Secara harfiah, Alquran berarti bacaan yang sempurna. Arti tersebut adalah pilihan Allah SWT yang tepat karena tidak ada bacaan sejak manusia mengenal tulisan yang dapat menandingi Alquran dalam hal jumlah pembacanya. Alquran merupakan kitab samawi terakhir dan diturunkan kepada nabi yang terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW, dan sekaligus merupakan rahmat bagi seluruh alam. Umat Islam yang jumlahnya satu miliar lebih di seluruh penjuru dunia dengan beragam bangsa dan bahasa berkeinginan untuk mampu membaca Alquran, sekaligus memahami dan mengamalkan isi Alquran. Oleh sebab itu, para cendekiawan dan ulama berusaha menterjemahkan Alquran ke dalam berbagai bahasa untuk membantu umat Islam yang belum mampu memahami Alquran secara langsung. Namun demikian keinginan umat Islam dan usaha para cendekiawan dan ulama belum bisa terpenuhi karena beberapa faktor.
Adapun faktor yang menghambat upaya penterjemahan Alquran diantaranya adalah adanya berbagai persoalan teknis yang rumit dan pembiayaan yang tergolong mahal pada waktu dulu. Selain itu juga terhambat dengan fatwa para ulama yang menyatakan secara tegas menolak gagasan menterjemahkan Alquran. Namun secara diam-diam, orang-orang Barat atau Eropa justru menterjemahkan Alquran. Pertama kalinya Alquran diterjemahkan sekitar abad ke-12 Masehi atau sekitar tahun 1145-1146. Alquran pada masa itu diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Melalui bahasa tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa Prancis, Inggris, Jerman, dan Belanda. Hingga masa kini, terjemahan Alquran dirasakan manfaatnya sangat besar bagi umat Islam non Arab, terutama bagi yang belum mengerti bahasa Arab. Melalui terjemahan, orang-orang yang belum mengerti bahasa Arab bisa memahami isi Alquran secara garis besar. Oleh karenyanya, pembukuan terjemahan Alquran dilakukan oleh orang-orang yang betul menguasai bahasa Arab dan dapat dipercaya pengetahuan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Perhatian para cendekiawan kepada terjemah Alquran semakin berkembang dan merata hampir di seluruh penjuru dunia yang diperkirakan mencapai 80 bahasa. Hal tersebut tidak terkecuali di Indonesia.
Alquran juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak dahulu menaruh perhatian besar terhadap terjemahan Alquran. Terjemah secara harfiah berarti memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain. Adapun terjemah berarti salinan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sementara itu secara etimologis, terjemah berarti menerangkan atau menjelaskan (menerangkan suatu pembicaraan dengan menjelaskan maksudnya). Menurut Muhammad Husein Adz Dzahabi, kata terjemah digunakan dalam dua pengertian, yaitu: (1) mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya dengan tidak menerangkan makna bahasa asal yang diterjemahkan; dan (2) menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa lainnya. Sebagaimana pengertian terjemah tersebut sehingga dapat dibagi menjadi dua macam terjemah, yaitu terjemah harfiah dan terjemah tafsiriah.
Terjemah harfiah (lafdziah) yaitu penterjemahahan yang dilakukan apa adanya sebagaimana susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan tersebut dilakukan dengan menterjemahkan kata per kata. Sedangkan terjemah tafsiriah (maknawiyah) yaitu terjemahan yang mengedepankan maksud atau isi kandungan dalam bahasa asli yang diterjemahkan. Terjemah tafsiriah tidak terlalu terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Alquran terjemahan sebagaimana tafsir Alquran. Namun demikian perlu diingat bahwa terjemah tafsiriah berbeda dengan penafsiran. Perbedaannya terletak pada: (1) bahasa yang digunakan dalam penafsiran bisa dikatakan sama dengan bahasa aslinya; (2) terjemah tafsiriah tidak mudah dilacak apabila ada keraguan atau adanya hal yang kurang tepat di dalamnya. Penterjemahan Alquran banyak dilakukan mutarjim, tidak terkecuali di Indonesia.
Tarjuman Al MustafÄ«d karya ‘Abd ar-Rauf as-Sinkili yang merupakan tafsir Al-Qur’an pertama di Nusantara. Tafsir tersebut ditulis ketika ‘Abd ar-Rauf as-Sinkili menjadi penasihat di kerajaan Aceh. As-Sinkili hidup dalam enam periode kesultanan Aceh, yaitu periode: (1) Sultan Iskandar Muda (1607-1636); (2) Sultan Iskandar Tsani (1636-1640); (3) Sultanah Taj al-‘Alam Safiyat al-Din Syah (1641- 1675); (4) Sri Sultan Nur Alam Nakiyat ad-Din Syah (1675-1678), (5) Sultanah Inayat Syah Zakiyat ad-Din Syah (1678-1688); dan (6) Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Empat penguasa terakhir adalah sultanah perempuan, yang di dalam kesultanannya, As-Sinkili menjadi mufti. Apabila dikatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan karya as-Sinkili yang ditulis pada 1675 M, maka berarti karya tersebut ditulis pada akhir kekuasaan Sultanah al-Alam dan atau awal kekuasaan Sri Sultan Nur al-Alam.
Terjemah Alquran di Indonesia dilakukan ke berbagai aksara dan bahasa daerah. Selain terjemah Alquran yang dilakukan dari aksara dan bahasa Arab ke aksara dan bahasa daerah, tentu bahasa Indonesia dan aksara Latin menjadi pilihan umum oleh para penulis tafsir Alquran di Indonesia. Hal tersebut terutama terjadi setelah peristiwa Sumpah Pemuda yang menggerakkan bangsa Indonesia membangun kesadaran bahwa perlunya persatuan yang salah satunya diwujudkan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Diantaranya karya tafsir yang ditulis dengan memakai bahasa Indonesia adalah Tafsir Al-Furqan karya A. Hasan, Tafsir Alquran Al-Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir Al-Azhar karya Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Munir dan Tafsir Al-Bayan karya Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry, Tafsir Gelombang Tujuh karya KH. Abdullah Thufail Saputra, Alquran dan Tafsirnya karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia, dan Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. Bahasa Indonesia dipilih oleh para penulis tafsir dalam penulisan karya tafsirnya. Hal tersebut dengan pertimbangan praktisnya adalah karena bahasa Indonesia bisa menjangkau audien dan pembaca lebih luas di tengah masyarakat Muslim Indonesia.
Sebagaimana disebutkan tadi bahwa Tim Departemen Agama Republik Indonesia menerbitkan Alquran terjemah. Hal tersebut merupakan respon positif Pemerintah Indonesia akan kebutuhan umat Islam akan Alquran terjemahan. Pada Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama, penerjemahan Alquran termasuk salah satu proyek yang diprioritaskan. Hal tersebut tercantum dalam Ketetapan MPRS nomor XI tahun 1960 pasal 2 dan Pola Proyek I Golongan AA 7 Bidang Terjemah Kitab Suci Alquran.
Sebagai tidak lanjut Ketetapan MPRS, pada tahun 1962 Kementerian Agama membentuk Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kitab Suci Alquran. Lembaga tersebut berhasil menerbitkan terjemahan Alquran Kementerian Agama untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1965. Terjemahan Alquran versi pertama diresmikan oleh Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri. Alquran terjemahan tersebut dicetak dalam 3 jilid, setiap jilid berisi 10 juz. Pada tahun 1971 terjemahan Alquran edisi tahun 1965 mengalami sedikit penyempurnaan di beberapa bagian sehingga kemudian dicetak menjadi satu jilid sehingga terlihat cukup tebal. Adapun Alquran terjemah edisi tahun 1965 sekitar 1294 halaman. Cetakan edisi tersebut diberi judul “Al-Qur’an dan Terjemahnya”. Pada tahun 1989, Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashih Mushaf Alquran melakukan kajian penyempurnaan Alquran dan Terjemahnya. Penyempurnaan pertama kali tersebut tidak menyeluruh, hanya fokus pada penyempurnaan redaksi yang waktu itu dianggap kurang sesuai lagi dengan bahasa indonesia. Tim dipimpin oleh ketua Lajnah saat itu, yakni Drs. H.A. Hafidz Dasuki, MA. Pada tahun 1990 hasil penyempurnaan juga diterbitkan oleh pemerintah Saudi Arabia. Pemerintah Saudi membagikan secara gratis Alquran dan Terjemahnya kepada jamaah haji indonesia, sebelum kembali ke tanah air. Penyempurnaan kedua dilakukan oleh Kementerian Agama pada tahun 1998 hingga tahun 2002.
Penyempurnaan kedua lebih menyeluruh, sehingga memerlukan waktu sekitar 4 tahun. Perbaikan yang dilakukan meliputi empat aspek pokok, antara lain: (1) aspek bahasa; (2) aspek konsistensi; (3) aspek substansi; dan (4) aspek transliterasi yang mengacu pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987. Beberapa ulama yang menjadi anggota tim penyempurna antara lain: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, Prof. Dr. KH. Sayid Agil Husin al-Munawwar, MA dan Prof. Dr. H. A. Baiquni. Ketika itu Lajnah masih dipimpin oleh Drs. H.A. Hafizh Dasuki, MA. Tahap akhir kajian dilakukan pada masa Lajnah dipimpin oleh Drs. H. Fadhal Bafadal, M.Sc. dengan anggota tim antara lain: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA, Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’kub, MA (alm) dan pakar lainnya. Alquran dan Terjemahnya edisi tahun 2002 terlihat lebih tipis dibandingkan edisi tahun 1990.
Cetakan edisi tahun 2002 merupakan hasil penyempurnaan sehingga dari 1294 halaman menjadi 924 halaman. Menjadi lebih tipis karena berkurang 370 halaman. Selain karena sistem terjemahan edisi 2002 lebih singkat, juga ada beberapa bagian yang dihilangkan, seperti bagian pembukaan dan footnote. Setelah 14 tahun berlalu, menindaklanjuti rekomendasi Mukernas Ulama Alquran tahun 2015, Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran melakukan kajian penyempurnaan ke-3 pada tahun 2016.
Apakah Al-qur'an dan terjemahnya yang dicetak tahun 1990 itu masih kita dapatkan versi E-booknya...?
ReplyDelete