwayatkan pula oleh Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar dari Ibnu 'Abbas RA, ia berkata: Ada seorang perempuan dari suku Khats'am pada pelaksanaan haji wada' lalu berkata: "Wahai Rasulullah, kewajiban yang Allah tetapkan buat para hamba-Nya tentang haji sampai kepada bapakku ketika dia sudah berusia lanjut sehingga dia tidak mampu untuk menempuh perjalanannya, apakah terpenuhi kewajiban untuknya bila aku menghajikannya?" Beliau menjawab: "Ya".
Hadis Ke-2
صحيح مسلم ٢٣٧٥: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ، قَالَ: كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ تَسْتَفْتِيهِ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ.
Artinya: Shahih Muslim nomor 2375: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata: Saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Sulaiman bin Yasar dari Abdullah bin Abbas bahwa ia berkata: Fadl bin Abbas pernah membonceng di belakang Rasulullah SAW, tiba-tiba seorang perempuan dari Khats'am meminta petunjuk kepada beliau. Fadll menengok kepada perempuan itu dan perempuan itu pun menengok Fadll. Maka Rasulullah SAW memalingkan wajah Fadll ke arah lain. Perempuan itu berkata: "Wahai Rasulullah, kewajiban untuk menunaikan haji terpikul atas bapakku yang sudah tua renta. Ia tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku menggantikannya?" Beliau menjawab: "Boleh." Dan hal itu terjadi pada saat haji wada'.
Hadis Ke-3
صحيح البخاري ١٧٢٠: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ.
Artinya: Shahih Bukhari nomor 1720: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu Bisyir dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu 'Abbas RA bahwa ada seorang perempuan dari suku Juhainah datang menemui Nabi SAW lalu berkata: "Sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk menunaikan haji tetapi dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah haji untuknya, bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya? Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar".
Hadis Ke-4
سنن النسائي ٢٥٨٥: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بِشْرٍ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ امْرَأَةً نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ فَأَتَى أَخُوهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُخْتِكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاقْضُوا اللَّهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ.
Artinya: Sunan Nasa'i nomor 2585: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basyar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Bisyr, ia berkata: Saya pernah mendengar Sa'id bin Jubair menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa terdapat seorang perempuan yang bernazar untuk melakukan haji lalu ia meninggal. Kemudian saudara laki-lakinya menemui Nabi SAW dan bertanya kepada beliau mengenai hal tersebut, maka beliau bersabda: "Bagaimana pendapatmu apabila saudaramu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarnya?" Maka orang tersebut mengatakan: "Iya". Beliau bersabda: "Bayarlah hutang kepada Allah, Dia lebih berhak untuk ditunaikan hutang-Nya."
Hadis Ke-5
سنن أبي داوود ١٥٤٦: حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ الطَّالَقَانِيُّ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَ إِسْحَقُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَزْرَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ.
Artinya: Sunan Abu Daud nomor 1546: Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Isma'il Ath Thalaqani serta Hannad bin As Sari dengan satu makna, Ishaq berkata: telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Ibnu Abu 'Arubah dari Qatadah dari 'Azrah dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW mendengar seseorang mengucapkan: "LABBAIKA 'AN SYUBRUMAH" (Ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah). Beliau bertanya: "Siapakah Syubrumah tersebut?" Dia menjawab: "Saudaraku." Atau "Kerabatku." Beliau bertanya: "Apakah engkau telah melaksanakan haji untuk dirimu sendiri?" Dia menjawab: "Belum." Beliau berkata: "Laksanakan haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah."
Hadis Ke-6
سنن ابن ماجه ٢٨٩٤: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَزْرَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ قَرِيبٌ لِي قَالَ هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ قَالَ لَا قَالَ فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ.
Artinya: Sunan Ibnu Majah nomor 2894: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Sa'id dari Qatadah dari 'Azrah dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu 'Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki mengucapkan: 'Labbaika 'an Syubrumah' (Ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah). Maka Rasulullah bertanya: 'Siapakah Syubrumah itu? ' Lelaki itu menjawab: 'Ia adalah salah seorang kerabatku.' Lalu beliau Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu pernah mengerjakan haji?' Ia menjawab: 'Belum.' Lantas beliau bersabda: 'Jadikanlah haji ini untuk dirimu, lalu (pada haji berikutnya) berhajilah untuk Syubrumah.'"
C. Jenis Badal Haji
Buku Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2016 menerangkan bahwa badal haji diperbolehkan pada 2 (dua) kelompok, yaitu: al-ma’dlub dan al-mayyit. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Al-Ma’dlub, yaitu orang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berangkat ke Tanah Suci, sehingga memerlukan jasa orang lain untuk melaksanakan ibadah haji. Al-Ma’dlub yang memiliki kemampuan finansial wajib/ boleh dibadalkan jika tempat tinggalnya jauh dari Tanah Haram Makkah dengan jarak lebih dari masafatul qashr. Sedangkan al-ma’dlub yang sudah ada di Tanah Haram Makkah atau tempat lain yang dekat dari Tanah Haram Makkah tidak boleh dibadalhajikan, melainkan harus haji sendiri atau dibadalhajikan setelah meninggal. Tetapi jika kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk melaksanakan sendiri, maka menurut sebagian pendapat, dia boleh dibadalhajikan di saat dia masih hidup (Hasyiatul Jamal, Juz II, hlm. 388).
2. Al-Mayyit adalah haji yang tidak terlaksana atau tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal lebih dulu. Hal ini terbagi dalam 2 (dua) macam, yaitu; Haji Wajib (haji Islam, haji nazar, dan haji wasiat) dan Haji Sunnah. Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama tentang yang berkewajiban haji dan meninggal sebelum melaksanakannya:
a. Wajib dibadalhajikan dengan beban biaya dari tirkah/ peninggalannya. Menurut mazhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dan ini merupakan pendapat dari Imam Hasan, Thawus, al-Auza’i, al-Tsauri, dan Ishaq.
b. Ulama Syafi’iyah sendiri dalam masalah ini men-tafsil dengan membedakan antara orang yang meninggal sebelum tamakkun (adanya peluang untuk melakukan perbuatan-perbuatan haji) dan orang yang meninggal sesudah tamakkun. Bagi yang pertama, kewajiban haji menjadi gugur, sehingga tidak wajib dibadalkan. Sedangkan bagi yang kedua, beban kewajiban haji tetap ada, maka wajib dibadalhajikan. Orang yang sudah tamakkun, maka kewajiban hajinya menjadi kewajiban tetap (wajib mustaqir). Seseorang yang setelah nisfu lailatun nahr memiliki peluang untuk melakukan ramyu, tawaf, dan sa’i, kalau dia tidak menggunakan peluang itu kemudian meninggal dunia, maka dia berdosa dan mempunyai hutang haji. Oleh sebab itu wajib dibadalhajikan dari tirkah-nya (Fathul Wahab Ma’a Hasyiatul Jamal/2/387; Mughnil Muhtaj/I/468).
c. Imam Nawawi dalam Majmu’-nya (Juz V/135) membahas tentang orang yang meninggal di saat sedang melakukan haji. Beliau mengemukakan, bahwa dalam hal tersebut, ada 2 (dua) qaul, yaitu:
1) Qaul jadid dan ini yang ashah: bahwa tidak boleh ada niyabah/ pengganti untuk melanjutkan perbuatan haji yang belum selesai itu, karena apa yang sudah dilakukan oleh yang meninggal menjadi batal dengan terjadinya kematian. Dia wajib dibadalhajikan dari tirkah-nya, jika kewajiban haji baginya telah menjadi kewajiban tetap (wajib mustaqir); dan tidak wajib dibadalkan jika haji yang dilakukan adalah haji sunah atau haji wajib yang belum menjadi kewajiban tetap, karena baru saat itu dia memiliki istitha’ah berhaji.
2) Qaul Qadim, bahwa dalam kasus seperti ini, boleh ada niyabah untuk melanjutkan haji mayyit yang belum selesai. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh membadalkan haji sunah untuk orang yang sudah meninggal, baik oleh ahli waris maupun lainnya, kecuali ada wasiat dari yang meninggal dunia (Hasyiyah Jamal/2/387). Orang meninggal dunia, ketika di masa hidupnya tidak pernah memiliki istitha’ah berhaji, boleh dihajikan oleh siapa pun (Hasyiayah Jamal/ 2/387).
d. Melalui rincian pembahasan haji dan niyabah menurut Syafi’iyah di atas dapat disimpulkan, bahwa haji wajib yang tidak terlaksana/ tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal dunai terlebih dulu, hal ini ada yang wajib dibadalkan dan ada yang tidak wajib dibadalkan. Adapun haji wajib yang wajib dibadalkan biayanya menjadi beban tirkah si mayyit. Perlu dijelaskan pula, bahwa jika si mayyit tidak meninggalkan tirkah yang cukup untuk membiayai badal hajinya, maka tidak ada yang harus menanggung beban-beban biaya itu, baik ahli warisnya maupun yang lain. Namun ahli waris atau lainnya sunah menghajikan/ membiayai hajinya mayyit tersebut (Hasyiyah Jamal/2/388).
D. Syarat Badal Haji
Buku Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2016 menerangkan bahwa orang yang membadalhajikan harus sudah pernah haji terlebih dahulu. Hal itu sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali, bahwa orang yang akan menghajikan orang lain harus sudah haji untuk dirinya. Jika dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain, sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas. Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagaimana hadis riwayat Abu Daud nomor 1546 dan hadis riwayat Ibnu Majah nomor 2894. Meski demikian, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan (membadalhajikan) orang lain dan sah menurut hukum, tetapi orang tersebut berdosa karena belum haji untuk dirinya (Muhammad Ahmad, Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah wa al-Ziyarah, hlm. 39).
Jumhur sepakat, bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu (istitha’ah), sekali dalam seumur hidupnya. Istitha’ah itu meliputi: istitha’ah binafsih, yakni kemampuan melaksanakan haji sendiri karena yang bersangkutan selain memiliki kemampuan finansial juga kemampuan fisik; dan istitha’ah bighairihi, yaitu kemampuan melaksanakan haji dengan jasa orang lain (badal haji), yang berlaku bagi jamaah yang dalam kondisi al-ma’dlub dan al-mayyit.
Ulama berbeda pendapat dalam hal, boleh tidaknya melaksanakan badal haji. Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fikihnya al-hajj ‘an al-ghair. Di antara ulama empat mazhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan, ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya (Abd al-Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol.I (Dar al-Fikr, 1986), 706-710; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, III/426.).
E. Tata Cara Badal Haji
Buku Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tentang Badal Haji terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2016 menerangkan mengenai tata cara badal haji.
1. Tata cara/kaifiyah pelaksanaan badal haji sama dengan pelaksanaan haji untuk diri sendiri kecuali ketika niat harus niat badal untuk seseorang (al-hajju ‘an ...). Namun terkait mikat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat, antara lain:
a. Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari mikat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari mikat mana saja yang mudah, sebagaimana hadis Nabi SAW.
Hadis Ke-7
صحيح البخاري ٦٧٤٤: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Artinya: Shahih Bukhari nomor 6744: Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malik dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka. Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian."
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Hasan, Ishaq bin Rahawaib, dan Malik.
b. Imam Atha’ bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari mikatnya.
c. Imam Syafi’i menyatakan, bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hijjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari mikatnya orang yang dibadalkan (Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Juz V, hlm. 120-123).
2. Dalam masalah badal haji, peran negara dapat disamakan dengan peran ahli waris. Ketika ahli waris berkewajiban menghajikan atau membiayai haji mauruts-nya, maka negara pun berkewajiban menghajikan/ membiayai haji jemaah haji yang wajib dibadalhajikan.
3. Dalam hal pelaksanaan badal haji yang dilaksanakan pemerintah sesuai dengan ketentuan PMA Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.
F. Pandangan Kaum Muslimin Terkait Badal Haji
Kaum muslimin dalam menjalankan ibadahnya berusaha mencermati dan melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah. Selain itu juga tidak mengabaikan apa yang menjadi pendapat para ulama. Hal tersebut tidak terkecuali dalam memahami mengenai badal haji. Kaum muslimin setidaknya dalam memahami dalil-dalil badal haji, secara umum terbagai menjadi beberapa pemahaman berikut.
1. Badal haji dibolehkan dengan syarat khusus.
Pemahaman ini berdasarkan arumen yang sudah disampaikan di awal bahwa badal haji dibolehkan dengan syarat orang yang menggantikan haji sudah pernah haji maupun orang yang digantikan hajinya sudah memiliki kemampuan untuk berhaji. Hal tersebut baik untuk jenis badal haji al-ma’dlub dan al-mayyit.
2. Tidak mengamalkan badal haji, kecuali dengan syarat ketat dan kondisi darurat (extraordinary). Pemahaman ini pada dasarnya tidak menganggap seseorang bisa menggantikan haji orang lain. Hal tersebut karena berdasarkan Al-Qur’an surat Fussilat ayat 46. Ayat tersebut menjelaskan bahwa siapa yang mengerjakan amal salih, maka pahalanya untuk dirinya sendiri. Hal terserbut tidak terkecuali ibadah haji yang mana pelakunya sendiri yang akan memperoleh kebaikan pahala. Namun demikian, terdapat hadis-hadis lain yang menerangkan pada kondisi darurat dan dengan syarat yang ketat, Rasulullah membolehkan dalam hal ini membolehkan:
a) Seorang perempuan menghajikan bapaknya yang sudah tua renta (terdapat dalam hadis riwayat Bukhari nomor 1721 dan Muslim nomor 2375);
b) Seseorang anak menghajikan ibunya yang telah bernazar untuk menunaikan haji tetapi dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia (terdapat dalam hadis riwayat Bukhari nomor 1720);
c) Seorang laki-laki menghajikan saudara perempuannya karena saudara perempuan tersebut sudah bernazar untuk berhaji (terdapat dalam hadis riwayat Nasa'i nomor 2585);
d) Seseorang dibolehkan menghajikan kerabatnya (terdapat pada hadis riwayat Abu Daud nomor 1546 dan Ibnu Majah nomor 2894).
Oleh sebab itu, melalui dalil-dalil yang ada bahwa tidak mengamalkan badal haji, kecuali dengan syarat ketat dan kondisi darurat (extraordinary). Syarat ketatnya selain yang menggantikan haji sudah pernah berhaji, yaitu:
a) Harus dilakukan anak kandung;
b) Harus dilakukan oleh saudara/ kerabat dekat.
Adapun kondisi daruratnya adalah:
a) Seseorang nazar haji tetapi meninggal sebelum berhaji;
b) Orang tua masih hidup yang sudah wajib haji, tetapi sudah tua renta.
3. Tidak mengamalkan badal haji. Pemahaman ini menekankan pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antaranya surat surat Fussilat ayat 46. Ayat tersebut menjelaskan bahwa siapa yang mengerjakan amal salih, maka pahalanya untuk dirinya sendiri. Hal terserbut tidak terkecuali ibadah haji yang mana pelakunya sendiri yang akan memperoleh kebaikan pahala. Adapun hadis-hadis yang menjadi dalil badal haji dimungkinkan dikhususkan pada orang-orang yang bertanya saja pada jaman Rasulullah Muhammad SAW.
Menyimak berbagai hal yang ada, penulis secara pribadi lebih condong pada pemahaman kedua. Adapun pemahaman kedua adalah: Tidak mengamalkan badal haji, kecuali dengan syarat ketat dan kondisi darurat (extraordinary). Adapun penjelasan secara rinci bisa disimak melalui video mulai waktu 2:23:26 dengan cara klik di sini atau video mulai waktu 2:06:48 dengan cara klik di sini. Pemahaman-pemahaman yang ada bukan untuk diperdebatkan. Namun sebagai motivasi kaum muslimin untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Wallahu a’lam.
Demikian di antaranya yang berkaitan dengan haji dan/ atau umrah umrah. Semoga yang informasi yang didapat membuat kita punya gambaran mengenai ibadah haji dan umrah. Melalui gambaran yang ada, kita paham tata cara pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah.
Penulis menyadari bahwa sampai tulisan ini diterbitkan belum pernah melaksanakan ibadah haji dan umrah. Tulisan ini bukan bermaksud menggurui. Namun sebagai sarana penambah wawasan dan pengingat kembali mengenai manasik haji dan umrah. Adapun saran yang membangun untuk menambah wawasan bersama dari pembaca yang sudah berhaji dan berumrah maupun yang belum adalah sangat diharapkan demi ulasan yang lebih baik sesuai Al-Qur’an dan As-Sunah. Bagi yang belum, semoga Allah meridai kita semuanya untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Semoga kita mampu melaksanakan ibadah haji dan umrah dengan baik dan maksimal sehingga kesempurnaan amal salih tercapai dan akhirnya memperoleh surga sebagaimana janjinya Allah. Aamiin.
numpang lewat
ReplyDeletesilakan..
Delete