Monday, May 22, 2023

Puasa Nazar



Umat Islam ketika mengarungi romantika kehidupan itu terkadang melakukan nazar. Tidak luput juga dari sekian opsi nazar adalah puasa nazar. Supaya memahami tentang puasa nazar (kadang ada yang menulisnya nadzar), pada kesempatan kali ini akan membahas tentang: (a) pengertian puasa nazar; (b) hukum puasa nazar; (c) kafarat nazar; (d) waktu pelaksanaan puasa nazar; (e) tata cara puasa nazar; dan (f) orang yang suka bernazar itu biasanya orang bakhil.

 

A. Pengertian Puasa Nazar

Puasa disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Puasa juga berarti salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Sementara nazar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti janji (pada diri sendiri) hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai. Nazar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah menyanggupi melakukan ibadah (qurbah; mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (fardu ‘ain) bagi seseorang. Sementara itu, puasa nazar adalah puasa yang difardukan sendiri oleh seseorang muslim atas dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, puasa nazar adalah puasa yang dilakukan untuk memenuhi janji untuk menghendaki suatu tujuan tertentu.

 

B. Hukum Puasa Nazar

Nazar wajib ditunaikan menurut nazar yang dinazarkan oleh seorang muslim. Allah SWT tahu atas segala sesuatu yang dinazarkan hamba-Nya. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Pertama

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ نَّفَقَةٍ اَوْ نَذَرْتُمْ مِّنْ نَّذْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُهٗ ۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ. البقرة: 270

Artinya: Infak apa pun yang kamu berikan atau nazar apa pun yang kamu janjikan sesungguhnya Allah mengetahuinya. Bagi orang-orang zalim tidak ada satu pun penolong (dari azab Allah). (QS. Al Baqarah: 270).

 

Nazar ini ada yang harus dipenuhi dan ada nazar yang tidak boleh dipenuhi. Nazar yang harus dipenuhi adalah nazar yang termasuk dalam koridor kebaikan dan menjadi maslahat bagi yang menazarkan. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Pertama

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, telah menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin Abdul Malik dari Al Qasim dari 'Aisyah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia taat kepada-Nya. Dan barangsiapa bernazar untuk maksiat kepada-Nya, maka janganlah ia maksiat kepada-Nya." (HR. Bukhari, no. 6202).

 

Sementara itu, terdapat nazar yang tidak boleh dilaksanakan. Hal tersebut meliputi nazar yang mengarah pada perbuatan syirik, maksiat, dan justru tidak jadi maslahat (mudarat) bagi orang yang bernazar. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kedua

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ. فَسَأَلَ عَنْهُ. فَقَالُوا: أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ.قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Sewaktu Nabi SAW berkhotbah, tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri di terik matahari. Maka beliau menanyakannya. Sahabat menjawab, “Dia Abu Israil yang bernazar untuk berdiri, tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan ia berpuasa.” Beliau bersabda, “Suruhlah dia berbicara, berteduh, duduk, dan hendaklah dia menyempurnakan puasanya.” Abdul Wahhab mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Nabi SAW. (HR. Bukhari, no. 6210).

 

Di antara nazar yang ada adalah berpuasa. Oleh sebab itu, apabila seseorang bernazar untuk berpuasa, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasanya. Apabila nazar puasa maupun nazar yang lainnya (bukan termasuk kesyirikan, maksiat, atau mudarat) itu tidak mampu dilaksanakan, maka hendaknya membayar kafarat nazar.

 

C. Kafarat Nazar

Apabila seorang muslim bernazar, lalu ia tidak mampu melaksanakan nazar maka hendaknya ia membayar kafarat. Adapun kafarat nazar sepertihalnya kafarat sumpah. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ketiga

حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى قَالَ يُونُسُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ كَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ. مسلم

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa'id Al Aili dan Yunus bin Abdul A'la dan Ahmad bin Isa, Yunus berkata: telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua orang mengakatan: telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab, telah mengabarkan kepadaku 'Amru bin Al Harits dari Ka'b bin 'Alqamah dari Abdurrahman bin Syimasah dari Abu Al Khair dari 'Alqamah bin 'Amir dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Kafarat nazar itu sama dengan kafarat sumpah.” (HR. Muslim, no. 3103).

 

Sebagaimana diterangkan dalam hadis, kafarat nazar itu sama dengan kafarat sumpah. Adapun kafarat sumpah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 89. Ayat tersebut menjelaskan kafarat sumpah sebagai berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Kedua

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. المائدة: 89

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah: 89).

 

Tafsir Ringkas Kemenag RI menerangkan bahwa ayat ini menjelaskan macam-macam kafarat atau denda bagi siapa saja yang melanggar sumpah yang diucapkan secara sadar dan sengaja. Namun demikian, kafarat ini tidak berlaku bagi sumpah yang tidak disengaja. Allah tidak akan menghukum kamu, wahai orang beriman, disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja untuk diucapkan, seperti perkataan, “Tidak, demi Allah,” atau “Benar, demi Allah,” tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Jika kamu dalam mengucapkan sumpah itu benar benar bermaksud untuk bersumpah, maka kafaratnya, denda pelanggaran sumpah supaya dosa sumpahmu diampuni oleh Allah, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, baik yang kamu kenal maupun tidak, yaitu dari jenis makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, baik dari segi jumlah maupun jenis makanannya, atau memberi mereka pakaian baru maupun layak pakai, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa tidak mampu melakukannya, salah satu dari tiga pilihan kafarat tersebut, maka kafaratnya berpuasalah tiga hari dengan ikhlas sambil berharap agar Allah mengampuni dosa sumpah yang pernah diucapkannya. Itulah ketentuan Allah tentang kafarat sumpah-sumpahmu, apabila kamu benar-benar bersumpah dengan sengaja. Dan jagalah sumpahmu supaya kamu tidak mudah bersumpah, apalagi bersumpah palsu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukumNya tentang sumpah kepadamu agar kamu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kamu.

 

Apabila tidak mampu melakukan memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak, maka bisa diganti dengan puasa tiga hari. Kafarat yang dilakukan pada Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 89 itu dilaksanakan secara berurutan, bila yang pertama yaitu memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin tidak bisa, maka hendaknya memerdekakan seorang budak. Bila kesemuanya itu tidak bisa, maka hendaknya berpuasa tiga hari.

 

Hadis Keempat

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ قَالَ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زَحْرٍ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أُخْتٍ لَهُ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ حَافِيَةً غَيْرَ مُخْتَمِرَةٍ فَقَالَ مُرُوهَا فَلْتَخْتَمِرْ وَلْتَرْكَبْ وَلْتَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ. حَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ كَتَبَ إِلَيَّ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زَحْرٍ مَوْلًى لِبَنِي ضَمْرَةَ وَكَانَ أَيَّمَا رَجُلٍ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الرُّعَيْنِيَّ أَخْبَرَهُ بِإِسْنَادِ يَحْيَى وَمَعْنَاهُ. أبي داود

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Qaththan, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Sa'id Al Anshari, telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Zahr bahwa Abu Sa'id telah mengabarkan kepadanya bahwa Abdullah bin Malik telah mengabarkan kepadanya bahwa 'Uqbah bin 'Amir telah mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang saudara perempuannya yang bernazar untuk naik haji tanpa beralas kaki dan tanpa tutup kepala. Maka beliau bersabda, “Suruhlah dia memakai tutup kepala, dan supaya berkendaraan. Dan hendaklah ia berpuasa tiga hari.” Telah menceritakan kepada kami Makhlad bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata: Yahya bin Sa'id telah menulis surat kepadaku: telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Zahr mantan budak Bani Dlamrah bahwa Abu Sa'id Ar Ru'aini telah mengabarkan kepadanya dengan sanad Yahya dan maknanya. (HR. Abu Dawud, no. 2865).

Keterangan: Terkait rawi yang bernama ‘Ubaidullah bin Zahr merupakan kalangan tabi'in (tidak jumpa Sahabat). Komentar ulama tentangnya diantaranya Abu Zur'ah mengatakan la ba`sa bih, An Nasa'i mengatakan laisa bihi ba`s, Abu Hatim mengatakan layyinul hadits, Ad Daruquthni mengatakan dla'if, Adz Dzahabi mengomentari diperselisihkan, Ibnu Hajar mengomentari "shuduq, tedapat kesalahan."

 

Seandainya hadis tersebut benar adanya, maka Nabi SAW menyuruh wanita tersebut untuk berpuasa tiga hari sebagai kafarah nazar. Padahal puasa itu dibolehkan apabila seseorang sudah tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Hadis tersebut bisa dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan begitu bisa juga karena beliau sudah mengetahui bahwa wanita itu tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan seorang budak.

 

D. Waktu Pelaksanaan Nazar

Waktu pelaksanaan nazar hendaknya dilakukan saat seseorang bernazar akan menunaikan ibadah tertentu dengan penyebutan secara umum, maka yang wajib ia lakukan adalah sebatas sesuatu yang dapat dinamai sebagai perbuatan ibadah tersebut. Hal itu mencakup juga puasa nazar. Ketentuan waktu puasa nazar disesuaikan dengan waktu puasa terkait. Terkait durasi waktu, sebagaimana puasa pada umumnya, yaitu dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Selama durasi tersebut ia mesti mencegah dari hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana puasa-puasa lain.

 

E. Tata Cara Puasa Nazar

Tata cara puasa nazar sebagaimana tata cara puasa Ramadan. Tata cara puasa nazar adalah dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, termasuk merokok, dan bersetubuh, dari mulai fajar hingga terbenam matahari karena mencari rida Allah. Adapun syarat dan rukun puasa sebagaimana puasa Ramadan. Penjelasan syarat dan rukun puasa dapat disimak dengan cara klik di sini.

 

F. Orang yang Suka Bernazar Itu Biasanya Orang Bakhil

Orang yang suka bernazar itu biasanya adalah orang bakhil. Hal tersebut sebagaimana hadis-hadis berikut.

 

Hadis Kelima

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. مسلم

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abu Hakim dari Sufyan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda, “Nazar itu tidak bisa menyegerakan sesuatu dan tidak bisa mengundurkannya. Sesungguhnya dengan nazar itu dikeluarkan sesuatu dari orang yang bakhil.” (HR. Muslim, no. 3094).

 

Hadis Keenam

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّذْرِ وَقَالَ إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Abdullah bin Murrah dari Ibnu 'Umar RA, ia berkata: Nabi SAW melarang dari bernazar. Beliau bersabda, "Sesungguhnya nazar itu tidak bisa menolak sesuatu, dan hanyasanya dengan nazar itu sesuatu dikeluarkan dari orang yang bakhil." (HR. Bukhari, no. 6118).

 

Hadis Ketujuh

و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَنْذِرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنْ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. مسلم

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, yaitu Ad Darawardi, dari Al 'Ala' dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian bernazar, karena sesungguhnya nazar itu tidak bisa merubah takdir sedikitpun. Dan sesungguhnya dengan nazar itu dikeluarkan sesuatu dari orang yang bakhil.” (HR. Muslim, no. 3096).

 

Sebagaimana diterangkan dalam hadis, larangan Rasulullah SAW ini bukan larangan haram, tetapi makruh. Hal tersebut karena Rasulullah SAW tidak pernah membatalkan nazar-nazar, dan beliau tidak mengatakan bahwa orang yang bernazar itu berdosa. Bahkan Rasulullah SAW menyuruh membayar kafarat kepada orang yang tidak menyempurnakan nazarnya. Hal ini memberi arti bahwa nazar itu diperbolehkan. Sementara itu, orang yang bernazar dikatakan bakhil karena untuk mengerjakan kebaikan saja mengapa dengan syarat bila keinginannya terlaksana? Contohnya nazar: “Saya bernazar, bila saya dikaruniai anak laki-laki, saya akan menyumbang untuk madrasah ini sekian. Maka apabila ia benar dikaruniai anak laki-laki, wajiblah ia menyumbang madrasah tersebut.”

 

Demikianlah berbagai dalil ataupun pelajaran yang bisa menjadi acuan kita dalam ibadah puasa. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita semuanya mampu melaksanakan puasa dengan baik dan istiqamah sebagai upaya kita meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.


No comments:

Post a Comment