Umat Islam yang berhalangan berpuasa di bulan Ramadhan dikarenakan sebab tertentu hendaknya menggantinya dengan puasa qada. Supaya memahami tentang puasa qada (kadang ada yang menulisnya qadha atau qadla), pada kesempatan kali ini akan membahas tentang: (a) pengertian puasa qada; (b) hukum puasa qada; (c) sebab adanya puasa qada; (d) waktu pelaksanaan puasa qada; dan (e) tata cara puasa qada.
A. Pengertian Puasa Qada
Puasa disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Puasa juga berarti salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Sementara qada menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan kewajiban ibadah di luar waktu yang telah ditentukan. Melalui kata pengertian tersebut diperoleh pengertian bahwa puasa qada adalah puasa yang wajib ditunaikan dengan sebab berbuka dalam bulan Ramadan karena ada uzur yang diperbolehkan oleh syara’ seperti safar, sakit, atau disebabkan haid dan nifas.
B. Hukum Puasa Qada
Hukum puasa qada adalah wajib. Hal tersebut mengingat puasa qada merupakan puasa sebagai ganti puasa Ramadan yang ditinggalkan. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum puasa Ramadan adalah fardu ‘ain. Dalil puasa qada yang merupakan puasa sebagai ganti puasa Ramadan yang ditinggalkan adalah sebagai berikut.
Dalil Al-Qur’an Pertama
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. البقرة: 184-185
Artinya: (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,51) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [184] Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur [185]. (QS. Al Baqarah: 184-185).
Catatan: 51) Siapa yang memberi makan kepada lebih dari seorang miskin untuk sehari, itu lebih baik.
C. Sebab Adanya Puasa Qada
Puasa qada wajib dilaksanakan bagi orang Islam yang meninggalkan puasa Ramadan disebabkan oleh hal yang dibenarkan agama. Apabila seseorang tidak meninggalkan puasa Ramadan dikarenakan suatu hal yang dibenarkan agama, maka seseorang tersebut tidak boleh mengerjakan puasa qada. Orang yang wajib melaksanakan puasa qada adalah orang yang tergolong boleh meninggalkan puasa Ramadan.
1. Orang yang Boleh Tidak Berpuasa dan Wajib Mengganti di Hari yang Lain (Qada)
Orang yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari-hari yang lain bagi orang-orang yang termasuk kategori berikut.
a. Orang sakit yang apabila tetap berpuasa akan menambah berat atau akan memperlambat kesembuhan sakitnya. Sedangkan sakitnya itu dapat diharapkan kesembuhannya (bukan sakit yang menahun atau sakit yang kronis dan terus-menerus sehingga sulit diharapkan kesembuhannya).
b. Musafir ialah orang yang sedang bepergian keluar dari daerah ikamahnya, baik dengan perjalanan yang berat dan sukar maupun dengan ringan dan mudah. Kesemuanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi berkewajiban mengganti di hari yang lain. Tentang berapa kilometer jauhnya seseorang disebut sebagai musafir itu tidak ada penjelasan yang tegas dari Nabi SAW, tetapi yang jelas beliau bepergian dari Madinah ke Makah. Ketika baru sampai di Dzul Hulaifah beliau sudah mengqasar salat, sedangkan jarak dari Madinah sampai Dzul Hulaifah itu kira-kira 6 mil (kira-kira 12 km). Pembahasan mengenai jarak musafir dapat disimak dengan cara klik di sini.
2. Orang yang Wajib Tidak Berpuasa dan Wajib Mengganti dengan Puasa di Hari Lain
Agama Islam memberi aturan terhadap orang yang wajib tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti dengan puasa di hari lain. Adapun orang yang termasuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut.
1. Wanita yang haid. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.
Hadis Pertama
و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ. مسلم
Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Ashim, dari Mu'adzah, ia berkata: "Saya bertanya kepada ‘Aisyah seraya berkata: 'Mengapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa dan tidak mengqada salat?' Maka ‘Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah?' Aku menjawab, 'Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia (‘Aisyah) menjawab, 'Kami dahulu juga mengalami (haid), maka kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada salat'." (HR. Muslim, no. 508).
Hadis Kedua
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدٌ عَنْ عِيَاضٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا. البخاري
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, ia berkata: telah menceritakan kepada saya Zaid, dari 'Iyadh, dari Abu Sa'id (Al Kudri) RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: "Bukankah apabila seorang wanita itu haid, ia tidak salat dan tidak berpuasa? Itulah dari kekurangan agamanya." (HR. Bukhari, no. 1815).
2. Wanita yang sedang nifas. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.
Hadis Ketiga
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ الْوَلِيدِ أَبُو بَدْرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ أَبِي سَهْلٍ عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتْ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَكُنَّا نَطْلِي وُجُوهَنَا بِالْوَرْسِ مِنْ الْكَلَفِ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَهْلٍ عَنْ مُسَّةَ الْأَزْدِيَّةِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ وَاسْمُ أَبِي سَهْلٍ كَثِيرُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى ثِقَةٌ وَأَبُو سَهْلٍ ثِقَةٌ وَلَمْ يَعْرِفْ مُحَمَّدٌ هَذَا الْحَدِيثَ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَهْلٍ وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي فَإِذَا رَأَتْ الدَّمَ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ فَإِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا لَا تَدَعُ الصَّلَاةَ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ وَيُرْوَى عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ إِنَّهَا تَدَعُ الصَّلَاةَ خَمْسِينَ يَوْمًا إِذَا لَمْ تَرَ الطُّهْرَ وَيُرْوَى عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالشَّعْبِيِّ سِتِّينَ يَوْمًا. الترمذي
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Syuja' bin Al Walid Abu Badr, dari Ali bin Abdul A'la, dari Abu Sahl, dari Mussah Al Azdiah, dari Ummu Salamah, ia berkata: “Adalah wanita-wanita yang nifas di zaman Rasulullah SAW duduk (tidak salat) selama empat puluh hari dan kami memakai pilis pada wajah-wajah kami dengan waras (sejenis tumbuh-tumbuhan) berwarna merah kehitaman.” Abu Isa berkata: "Ini adalah hadis gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Abu Sahl, dari Mussah Al Azdiah, dari Ummu Salamah." Dan nama Abu Sahl adalah Katsir bin Ziyad. Dalam hal ini Muhammad bin Isma'il berkata: "Ali bin Abdul A'la dan Abu Sahl adalah orang yang terpercaya." Dan Muhammad tidak mengetahui hadis ini kecuali dari hadis Abu Sahl. Para ulama telah sepakat bahwa para sahabat Nabi SAW, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka telah sepakat, bahwa wanita yang habis melahirkan (nifas) boleh meninggalkan salat selama empat puluh hari, kecuali jika ia telah suci sebelum itu, maka ia harus mandi dan salat. Apabila ia melihat darah setelah empat puluh hari, maka sebagian ulama berkata: "Ia tidak boleh meninggalkan salat setelah empat puluh hari." Ini adalah pendapat sebagian besar fuqaha seperti Sufyan Ats Tsauri, bin Al Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Dan diriwayatkan pula dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata: "Sesungguhnya wanita yang habis melahirkan (nifas), ia tidak salat selama lima puluh hari jika ia tidak melihat bahwa ia telah suci." Dan diriwayatkan pula dari 'Atha bin Abu Rabah dan Asy Sya'bi: yaitu enam puluh hari." (HR. Tirmidzi, no. 129).
Keterangan: Sebagaimana disebutkan bahwa wanita yang sedang nifas saja tidak boleh salat, apalagi berpuasa.
D. Waktu Pelaksanaan Puasa Qada
Ada dua pandangan soal puasa qada. Pandangan pertama menyebutkan bahwa puasa qada bisa dilakukan dengan batas waktu selama satu tahun sebelum Ramadan berikutnya. Sementara pandangan kedua menyebut bahwa puasa qada bisa dilakukan kapan saja tanpa batas waktu. Penulis lebih condong pada pandangan kedua. Hal tersebut karena terkait batas waktu mengganti tidak ada ketentuan dalam agama tentang batas waktu mengganti puasa yang ditinggalkan. Oleh sebab itu, puasa dapat dilaksanakan pada bulan-bulan sesudah selesai Ramadan tahun itu atau bulan-bulan sesudah Ramadan tahun berikutnya. Tegasnya selama masih hidup, kapanpun boleh, tanpa menambah fidyah atau melipat gandakan puasanya (misalnya hutang satu hari diganti dua hari dan sebagainya). Hanya sebaiknya segera diganti. Puasa qada hendaknya tidak dilaksanakan di hari-hari yang dilarang berpuasa.
E. Tata Cara Puasa Qada
Tata cara puasa qada sebagaimana tata cara puasa Ramadan. Tata cara puasa qada adalah dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, termasuk merokok, dan bersetubuh, dari mulai fajar hingga terbenam matahari karena mencari rida Allah. Adapun syarat dan rukun puasa sebagaimana puasa Ramadan. Penjelasan syarat dan rukun puasa dapat disimak dengan cara klik di sini.
Demikianlah berbagai dalil ataupun pelajaran yang bisa menjadi acuan kita dalam ibadah puasa. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita semuanya mampu melaksanakan puasa dengan baik dan istiqamah sebagai upaya kita meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.
No comments:
Post a Comment