Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Sebagai kaum muslimin dan muslimat yang baik,
kita sudah semestinya ittiba’ atau meneladani dan mencontoh Rasulullah
SAW. Bagian ittiba’ yang bisa kita lakukan pada tahap awal-awal adalah
dengan mempelajari sejarah Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW merupakan nabi
sekaligus rasul penutup. Nabi Muhammad-lah yang menjadi panutan bagi kaum
muslim di seluruh dunia, termasuk kita. Sebagai seorang muslim kita juga
diwajibkan untuk menuntut ilmu, termasuk diantaranya adalah di bidang tarikh.
Allah SWT telah berfirman didalam Surat An Nisa’ ayat 115:
وَمَن يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا. النسآء: 115
115. Dan
barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam
neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali. [QS. An Nisa’: 115]
Dari
beberapa hal yang menegaskan kepada kita, sudah semestinya kita menunaikan
kewajiban menuntut ilmu dan ittiba’ kepada Rasulullah secara sukarela.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Silsilah Nabi Muhammad SAW baik dari ayahnya
maupun ibunya yang ada sandaran adalah sampai kepada ‘Adnan. Pada kenyataannya,
‘Adnan adalah keturunan Nabi Ismail AS, putra Nabi Ibrahim AS. Namun dari Nabi
Ismail sampai ke ‘Adnan secara rinci satu per satu tidak tercatat secara jelas
dalam kitab-kitab tarikh.
Menurut silsilah pribadi Nabi Muhammad SAW,
dari pihak ayah dan ibunya ada suatu silsilah yang bila dirunut sampai pada
nenek yang kelima dari pihak ayah. Beliau adalah Kilab bin Murrah yang
mempunyai dua anak lelaki. Kedua putra Kilab bin Murrah bernama Qushayyi
dan Zuhrah. Qushayyi yang kelak menurunkan Abdullah dan Zuhrah yang
kelak menurunkan Aminah. Maka dapat disimpulkan bahwa Abdullah dan Aminah
berasal dari satu bangsa Quraisy, dari satu Negeri Hijaz, dan dalam keturunan
yang dekat sekali.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Pada waktu Abdullah belum dilahirkan,
ayahandanya yakni Abdul Muththalib pernah bernazar kepada berhalanya bahwa ia
akan mengorbankan anak lelakinya yang ke sepuluh kepada berhalanya. Sampai
waktunya telah tiba, lahirlah putra Abdul Muththalib yang ke sepuluh. Putra
yang ke sepuluh ini diberi nama berbeda dengan putra-putra sebelumnya seperti
Abdul Uzza yang berarti “hamba berhala Uzza”, atau Abdul Manaf yang berarti “hamba
berhala Manaf”. Namun putra yang ke sepuluh ini diberi nama Abdullah yang
berarti “hamba Allah”.
Setelah beberapa tahun, Abdul Muththalib
mendapat tanda-tanda untuk menyempurnakan nazarnya. Sebelum dilaksanakan, ia
mengumpulkan kesepuluh putranya, lalu dilakukan undian untuk menentukan siapa
yang akan dikorbankan. Jatuhlah undian itu kepada Abdullah putra kesayangannya.
Karena undian sudah jatuh ke putra kesayangannya, mau tidak mau ia harus
melaksanakannya.
Seketika kabar tersebut tersiar ke seluruh
penjuru Mekah sehingga datanglah seorang kepala agama penjaga Ka’bah untuk
menghalangi perbuatan Abdul Muththalib. Kepala agama penjaga Ka’bah melarang
Abdul Muththalib supaya kelak perbuatan Abdul Muththalib yang menyembelih
anaknya itu tidak dicontoh oleh orang banyak. Masukan itu kemudian diterima
Abdul Muththalib dan nazarnya diganti dengan penyembelihan 100 ekor unta.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Diri pribadi Abdullah bin Abdul Muththalib
adalah sebaik-baik pemuda dari bangsa Quraisy pada waktu itu. Abdullah
merupakan pemuda yang terbagus wajahnya dari bangsa Quraisy sehinga tidak
sedikit gadis-gadis mencoba menggodanya, tetapi kesopanan Abdullah tetap
terjaga. Pada masa itu juga tidak ada gadis bangsa Quraisy yang parasnya cantik
dan paling terkenal kemuliaan budi pekertinya selain Aminah. Secara singkat
dapat diceritakan bahwa Abdul Muththalib dan Wahbin semufakat untuk mengawinkan
Abdullah dan Aminah yang keduanya berusia kurang dari dua puluh tahun.
Kurang lebih setelah tiga bulan setengah
perkawinan Abdullah dengan Aminah, Abdullah pergi ke negeri Syam untuk
berdagang seperti biasanya. Pada saat itu Aminah tengah tampak hamil. Ketika
perjalanan pulang dari negeri Syam dan mencapai kota Yatsrib (Madinah),
Abdullah mendadak jatuh sakit.
Kawan-kawan Abdullah yang pulang dari negeri
Syam sudah sampai di kota Mekah, tetapi Abdullah tidak ikut serta dalam kafilah
tersebut. Abdul Muththalib yang tahu anaknya tidak ada dalam kafilah tersebut
bertanya mengapa anaknya tidak ada didalam kafilah tersebut. Teman-teman
Abdullah pun menjawab bahwa Abdullah mendadak demam di kota Yatsrib dan
Abdullah tinggal di rumah salah satu bangsa Quraisy dari Bani ‘Ady. Seketika
Abdul Muththalib menyuruh anaknya yang sulung yang bernama Harits untuk
menjemput Abdullah. Ketika Harits sampai di Yatsrib terkejut bahwa Abdullah
ternyata sudah meninggal dan dimakamkan beberapa hari yang lalu. Ketika itu
Nabi SAW tengah berada di kandungan ibunya, yakni Aminah kurang lebih tiga
bulan.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Setelah cukup sembilan bulan mengandung,
Aminah melahirkan pada waktu subuh, Hari Senin tanggal 12 bulan Rabiul Awal
tahun Fiel ke I yang bertepatan tanggal 20 April tahun 571 Masehi. Pada waktu
itu lahirlah Nabi Muhammad SAW dengan selamat di rumah ibunya di Kampung Bani Hasyim
Kota Mekah. Ketika itu yang menjadi bidan untuk merawatnya adalah Sitti Syifa’
yang merupakan ibu sahabat Abdur Rahman bin ‘Auf RA. Ibu susunya adalah
Tsuaibah lalu Halimah Binti Abi Dzuaib, kemudian yang merawat Nabi Muhammad
pada waktu itu adalah Ummu Aiman.
Ketika Abdul Muththalib sedang thawaf disekeliling
Ka’bah, tiba-tiba suruhan Aminah datang mengabarkan bahwa Aminah telah
melahirkan bayi laki-laki. Seketika Abdul Muththalib datang ke rumah Aminah
untuk melihat cucunya yang baru lahir. Setelah tujuh hari pasca kelahiran,
akhirnya Abu Muththalib meng-khitan cucunya dan memberinya nama
Muhammad.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Ketika Nabi Muhammad berusia sekitar 5 tahun
dipulangkan ke ibunya di Kota Mekah. Setelah beliau dalam perlindungan ibunya
hingga menginjak usia sekitar 6 tahun, beliau menyaksikan langsung kematian
ibunya (Aminah). Kemudian Nabi Muhammad diasuh oleh Abdul Muththalib. Nabi
Muhammad begitu dicintai oleh Abdul Muththalib. Sesampainya beliau berusia 8
tahun, Abdul Muththalib yang merupakan kakeknya juga meninggal. Setelah Abdul
Muththalib wafat, Nabi Muhammad diasuh oleh pamannya bernama Abdu Manaf yang bergelar
Abu Thalib.
Abu Thalib sangat menyayangi Nabi Muhammad.
Hingga menginjak usia 12 tahun, Nabi Muhammad memberanikan diri ikut pamannya
ke Negeri Syam. Nabi Muhammad pergi ke Negeri Syam pertama kali pada tahun 583
Masehi.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Nabi Muhammad terkenal sebagai pemuda yang
berbudi luhur, berperangai mulia, dan jujur sehingga beliau dijuluki “Al Amin”
yang berarti orang yang dapat dipercaya. Ketika itu Nabi Muhammad berusia
kurang lebih 25 tahun. Pada waktu itu juga ada seorang wanita yang terkenal
akan kekayaannya, kebangsawanannya, kemuliaan budi pekerti, dan keluasan
pemikirannya. Seorang wanita itu tergolong pedagang besar di Kota Mekah.
Seorang wanita itu bernama Khadijah, putri Khuwailid dari keturunan Asad bin
Abdul Uzza bin Qushayyi. Jadi silsilahnya dengan Nabi Muhammad sangatlah dekat.
Khadijah pun mendengar bahwa ada pemuda yang
dijuluki Muhammad Al Amin. Karena kasih sayang Abu Thalib, Abu Thalib menemui
Khadijah agar keponakannya yakni Muhammad bisa menjadi pembawa barang sekaligus
menjualkan dagangan Khadijah ke Negeri Syam. Abu Thalib berharap bahwa Muhammad
bisa memperoleh mata pencaharian yang lebih baik. Khadijah pun menyetujuinya.
Untuk meyakinkan apakah Nabi Muhammad dapat dipercaya, Khadijah meminta
pelayannya yang bernama Maisarah untuk mengamati gerak-gerik Nabi Muhammad.
Setibanya di Negeri Syam, tepatnya di Kota
Bushra, Nabi Muhammad seorang diri beristirahat dan berteduh di suatu pohon
besar dekat pasar. Maisarah semenjak dari berangkat hingga tiba di Negeri Syam
akhirnya memberanikan diri untuk meninggalkan Nabi Muhammad. Kemudian dalam
perjalanan menuju rumah kenalannya, ia dihampiri oleh Pendeta Nasrani yang
bernama Masthuraa. Lantas sang Pendeta menanyakan kepada Maisarah perihal siapa
yang berani duduk dan bernaung dibawah pohon besar itu. Pendeta Nasrani itu
memperoleh informasi bahwa Nabi Muhammad berasal dari tanah Haram (Mekah) dan
di kedua mata Nabi Muhammad ada tanda merah. Informasi tersebut menguatkan
bahwa itulah tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad. Lalu Pendeta Nasrani itu
menghampiri Nabi Muhammad kemudian menciumi kakinya lalu berkata kepada Nabi
Muhammad bahwa Pendeta itu yakin bahwa Muhammad adalah Nabi dan Pesuruh Allah
sesuai didalam Kitab Taurat.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Ketika tiba saatnya pulang ke Mekah, Nabi
Muhammad bersama-sama Maisarah mencarikan dan membelikan apa yang dipesan
Khadijah. Setelah semua didapat, barulah kafilah Nabi Muhammad bertolak ke Kota
Mekah. Setibanya di Kota Mekah, Nabi Muhammad diminta Maisarah untuk langsung
menghadap Khadijah sebelum pulang ke rumahnya. Permintaan dari Maisarah itu
agar Khadijah mengerti hasil usaha Nabi Muhammad. Khadijah pun kagum mengetahui
peristiwa yang diluar dugaan itu dan barang-barang dagangannya telah habis
terjual dan memperoleh laba yang besar.
Berbagai prestasi yang ditunjukkan Nabi
Muhammad membuat Khadijah semakin kagum. Hingga pada suatu ketika Khadijah
menyuruh Nafisah yang merupakan pelayannya untuk menyampaikan isi hati kepada
Nabi Muhammad di rumah pamannya, yaitu Abu Thalib. Nabi pun menjawab bahwa
belum bisa mengambil keputusan sebelum mendapat persetujuan dari pamannya.
Kemudian pada suatu ketika Nafisah datang ke rumah Abu Thalib untuk menanyakan
perihal besar itu dan Abu Thalib menyampaikan pesan ke Nafisah untuk
disampaikan kepada Khadijah.
Pada suatu ketika Abu Thalib bersama
keponakannya, yakni Nabi Muhammad SAW, pergi ke rumah pamannya Khadijah yang
bernama Amr Bin Al-Asad. Hal itu dilakukan karena ayahnya Khadijah telah wafat.
Oleh Amr Bin Al-Asad diterima dengan baik dan tidak mempermasalahkan pernikahan
Khadijah dan Muhammad asalkan kedua belah pihak sama-sama setuju.
Tidak berapa lama kemudian dilangsungkan
pernikahan antara Nabi Muhammad dengan Khadijah. Pada waktu itu usia Nabi
Muhammad adalah 25 tahun dan usia Khadijah adalah 40 tahun. Berkat pernikahan
antara Nabi Muhammad dengan Khadijah melahirkan enam anak. Enam anak Nabi
Muhammad bersama Khadijah antara lain, Al Qasim, Zainab, Abdullah, Ruqayyah,
Ummu Kultsum, dan Fatimah.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Al Qasim
dan Abdulah adalah putra Nabi Muhammad yang meninggal ketika masih muda. Maka
dari itu Nabi Muhammad dan Khadijah merasa susah. Oleh sebab itu, ditawarkan
kepada beliau seorang budak lelaki yang bernama Zaid Bin Haritsah. Beliau Nabi
Muhammad mendesak istrinya untuk membelinya dan seketika sudah dibeli, lalu
dimerdekakan budak tersebut dan diangkat menjadi anak angkat Nabi Muhammad dan
Khadijah. Anak angkat tersebut kemudian terkenal dengan nama Zaid Bin Muhammad
karena Nabi Muhammad memeliharanya sebagaimana anaknya sendiri.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat
rahimakumullah.
Setelah Nabi Muhammad berusia 40 tahun, maka
kian hari kian mendalam hasratnya untuk menjauhkan diri dari masyarakat ramai.
Maka dari itu beliau sering pergi meninggalkan keluarga dan rumah tangganya
untuk mencari tempat ber-khalawat/ menyepi. Maksud beliau adalah untuk
menjernihkan pikiran yang selanjutnya untuk mencari kebenaran yang hakiki.
Tak lama kemudian, beliau mendapatkan gunung
yang ada goanya. Tempat itu tingginya kurang lebih 200 meter dan terkenal
dengan nama “Jabal Hiraa” yang kemudian terkenal dengan nama “Jabal Nur”, dan
goanya terkenal dengan goa Hiraa. Di tempat itulah Nabi Muhammad mendapatkan
wahyu yang pertama kali. Aktivitas beliau di goa Hiraa adalah mengerjakan tahannuts
(mengasingkan diri untuk menempa nafs). Di dalam tahannuts, ketika sedang
tidur beliau bermimpi. Mimpi beliau tidak biasa karena mimpi tersebut adalah
mimpi yang benar (Arru’yaa Ashshaadiqah).
Pada waktu malam 17 Ramadhan bertepatan
dengan 6 Agustus tahun 610 Masehi, Nabi Muhammad tengah ber-tahannuts di goa
Hiraa. Kemudian datanglah Malaikat Jibril AS membawa tulisan dan menyuruh Nabi
Muhammad untuk membacanya. Katanya, “bacalah”. Dengan terperanjat Nabi Muhammad
menjawab, “aku tidak bisa membaca”. Beliau direngkuh beberapa kali oleh
Malaikat Jibril hingga nafasnya sesak, lalu dilepaskannya dan menyuruhnya untuk
membacanya lagi. Tetapi Nabi Muhammad berkata bahwa beliau tidak bisa membaca.
Peristiwa itu terulang sampai tiga kali. Hingga akhirnya Nabi SAW berkata, “apa
yang kubaca?”. Lalu Malaikat Jibril menyampaikan Surat Al Alaq ayat 1 sampai 5.
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ {١} خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ {٢} اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ {٣} الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ {٤} عَلَّمَ الْإِنْسَانَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ {٥} {العلق}
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Mulia.
4. Yang
mengajar (manusia) dengan pena.
5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Semenjak peristiwa itu, Nabi Muhammad telah
diangkat menjadi Rasul. Beliaulah panutan kaum muslim diseluruh dunia.
No comments:
Post a Comment