Tuesday, May 2, 2023

Puasa Ramadan


 

Ketika memasuki bulan Ramadan, umat muslim berbondong-bondong menjalankan puasa dan memperbanyak amalan ibadah untuk mendapat pahala dan berkah Allah SWT. Ketetapan mengenai bulan Ramadan sendiri telah tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an. Pada pembahasan puasa ini akan mengulas diantaranya: (a) pengertian puasa ditinjau dari segi bahasa/ lughah, etimologi, syara’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Tafsir Al-Manar dan Kitab Subulus Salam, maupun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; (b) hukum puasa; (c) syarat dan rukun yang wajib berpuasa; (d) sebab pembatal puasa; (e) orang yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari yang lain (qada); (f) orang yang boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari lain; (g) orang yang wajib tidak berpuasa dan wajib mengganti dengan puasa di hari lain; dan (h) kafarah bagi orang yang melakukan sebab pembatal puasa.

 

A. Pengertian Puasa

Pengertian puasa dapat ditinjau dari segi bahasa/ lughah, etimologi, syara’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Tafsir Al-Manar dan Kitab Subulus Salam, maupun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Puasa berasal dari kata Ash-Shiyam (الصيام) atau Ash-shaum (الصوم) menurut lughah/ bahasa yang artinya menahan diri dari melakukan sesuatu. Hal tersebut sebagaimana firman Allah yang terdapat pada Surat Maryam ayat 26.

 

Dalil Al-Qur’an Pertama

فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ. مريم: 26

Artinya: Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.’” (QS. Maryam: 26).

 

Secara etimologi, pengertian puasa, shaum atau shiyam, adalah “al-imsaku ‘an asy-syai” (الإمساك عن الشيء) yaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Sementara itu pengertian puasa menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Manar adalah sebagai berikut.

 

الْإِمْسَاكُ عَنِ الْاَكْلِ وَالشُّرْبِ وَغَشَيَانِ النِّسَاءِ مِنَ الْفَجْرِ إِلىَ الْمَغْرِبِ إِحْتِسَابًا لِلّٰهِ وَإِعْدَادًا لِلنَّفْسِ وَتَـهْيِئَةً لَهَا لِتَقْوَى اللهِ بِالْمُرَاقَبَةِ لَهُ وَتَرْبِيَةِ الْإِرَادَةِ. تفسير المنار 2: 143

Artinya: Menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, mulai fajar hingga Magrib, karena mengharap rida Allah dan menyiapkan diri untuk bertakwa kepada-Nya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik kehendak (Tafsir Al-Manar juz 2, hal. 143).

 

Sementara itu, pengertian puasa menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam Kitab Subulus Salam adalah sebagai berikut.

 

الْإِمْسَاكُ عَنِ الْاَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْجِمَاعِ وَغَيْرِهِمَا مِـمَّا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ فِى النَّهَارِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَشْرُوْعِ. وَيَتْبَعُ ذٰلِكَ الْاِمْسَاكُ عَنِ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْكَلَامِ الْمُحَرَّمِ وَالْمَكْرُوْهِ فِيْ وَقْتٍ مَخْصُوْصٍ بِشُرُوْطٍ مَخْصُوْصَةٍ. سبل السلام 2: 150

Artinya: Menahan diri dari makan, minum, bersetubuh, dan lain-lain yang telah diperintahkan syara’ kepada kita menahan diri padanya sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan keji/ kotor dan lainnya dari perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan pada waktu yang telah ditentukan serta menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan. (Subulus Salam, juz 2, hal. 150).

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puasa adalah meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Puasa juga berarti salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Melalui berbagai pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa puasa adalah menahan diri untuk tidak makan, minum, termasuk merokok, dan bersetubuh, dari mulai fajar hingga terbenam matahari pada bulan Ramadan karena mencari rida Allah.

 

B. Hukum Puasa

Puasa sendiri ada yang dikategorikan wajib maupun sunah. Puasa yang dikategorikan wajib hukumnya adalah puasa Ramadan sebulan penuh. Lebih rincinya, puasa Ramadan hukumnya adalah wajib ‘ain. Adapun wajib ‘ain artinya setiap orang Islam yang telah balig (dewasa) dan sehat akalnya serta tidak ada sebab-sebab yang dibenarkan agama untuk tidak berpuasa, maka mereka itu wajib melakukannya, dan berdosa bagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Ketentuan wajib ini sebagaimana firman Allah SWT berikut ini.

 

Dalil Al-Qur’an Kedua

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. البقرة: 183

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183).

 

Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ringkas Kementerian Agama RI mengenai Surat Al Baqarah ayat 183 adalah disebutkan bahwa seruan ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas mereka berpuasa guna mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelumnya dari umat para nabi terdahulu agar bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Melalui informasi tersebut dapat dimengerti bahwa puasa di Bulan Ramadan adalah wajib. Selain itu juga terdapat hadis Nabi yang menguatkan hal tersebut.

 

Hadis Pertama

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا حَنْظَلَةُ سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ يُحَدِّثُ طَاوُسًا قَالَ: إِنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَلَا تَغْزُو قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْإِسْلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصِيَامُ رَمَضَانَ وَحَجُّ الْبَيْتِ. أحمد

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Hanzhalah: Saya telah mendengar Ikrimah bin Khalid menceritakan (hadis) kepada Thawus dia berkata: "Seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar, "Tidakkah kamu turut berperang?" Dia menjawab, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Islam didirikan atas lima sendi, yaitu: (1) mengakui bahwa tak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad pesuruh Allah; (2) mendirikan salat; (3) menunaikan zakat; (4) berpuasa Ramadan; dan (5) berhaji. (HR. Ahmad, no. 6019).

 

Hadis Kedua

و حَدَّثَنِي ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حَنْظَلَةُ قَالَ سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ بْنَ خَالِدٍ يُحَدِّثُ طَاوُسًا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَلَا تَغْزُو فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ الْإِسْلَامَ بُنِيَ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ. مسلم

Artinya: Dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Numair (Muhammad bin Abdullah), telah menceritakan kepada kami Bapakku (Abdullah bin Numair), telah menceritakan kepada kami Hanzhalah dia berkata: saya mendengar Ikrimah bin Khalid menceritakan hadits kepada Thawus, bahwa: "Seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar: 'Mengapa kamu tidak berperang?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW berkata: 'Sesungguhnya Islam didirikan di atas lima dasar yakni: (1) persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah; (2) mendirikan salat; (3) menunaikan zakat; (4) berpuasa Ramadan, dan (5) berhaji ke Baitullah.'" (HR. Muslim, no. 22).

 

Hadis Ketiga

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِي سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ, فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ؟ فَقَالَ: الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا. فَقَالَ: أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: شَهْرَ رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا. فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الزَّكَاةِ؟ فَقَالَ: فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ. قَالَ: وَالَّذِي أَكْرَمَكَ لَا أَتَطَوَّعُ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ إِنْ صَدَقَ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada saya Isma'il bin Ja'far dari Abu Suhail dari Bapaknya dari Thalhah bin 'Ubaidullah, bahwasanya ada seorang Arab gunung yang rambutnya acak-acakan datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, salat apa yang difardukan oleh Allah kepadaku?” Jawab Rasulullah SAW, “Salat lima waktu, kecuali kalau engkau mau salat sunah.” Seorang Arab gunung bertanya lagi: “Beritahukanlah kepadaku puasa apakah yang Allah wajibkan bagiku?” Nabi menjawab: "Puasa di bulan Ramadan, kecuali jika engkau ingin melaksanakan yang sunah." Seorang Arab gunung bertanya: 'Beritahukanlah kepadaku, zakat apakah yang Allah wajibkan atasku?” (Thalhah bin 'Ubaidullah) berkata: Maka Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya syariat-syariat Islam, dan Arab gunung tersebut mengatakan: “Demi Zat yang memuliakanmu, saya tidak akan melakukan yang sunah, tetapi juga tidak akan mengurangi sedikitpun apa yang telah Allah fardukan atas diriku.” Maka Rasulullah bersabda: "Dia beruntung jika ia jujur, (atau dengan redaksi) ia masuk surga jika jujur." (HR. Bukhari, no. 1758).

 

C. Syarat dan Rukun yang Wajib Berpuasa

Syarat wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum melaksanakan suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib, maka gugurlah tuntutan kewajiban kepadanya. Sedangkan rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam sebuah ibadah. Adapun syarat yang wajib berpuasa adalah sebagai berikut.

1. Orang Islam dan tidak diwajibkan selain orang Islam.

2. Akil balig atau dewasa dan bukan termasuk anak-anak.

3. Sehat.

4. Mukim atau berada di daerah tempat tinggalnya/ daerah ikamahnya, dan bukan sebagai musafir.

5. Kuat yakni tidak memaksakan diri karena sangat berat dan payah apabila berpuasa.

6. Khusus bagi wanita pada waktu suci, artinya tidak sedang haid atau nifas.

Adapun rukun puasa diantaranya adalah berniat puasa dan menghindari apa-apa yang menyebabkan batalnya puasa.

 

D. Sebab Pembatal Puasa

Sepanjang tuntunan Agama Islam, berbagai hal yang membatalkan puasa terdapat pada firman Allah SWT berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Ketiga

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ. البقرة: 187

Artinya: Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa. (QS. Al Baqarah: 187).

 

Melalui Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 187 dapat diambil pengertian berbagai sebab yang membatalkan puasa. Adapun sebab pembatal puasa yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Bersetubuh suami-istri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa (dari mulai masuk waktu Subuh hingga masuk waktu Magrib), padahal mereka termasuk orang yang berkewajiban puasa. Adapun yang dimaksud dengan "bersetubuh," ialah masuknya kemaluan laki-laki/ suami pada kemaluan wanita/ istri. Hal tersebut baik mengeluarkan mani maupun tidak, hukumnya tetap sama karena tidak adanya ayat-ayat lain maupun hadis-hadis yang membatasi, bahwa yang dimaksud "bersetubuh" adalah yang mengeluarkan mani. Oleh sebab itu, ayat itu tetap berlaku sesuai dengan keumuman lafalnya.

2. Makan dengan sengaja, baik makanan yang mengenyangkan atau tidak.

3. Minum, baik yang menghilangkan haus atau tidak, termasuk merokok.

 

E. Orang yang Boleh Tidak Berpuasa dan Wajib Mengganti di Hari yang Lain (Qada)

Agama Islam memberi keringanan pada umatnya. Salah satunya adalah boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari-hari yang lain bagi orang-orang yang termasuk kategori berikut.

1. Orang sakit yang apabila tetap berpuasa akan menambah berat atau akan memperlambat kesembuhan sakitnya. Sedangkan sakitnya itu dapat diharapkan kesembuhannya (bukan sakit yang menahun atau sakit yang kronis dan terus-menerus sehingga sulit diharapkan kesembuhannya).

2. Musafir ialah orang yang sedang bepergian keluar dari daerah ikamahnya, baik dengan perjalanan yang berat dan sukar maupun dengan ringan dan mudah. Kesemuanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi berkewajiban mengganti di hari yang lain. Tentang berapa kilometer jauhnya seseorang disebut sebagai musafir itu tidak ada penjelasan yang tegas dari Nabi SAW, tetapi yang jelas beliau bepergian dari Madinah ke Makah. Ketika baru sampai di Dzul Hulaifah beliau sudah mengqasar salat, sedangkan jarak dari Madinah sampai Dzul Hulaifah itu kira-kira 6 mil (kira-kira 12 km). Pembahasan mengenai jarak musafir dapat disimak dengan cara klik di sini.

 

Terkait kebolehan tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari-hari yang lain bagi orang yang sakit dan musafir berdasarkan Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 184 sampai 185 sebagaimana berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Keempat

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. البقرة: 184-185

Artinya: (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,51) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [184] Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur [185]. (QS. Al Baqarah: 184-185).

Catatan: 51) Siapa yang memberi makan kepada lebih dari seorang miskin untuk sehari, itu lebih baik.

 

Terkait batas waktu mengganti tidak ada ketentuan dalam agama tentang batas waktu mengganti puasa yang ditinggalkan. Oleh sebab itu, puasa dapat dilaksanakan pada bulan-bulan sesudah selesai Ramadan tahun itu atau bulan-bulan sesudah Ramadan tahun berikutnya. Tegasnya selama masih hidup, kapanpun boleh, tanpa menambah fidyah atau melipat gandakan puasanya (misalnya hutang satu hari diganti dua hari dan sebagainya). Hanya sebaiknya segera diganti.

 

F. Orang yang Boleh Tidak Berpuasa dan Hanya Mengganti Fidyah Tanpa Harus Mengganti Puasa di Hari Lain

Agama Islam memberi keringanan pada umatnya. Salah satunya adalah boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain. Orang yang tergolong boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain adalah orang-orang yang bila dipaksakan untuk berpuasa masih dapat, tetapi sungguh amat payah sekali dalam melaksanakannya. Dalil tentang orang yang boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 184. Ayat tersebut umum, maka siapa saja yang walaupun mampu berpuasa tetapi dengan amat payah (rekoso) dalam menjalankannya, maka termasuk yang dimaksud oleh ayat Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 184. Hal tersebut diantaranya sebagai berikut.

1. Wanita yang sedang hamil yang bila berpuasa dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan pada dirinya dan/ atau anak yang dikandungnya.

2. Wanita yang sedang menyusui, baik anaknya sendiri maupun anak orang lain yang diserahkan kepadanya untuk disusui, yang bila dipaksakan untuk berpuasa akan sangat berat bagi dirinya dan/ atau bagi anak yang sedang disusuinya itu.

 

Hadis Keempat

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٍ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يَتَغَدَّى فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ قُلْتُ إِنِّي صَائِمٌ قَالَ اجْلِسْ أُحَدِّثْكَ عَنْ الصَّوْمِ أَوْ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ وَاللَّهِ لَقَدْ قَالَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلَاهُمَا أَوْ أَحَدُهُمَا. فَيَا لَهْفَ نَفْسِي هَلَّا كُنْتُ طَعِمْتُ مِنْ طَعَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَوَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٍ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ وَلَيْسَ بِالْأَنْصَارِيِّ قَالَ أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ عَبْد اللَّهِ و حَدَّثَنَاه شَيْبَانُ حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ قَالَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ. أحمد

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abu Hilal dari Abdullah bin Sawadah dari Anas bin Malik, ia adalah seorang laki-lakid dari Bani Abdullah bin Ka'ab, ia berkata: Kuda Rasulullah SAW tiba-tiba menyerang kami, maka saya pun mendatangi beliau yang sedang makan. Maka beliau berkata: "Mendekat dan makanlah." Saya berkata: 'Sesungguhnya, saya sedang berpuasa." Beliau bersabda: "Duduklah, saya akan menceritakanmu tentang shaum atau shiyam. Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla meringankan setengah salat untuk musafir. Dan meringankan shaum (puasa) bagi musafir, wanita hamil dan menyusui. Demi Allah, kedua hal itu telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Keduanya atau salah satu dari keduanya berkata "Duhai, kemarilah, saya telah diberi makan dari makanan Rasulullah SAW." Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sawadah dari Anas bin Malik seorang laki-laki dari Bani Abdullah bin Ka'ab dan bukan Al Anshari. Ia berkata: Kuda Rasulullah SAW tiba-tiba menyerang kami. Maka ia pun menyebutkan hadis itu. Abdullah berkata: Dan telah menceritakannya kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, ia berkata: Maka ia pun menyebutkan hadis semisalnya. (HR. Ahmad, no. 18270).

 

Hadis Kelima

حَدَّثنا مُحَمَّدُ بْنَ الْمُثَنَّى أَبُو مُوسَى، قَال: حَدَّثنا مُحَمد بْنُ أَبِي عَدِيّ، عَن سَعِيد بْنِ أَبِي عَرُوبة عَنْ قَتَادَةَ، عَن عَزْرَةَ، عَن سَعِيد بْنِ جُبَير، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ {وَعَلَى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين} قَالَ: كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، ثُمَّ نُسِخَتْ وَأُثْبِتَ أَنَّهُمَا إِذَا لَمْ يُطِيقَا الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا، وَكان ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ لأُمِّ وَلَدٍ لَهُ حُبْلَى: أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّتِي لا تُطِيقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ، ولاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ. وَهَذَا الْحَدِيثُ لاَ نعلمُهُ يُرْوَى بِهَذَا اللَّفْظِ بِإِسْنَادٍ أَحْسَنَ مِنْ هَذَا الإِسْنَادِ. البزار

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Abu Musa, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Qatadah, dari ‘Azrah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas (tentang ayat) “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang muslim [QS. Al Baqarah (2): 184]. "Ia mengatakan (memberi penafsiran): '(Ayat ini) adalah keringanan bagi orang tua, baik laki-laki maupun perempuan yang merasa berat melaksanakan puasa agar keduanya berbuka. (Keduanya) wajib memberi makan orang miskin sebanyak hari yang mereka tinggalkan. Dan (ketentuan ini berlaku) bagi wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir (terhadap kondisi diri atau anaknya). Dan Ibnu ‘Abbas pernah berkata kepada kepada seorang ibu yang sedang hamil; Engkau sekedudukan dengan orang yang amat payah untuk berpuasa. Maka wajib atasmu fidyah dan tidak ada qada bagimu. Dan kami tidak mengetahui hadis yang diriwayatkan dengan lafal ini dengan isnad yang lebih baik dari padanya ini. (HR. Al Bazzar, no. 5279).

 

Hadis Kenam

حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ الْأَصْبَهَانِيُّ، ثنا أَبُو مَسْعُودٍ، ثنا الْحَجَّاجُ، ثنا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ امْرَأَتَهَ، سَأَلَتْهُ وَهِيَ حُبْلَى، فَقَالَ: أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي. الدارقطني

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Ashbahani, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud, telah menceritakan kepada kami Al Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa istrinya bertanya kepadanya dan dia sedang hamil, maka Ibnu Umar berkata, "Berbukalah dan berilah makan setiap hari satu orang miskin (fidyah) dan janganlah kamu mengqadanya." (HR. Daruquthni, no. 2363).

 

3. Orang yang lanjut usia/ orang tua yang apabila berpuasa akan sangat memayahkannya.

 

Hadis Ketujuh

حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ الأَصْبَهَانِيُّ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ هَارُونَ، أنا أَبُو مَسْعُودٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الرَّقَاشِيُّ، ثنا وُهَيْبُ بْنُ خَالِدٍ الْحَذَّاءُ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ. وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ. الدارقطني

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Ashbahani, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Sa'id bin Harun, telah memberitakan kepada kami Abu Mas'ud, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Ar-Raqasyi, telah menceritakan kepada kami Wuhib bin Khalid Al Hadzdza’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Diberikan keringanan bagi orang tua untuk berbuka dan memberikan makan setiap hari satu orang miskin (fidyah) dan tidak ada kewajiban mengqadha atas dirinya. Hadis ini sanadnya shahih. (HR. Daraquthni, no. 2355).

 

4. Orang yang pekerjaannya sangat berat, yang bila tetap berpuasa walaupun ia kuat akan sangat berat dan memayahkannya. Sebagai contohnya: pengemudi becak, pekerja tambang, karyawan-karyawan pengangkat barang di stasiun, terminal, pelabuhan dan sebagainya.

5. Orang yang sakit menahun yang (menurut ahli kesehatan/ medis) sulit diharapkan sembuhnya, atau walaupun sembuh tetapi memakan waktu yang lama sekali.

6. Siapa saja yang karena kondisi badannya atau sebab-sebab lain akan amat berat bila berpuasa, walaupun bila dipaksa kuat juga.

 

Sebagai keterangan untuk poin (4), (5), dan (6), dasarnya adalah keumuman lafal Surat Al Baqarah ayat 184. Semua yang tersebut diatas, boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain.

 

G. Orang yang Wajib Tidak Berpuasa dan Wajib Mengganti dengan Puasa di Hari Lain

Agama Islam memberi aturan terhadap orang yang wajib tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti dengan puasa di hari lain. Adapun orang yang termasuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut.

1. Wanita yang haid. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kedelapan

و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ. مسلم

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Ashim, dari Mu'adzah, ia berkata: "Saya bertanya kepada ‘Aisyah seraya berkata: 'Mengapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa dan tidak mengqada salat?' Maka ‘Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah?' Aku menjawab, 'Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia (‘Aisyah) menjawab, 'Kami dahulu juga mengalami (haid), maka kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada salat'." (HR. Muslim, no. 508).

 

Hadis Kesembilan

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدٌ عَنْ عِيَاضٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, ia berkata: telah menceritakan kepada saya Zaid, dari 'Iyadh, dari Abu Sa'id (Al Kudri) RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: "Bukankah apabila seorang wanita itu haid, ia tidak salat dan tidak berpuasa? Itulah dari kekurangan agamanya." (HR. Bukhari, no. 1815).

 

2. Wanita yang sedang nifas. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kesembilan

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ الْوَلِيدِ أَبُو بَدْرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ أَبِي سَهْلٍ عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَكُنَّا نَطْلِي وُجُوهَنَا بِالْوَرْسِ مِنْ الْكَلَفِ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَهْلٍ عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ وَاسْمُ أَبِي سَهْلٍ كَثِيرُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى ثِقَةٌ وَأَبُو سَهْلٍ ثِقَةٌ وَلَمْ يَعْرِفْ مُحَمَّدٌ هَذَا الْحَدِيثَ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَهْلٍ وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي فَإِذَا رَأَتْ الدَّمَ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ فَإِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا لَا تَدَعُ الصَّلَاةَ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ وَيُرْوَى عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ إِنَّهَا تَدَعُ الصَّلَاةَ خَمْسِينَ يَوْمًا إِذَا لَمْ تَرَ الطُّهْرَ وَيُرْوَى عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالشَّعْبِيِّ سِتِّينَ يَوْمًا. الترمذي

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Syuja' bin Al Walid Abu Badr, dari Ali bin Abdul A'la, dari Abu Sahl, dari Mussah Al Azdiah, dari Ummu Salamah, ia berkata: “Adalah wanita-wanita yang nifas di zaman Rasulullah SAW duduk (tidak salat) selama empat puluh hari dan kami memakai pilis pada wajah-wajah kami dengan waras (sejenis tumbuh-tumbuhan) berwarna merah kehitaman.” Abu Isa berkata: "Ini adalah hadis gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Abu Sahl, dari Mussah Al Azdiah, dari Ummu Salamah." Dan nama Abu Sahl adalah Katsir bin Ziyad. Dalam hal ini Muhammad bin Isma'il berkata: "Ali bin Abdul A'la dan Abu Sahl adalah orang yang terpercaya." Dan Muhammad tidak mengetahui hadis ini kecuali dari hadis Abu Sahl. Para ulama telah sepakat bahwa para sahabat Nabi SAW, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka telah sepakat, bahwa wanita yang habis melahirkan (nifas) boleh meninggalkan salat selama empat puluh hari, kecuali jika ia telah suci sebelum itu, maka ia harus mandi dan salat. Apabila ia melihat darah setelah empat puluh hari, maka sebagian ulama berkata: "Ia tidak boleh meninggalkan salat setelah empat puluh hari." Ini adalah pendapat sebagian besar fuqaha seperti Sufyan Ats Tsauri, bin Al Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Dan diriwayatkan pula dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata: "Sesungguhnya wanita yang habis melahirkan (nifas), ia tidak salat selama lima puluh hari jika ia tidak melihat bahwa ia telah suci." Dan diriwayatkan pula dari 'Atha bin Abu Rabah dan Asy Sya'bi: yaitu enam puluh hari." (HR. Tirmidzi, no. 129).

Keterangan: Sebagaimana disebutkan bahwa wanita yang sedang nifas saja tidak boleh salat, apalagi berpuasa.

 

H. Kafarah Bagi Orang yang Melakukan Sebab Pembatal Puasa

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa sebab pembatal puasa adalah diantaranya  bersetubuh suami-istri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa, serta makan dan minum dengan sengaja (termasuk merokok). Adapun kafarah orang yang melakukan sebab pembatal puasa adalah sebagai berikut.

1. Bersetubuh suami-istri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa. Adapun kafarah untuk poin ini adalah sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kesepuluh

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكْتُ. قَالَ: مَا لَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا. فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ، وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ. قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أَنَا. قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ. ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib, dari Az Zuhriy, ia berkata: telah mengabarkan kepada saya Humaid bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah RA, ia berkata: Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau lalu berkata, ”Wahai Rasulullah, saya binasa.“ Beliau bertanya, ”Ada apa engkau?” Ia berkata, ”Saya menyetubuhi istri saya diwaktu puasa (Ramadan).” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ”Apakah kamu mempunyai budak yang bisa kamu merdekakan?” Ia menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Apakah kamu mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, “Apakah kamu dapat memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia berkata, “Tidak.” (Abu Hurairah) berkata: Lalu orang tersebut diam di sisi Nabi SAW. Ketika kami dalam keadaan demikian itu tiba-tiba dibawakan satu ‘araq kurma kepada Nabi SAW. Adapun ‘araq maksudnya adalah miktal (keranjang). Beliau bersabda, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Ia menjawab, “Saya.” Beliau bersabda, “Ambillah ini dan sedekahkanlah.” Ia berkata kepada beliau, “Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada saya, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua tepian kota Madinah (yang ia maksud dua tanah berbatu hitam), tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluarga saya.” Maka Nabi SAW tertawa sehingga tampak gigi taring beliau. Kemudian beliau bersabda, “Berikan makan keluargamu dengan kurma itu.” (HR. Bukhari, no. 1800).

 

Sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa kafarah orang yang bersetubuh suami-istri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa Ramadan adalah memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarah tersebut dilakukan secara berurutan. Maksudnya adalah kafarah yang ditempuh pertama kali adalah memerdekakan budak, bila tidak mampu maka melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Apabila tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, maka hendaknya membayar kafarah dengan cara memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.

 

2. Makan dan minum dengan sengaja (termasuk merokok). Adapun kafarah untuk poin ini adalah sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kesebelas

تعليقًا بصيغة التمريض، فقال: ويُذْكَرُ عن أبي هريرة رَفَعَهُ: مَنْ أًفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ - مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ - لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ، وَإِنْ صَامَهُ. هذا الحديث ذكره البخاري في صحيحه (2/ 683).

Artinya: Komentar dengan bentuk kata tamridh (dikatakan …), ia mengatakan: dan disebutkan dari Abu Hurairah ia merafa’kannya (ia mengatakan dari Nabi SAW), “Barangsiapa berbuka satu hari pada bulan Ramadan tanpa halangan dan bukan karena sakit, maka tidak bisa diganti dengan puasa selamanya, jika dia akan melakukannya.” (Hadis ini disebutkan oleh Al Bukhari dalam Sahihnya [2/683]).

 

Hadis Keduabelas

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ سَعِيدٍ الرَّهَاوِيُّ، ثنا عَبَّاسُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، ثنا عَمَّارُ بْنُ مَطَرٍ، ثنا قَيْسٌ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ مَرَضٍ وَلَا رُخْصَةٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ. الدارقطني

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ahmad bin Sa'id Ar-Ruhawi, telah  menceriiakan kepada kami Abbas bin Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Ammar bin Mathar, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Amru bin Murrah, dari Abdullah bin Al Harits, dari Abdullah bin Malik, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa berbuka sehari dari bulan Ramadan tanpa ada alasan sakit dan juga keringanan, maka puasa sepanjang masa tidak dapat menggantikannya." (HR. Daruquthni, no. 2381).

Keterangan: Rawi yang bernama Ammar bin Mathar dikomentari dla’if oleh Abu Bakr Al Baihaqi dan Ad-Daruquthni, Abu Hatim Ar Razzi mengomentari pembohong.

 

Hadis Ketigabelas

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنِ ابْنِ الْمُطَوِّسِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ مِنَ اللَّهِ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ ، وَإِنْ صَامَهُ. عبد الرزاق

Artinya: Dari Ats-Tsauri, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Ibnu Al Muthawis, dari Bapakku (Al Muthawis), dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berbuka satu hari pada bulan Ramadan tanpa rukhsah (tanpa halangan dan bukan karena sakit) yang diberikan Allah, maka tidak bisa diganti dengan puasa selamanya, jika dia akan melakukannya.” (HR. Abdurrazzaq, no. 7272).

Keterangan: Terkait rawi yang bernama Al Muthawis dikomentari majhul oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.

 

Hadis Keempatbelas

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ ابْنِ الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِيهِ الْمُطَوِّسِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَمْ يُجْزِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ. ابن ماجه

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhammad, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Habib bin Abu Tsabit, dari Ibnul Muthawwis, dari Bapaknya Al Muthawwis, dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berbuka satu hari di bulan Ramadan tanpa uzur yang dibolehkan, maka hal itu tidak dapat diganti meskipun puasa satu tahun." (HR. Ibnu Majah, no. 1662).

Keterangan: Terkait rawi yang bernama Al Muthawis dikomentari majhul oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.

 

Meskipun hadis di atas tidak shahih karena ada rawi yang bernama Al Muthawis, tetapi shahih maknanya. Selain itu terdapat hadis dari Al Bukhari yang artinya “Barangsiapa berbuka satu hari pada bulan Ramadan tanpa halangan dan bukan karena sakit, maka tidak bisa diganti dengan puasa selamanya, jika dia akan melakukannya.” Puasa Ramadan adalah wajib. Sementara itu apabila kewajiban tidak dilaksanakan maka memperoleh dosa. Hikmah yang kita ambil adalah kita tidak boleh meninggalkan puasa Ramadan tanpa sebab yang dibenarkan oleh agama. Bila hadis di atas benar adanya, maka kafarah meninggalkan puasa Ramadan tanpa sebab yang dibenarkan oleh agama itu tidak dapat diganti dengan puasa meski dilakukan selamanya. Pada hadis lain diinformasikan tidak dapat diganti dengan puasa meski dilakukan setahun penuh. Namun demikian beda dengan orang yang tidak sengaja makan atau minum ketika melaksanakan puasa Ramadan. Bagi yang tidak sengaja, maka diangkat penanya dan tetap melanjutkan puasa hingga berbuka. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kelimabelas

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا ابْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdan, telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Zurai', telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apabila seseorang sedang berpuasa, lalu lupa sehingga makan dan minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya. Hanyasanya Allah memberikan makan dan minum kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 1797)

 

Demikianlah berbagai dalil ataupun pelajaran yang bisa menjadi acuan kita dalam ibadah puasa. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita semuanya mampu melaksanakan puasa dengan baik dan istiqamah sebagai upaya kita meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.

No comments:

Post a Comment