Monday, July 28, 2025

Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia: Al-Qur’an Surat Al-Fatihah Ayat 3

Sebegai umat Islam, sudah semestinya mengerti mengenai apa isi kitab suci agama Islam. Kitab suci agama Islam adalah Al-Qur’an. Oleh sebab itu, Kementerian Agama Republik Indonesia telah merilis Tafsir Kemenag supaya masyarakat muslim Indonesia dengan mudah mengakses tafsir Al-Qur’an dengan mudah. Harapannya umat muslim di Indonesia mampu mengerti apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan mengamalkan apa yang menjadi syariat Agama dalam Al-Qur’an. Adapun terkait hadis yang ada pada Tafsir Kemenag pada tulisan ini dilengkapi sanad dan takhrij sederhana yang bersifat informatif atau menguatkan. Hal tersebut dikarenakan dalam Tafsir Kemenag belum semuanya dicantumkan sanad hadis maupun keterangan derajatnya. Mari kita simak uraian Tafsir Kemenag berikut.

 

﴿ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ ﴾ ( الفاتحة ١: ٣)

Artinya: Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (QS. Al-Fatihah/1: 3)

 

Tafsir Lengkap Kementerian Agama Republik Indonesia

Pada ayat dua di atas Allah SWT menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut Ar-Rahman Ar-Rahim. Yang demikian dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-wenang lenyap dari pikiran hamba.

 

Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah. Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun, atas sifat cinta dan kasih sayang itu. Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya.

Rasulullah bersabda:

 

Hadis Ke-1

المعجم الكبير للطبراني ۲٣٠۲: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ، ثنا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ.

Artinya: Al-Mu’jam Al Kabir lil Thabrani nomor 2302: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahya bin Khalaf, telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ali, dari Ismail, dari Sya’biy, dari Jarir, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih.

 

Hadis Ke-2

سنن أبي داوود ٤٢٩٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُسَدَّدٌ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِي قَابُوسَ مَوْلَى لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، لَمْ يَقُلْ مُسَدَّدٌ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَقَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 4290: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Musaddad secara makna, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru dari Abu Qabus, mantan budak (yang telah dimerdekakan oleh) Abdullah bin Amru, dari Abdullah bin Amru dan sanadnya sampai kepada Nabi SAW, (beliau bersabda): "Para penyayang akan disayangi oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi maka kalian akan disayangi oleh siapa saja yang berada di langit." Musaddad tidak mengatakan: "Mantan budak Abdullah bin Amru." dan ia juga berkata: "Nabi SAW bersabda."

 

Rasulullah bersabda:

 

Hadis Ke-3

شعب الإيمان للبيهقي ١٠٣١٤: أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ الْمَالِينِيُّ، أَنَا أَبُو أَحْمَدَ بْنُ عَدِيٍّ الْحَافِظُ، ثَنَا ابْنُ مُكْرَمٍ ، ثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلانَ، ثَنَا أَبُو النَّضْرِ، ثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ جَمِيلٍ أَبُو الْحَجَّاجِ الْيَامِيُّ، ثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيحَةَ عُصْفُورٍ رَحِمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، تَابَعَهُ سُلَيْمَانُ بْنُ رَجَاءٍ، عَنِ الْوَلِيدِ.

Artinya: Syu’abul Iman lil Baihaqi nomor 10314: Telah mengabarkan kepada kami Abu Sa’d Al-Maliiniy, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad bin ‘Adiy Al-Hafizh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mukram, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Gailan, telah menceritakan kepada kami Abu An-Nadlr, telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Jamil Abu Al-Hajjaj Al-Yaamiy, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Abu Umamah, ia berkata: “Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, akan disayangi Allah pada hari Kiamat.” Sulaiman bin Raja meriwayatkannya dari Al-Walid.

 

Maksud hadis yang ketiga ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu menyembelih burung, misalnya memakai pisau yang tajam. Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Rahman, ar-Rahim, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah terhadap seluruh alam, bukanlah karena mengharapkan sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Nya.

 

Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa Allah membuat peraturan dan hukum, dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan hilang bila diketahui bahwa peraturan dan hukum, begitu juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan hukum itu sesuai dengan keadilan-Nya.

 

 

Serial Taharah: Larangan Bagi Wanita Haid

Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai larangan bagi wanita haid. Adapun dalam memahaminya, perlu mengerti berbagai dalil yang ada.

 

A. Ragam Larangan Bagi Wanita Haid

Wanita akan mengalami haid setiap bulan. Adapun mengenai wanita haid, terdapat beberapa larangan bagi wanita yang sedang haid menurut ajaran agama Islam. Larangan tersebut berdasarkan berbagai dalil yang ada, kemudian dapat dimengerti terkait apa saja larangan bagi wanita yang sedang haid. Dalil-dalil yang ada menunjukkan sekitar empat larangan bagi wanita yang sedang haid. Adapun dalil-dalil yang ada menyebutkan bahwa wanita haid tidak boleh bersetubuh dengan suami, salat, tawaf di Baitullah, dan tidak boleh berpuasa.

 

B. Wanita Haid Tidak Boleh Bersetubuh

Wanita yang sedang haid tidak boleh bersetubuh. Adapun bersetubuh dalam hal ini adalah bersetubuh dengan suami. Oleh sebab itu, ketika wanita sebagai seorang istri tidak boleh melakukan hubungan intim dengan suami. Hal tersebut dikarenakan terdapat larangan dalam agama Islam. Apabila larangan tersebut dilanggar, maka konsekuensinya adalah dosa. Dalil larangan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-1

﴿ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢ ﴾ ( البقرة/2:222)

Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.”65) Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah/2: 222)

Catatan: 65) Haid adalah darah yang keluar bersama jaringan yang dipersiapkan untuk pembuahan di rahim perempuan. Keluarnya secara periodik, sesuai dengan periode pelepasan sel telur ke rahim. Kondisi seperti itu yang dianggap kotor dan menjadikan perempuan tidak suci secara syar‘i, termasuk tidak suci untuk digauli suaminya.

 

Melalui ayat tersebut dapat diketahui bahwa wanita yang sedang haid dilarang untuk berhubungan intim dengan suami. Padahal suami istri adalah pasangan yang sah dan halal bagi mereka karena sudah terikat pernikahan. Namun ketika wanita haid, Allah melarang hubungan suami istri. Bagian dari sebab nuzul ayat terdapat dalam hadis berikut.

 

Hadis Ke-1

صحيح مسلم ٤٥٥: و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَلَا نُجَامِعُهُنَّ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ فِي آثَارِهِمَا فَسَقَاهُمَا فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا.

Artinya: Shahih Muslim nomor 455: Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bahwa orang-orang Yahudi apabila istri-istrinya haid, mereka tidak makan bersama-sama dengannya, dan tidak mau tinggal bersama-sama dalam rumah. Lalu para sahabat Nabi SAW bertanya (kepada beliau), kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang (hukum) haid, katakanlah, “Dia itu kotoran,” karena itu jauhilah perempuan-perempuan (istri-istri) yang sedang berhaid (QS. Al-Baqarah: 222),“ sampai akhir ayat. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Berbuatlah apasaja kecuali setubuh.” Maka hal tersebut sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka berkata: "Laki-laki ini tidak ingin meninggalkan sesuatu dari perkara kita melainkan dia menyelisihi kita padanya." Lalu Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi berkata demikian dan demikian, maka kami tidak menyetubuhi kaum wanita." Raut wajah Rasulullah SAW tiba-tiba berubah hingga kami mengira bahwa beliau telah marah pada keduanya, lalu keduanya keluar, keduanya pergi bertepatan ada hadiah susu yang diperuntukkan Nabi SAW, maka beliau kirim utusan untuk menyusul kepergian keduanya, dan beliau suguhkan minuman untuk keduanya. Keduanya pun sadar bahwa beliau tidak marah atas keduanya."

 

Hadis Ke-2

سنن أبي داوود ١٨٥٠: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِنْهُمْ امْرَأَةٌ أَخْرَجُوهَا مِنْ الْبَيْتِ وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُشَارِبُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبَيْتِ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى {وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ غَيْرَ النِّكَاحِ فَقَالَتْ الْيَهُودُ مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِنَا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا أَفَلَا نَنْكِحُهُنَّ فِي الْمَحِيضِ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمَا فَظَنَنَّا أَنَّهُ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 1850: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan kepada kami Tsabit Al Bunani, dari Anas bin Malik bahwa kaum Yahudi apabila seorang istri mengalami haid maka mereka mengeluarkannya dari rumah, dan tidak makan bersamanya, tidak mengajaknya bermusyawarah, dan tidak menggaulinya di rumah. Kemudian Rasulullah SAW ditanya mengenai hal tersebut, kemudian Allah SWT menurunkan ayat (yang artinya): Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid (QS. Al-Baqarah: 222),” hingga akhir ayat. Rasulullah SAW bersabda: "Bergaullah dengan mereka di rumah dan lakukan segala sesuatu kecuali jimak." Tidaklah orang ini ingin meninggalkan sesuatu yang berasal dari urusan kita melainkan untuk menyelisihi kita. Kemudian Usaid bin Hudlair serta 'Abbad bin Bisyr datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi mengatakan demikian dan demikian, tidakkah kita bercampur dengan mereka (para istri) di saat sedang haid? Maka merah padam wajah Rasulullah SAW hingga kami menyangka beliau telah murka kepada mereka. Kemudian mereka berdua keluar, kemudian mereka berpapasan dengan hadiah susu yang diberikan kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau mengirim seseorang agar mengejar mereka berdua, hingga kami menyangka bahwa beliau tidak murka kepada mereka.

 

Selain riwayat di atas, terdapat riwayat lain. Adapun riwayat lain tersebut melalui Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Riwayat yang dimaksud adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-3

سنن أبي داوود ١٨٢: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بَكَّارٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ حَرَامِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ عَمِّهِ، أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَحِلُّ لِي مِنْ امْرَأَتِي وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ لَكَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَذَكَرَ مُؤَاكَلَةَ الْحَائِضِ أَيْضًا وَسَاقَ الْحَدِيثَ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 182: Telah menceritakan kepada kami Harun bin Muhammad bin Bakkar, telah menceritakan kepada kami Marwan bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al Haitsam bin Humaid, telah menceritakan kepada kami Al 'Ala` bin Al Harits dari Haram bin Hakim dari Pamannya (Abdullah bin Sa’ad) bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang apa saja yang halal dilakukan olehku terhadap istriku yang sedang haid? Beliau menjawab: "Boleh apa saja yang di atas kain (selain jimak)." Dan dia (perawi) juga menyebutkan tentang perihal makan dengan wanita yang sedang haid, dan dia sebutkan hadisnya.

 

Hadis Ke-4

صحيح البخاري ٢٩١: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ هُوَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ تَابَعَهُ خَالِدٌ وَجَرِيرٌ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ

Artinya: Shahih Bukhari nomor 291: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Khalil berkata: telah mengabarkan kepada kami 'Ali bin Mushir berkata: telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq, yaitu Asy Syaibani, dari 'Abdurrahman bin Al Aswad dari Bapaknya dari 'Aisyah ia berkata: "Jika salah seorang dari kami sedang mengalami haid dan Rasulullah SAW berkeinginan untuk bermesraan, beliau memerintahkan untuk mengenakan kain, lalu beliau pun mencumbuinya." 'Aisyah berkata: "Padahal, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah SAW menahan?" Hadis ini dikuatkan oleh Khalid dan Jarir dari Asy Syaibani.

 

Hadis Ke-5

سنن الدارمي ١٠٢١:  أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عُيَيْنَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَوْشَنٍ عَنْ مَرْوَانَ الْأَصْفَرِ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ إِذَا كَانَتْ حَائِضًا قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرُ الْجِمَاعِ قَالَ قَلْتُ فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنْهَا إِذَا كَانَا مُحْرِمَيْنِ قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرُ كَلَامِهَا

Artinya: Sunan Darimi nomor 1021: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, telah menceritakan kepada kami 'Uyainah bin Abdur Rahman bin Jausyan dari Marwan Al `Ashfar dari Masruq ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah RA: "Apa saja yang dihalalkan bagi seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haid?" Ia menjawab: "Segala sesuatu (boleh dilakukan) kecuali jimak (bersenggama)," aku bertanya lagi: "Apa yang diharamkan atasnya dari istrinya tersebut, jika keduanya sedang malaksanakan ihram?" Ia menjawab: "Segala sesuatu kecuali mengajaknya bicara."

 

Mukhtasar Nailul Authar halaman 239 menerangkan bahwa hadis yang ada menunjukkan dua hukum, yaitu haramnya senggama dan bolehnya yang lain, dan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, menyentuh yang di atas pusar dan di bawah lutut dengan zakar atau mencium, memeluk, menyentuh atau lainnya, semua ini halal berdasarkan ijma kaum muslimin. Kedua, apa yang di antara pusar dan lutut, dalam hal ini ada tiga pendapat dari para sahabat Syafi'i. Pendapat yang paling masyhur adalah haram, pendapat kedua tidak haram tetapi makruh, pendapat ketiga yaitu boleh bila menahan diri dari kemaluan, tetapi bila tidak maka tidak boleh. Malik, Abu Hanifah dan mayoritas ulama mengharamkannya. Hadis di atas menunjukan boleh, karena dinyatakan halalnya apa saja selain senggama. Adapun pendapat yang mengharamkan hanya untuk pencegahan. Hal ini ditegaskan oleh hadis tadi, “Bagimu yang di atas kain", juga hadis Aisyah yang menyebutkan bahwa beliau menyuruh untuk mengenakan kain bila beliau hendak mencumbui istrinya yang sedang haid. Dalam riwayat lainnya Aisyah mengatakan, "Siapa di antara kalian yang bisa menahan hasratnya seperti Nabi SAW bisa menahan hasratnya? (Tentu tidak ada)."

 

Hadis yang ada merupakan dalil adanya larangan bersetubuh bagi wanita haid dengan suaminya. Namun demikian terdapat dalil kafarat apabila larangan tersebut dilanggar. Adapun dalil yang dimaksud adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-6

سنن أبي داوود ١٨٥٣: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ وَغَيْرُهُ عَنْ سَعِيدٍ حَدَّثَنِي الْحَكَمُ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 1853: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah dan yang lainnya, dari Sa'id, telah menceritakan kepadaku Al Hakam, dari Abdul Hamid bin Abdurrahman dari Miqsam dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW tentang orang yang menyetubuhi istrinya, padahal ia sedang haid, yaitu, “Hendaknya ia memberi sedekah dengan satu dinar, atau dengan setengah dinar.”

Keterangan: Rawi Miqsam dengan nama Miqsam bin Bajarah, maula 'Abdullah bin Al Harits merupakan tabi'in kalangan biasa yang wafat tahun 101 H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Abu Hatim mengatakan: shalihul hadits; Al 'Ajli mengatakan: tsiqah; Ad-Daruquthni mengatakan: tsiqah; Ya'kub bin Sufyan mengatakan: tsiqah; Al Bukhari mengatakan: disebutkan dalam adl dlu'afa; Ibnu Hazm mengatakan: laisa bi qowi; Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan: shaduuq; Ibnu Sa'd mengatakan: dla'if. Imam Bukhari mengeluarkan hadis darinya sekitar 2 hadis.

 

Hadis Ke-7

سنن الترمذي ١٢٧: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ أَبِي حَمْزَةَ السُّكَّرِيِّ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌ وَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ الْكَفَّارَةِ فِي إِتْيَانِ الْحَائِضِ قَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا وَمَرْفُوعًا وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ يَسْتَغْفِرُ رَبَّهُ وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ قَوْلِ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ بَعْضِ التَّابِعِينَ مِنْهُمْ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ.

Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 127: Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Huraits berkata: telah mengabarkan kepada kami Al Fadll bin Musa dari Abu Hamzah As Sukkari dari Abdul Karim dari Miqsam dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Jika darah tersebut warnanya merah maka dendanya satu dinar, dan jika warnanya kuning maka dendanya adalah setengah dinar." Abu Isa berkata: "Hadis yang berbicara masalah denda menggauli wanita yang sedang haid diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan riwayat maukuf dan marfuk. Ini adalah perkataan sebagian ahli ilmu. Dan pendapat ini juga diambil oleh Ahmad dan Ishaq. bin Al Mubarak berkata: "Hendaklah ia meminta maaf kepada Rabbnya dan tidak ada kafarah." Perkataan seperti bin Al Mubarak ini juga diriwayatkan dari sebagian ulama tabi'in, seperti Sa'id bin Jubair dan Ibrahim An Nakha'i. Dan ini adalah perkataan kebanyakan ulama dunia."

Keterangan: Rawi Miqsam dengan nama Miqsam bin Bajarah, maula 'Abdullah bin Al Harits merupakan tabi'in kalangan biasa yang wafat tahun 101 H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Abu Hatim mengatakan: shalihul hadits; Al 'Ajli mengatakan: tsiqah; Ad-Daruquthni mengatakan: tsiqah; Ya'kub bin Sufyan mengatakan: tsiqah; Al Bukhari mengatakan: disebutkan dalam adl dlu'afa; Ibnu Hazm mengatakan: laisa bi qowi; Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan: shaduuq; Ibnu Sa'd mengatakan: dla'if. Imam Bukhari mengeluarkan hadis darinya sekitar 2 hadis.

 

Hadis Ke-8

مسند أحمد ١٩٢٨: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ بِنِصْفِ دِينَارٍ. وَلَمْ يَرْفَعْهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَلَا بَهْزٌ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 1928: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah. Dan Muhammad bin Ja'far berkata: telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari Abdul Hamid bin Abdurrahman dari Miqsam dari Ibnu 'Abbas dari Nabi SAW tentang orang yang mendatangi istrinya saat haid, maka ia mensedekahkan satu dinar atau setengah dinar. Abdurrahman dan Bahz tidak memarfukkannya kepada Rasulullah SAW.

Keterangan: Rawi Miqsam dengan nama Miqsam bin Bajarah, maula 'Abdullah bin Al Harits merupakan tabi'in kalangan biasa yang wafat tahun 101 H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Abu Hatim mengatakan: shalihul hadits; Al 'Ajli mengatakan: tsiqah; Ad-Daruquthni mengatakan: tsiqah; Ya'kub bin Sufyan mengatakan: tsiqah; Al Bukhari mengatakan: disebutkan dalam adl dlu'afa; Ibnu Hazm mengatakan: laisa bi qowi; Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan: shaduuq; Ibnu Sa'd mengatakan: dla'if. Imam Bukhari mengeluarkan hadis darinya sekitar 2 hadis.

 

Mukhtasar Nailul Authar halaman 241 menyebutkan bahwa hadits di atas menunjukkan wajibnya membayar kafarat (denda) bagi yang menyetubuhi istrinya yang sedang haid. Mukhtasar Nailul Authar halaman 241 juga menerangkan bahwa penulis rahimahullah mengatakan, "Ini mengandung peringatan haramnya menyetubuhi sebelum mandi."

 

C. Wanita Haid Dilarang Salat

Terdapat dalil yang menerangkan bahwa wanita yang sedang haid dilarang salat. Apabila salat dilaksanakan oleh wanita yang sedang haid, maka berdosalah ia. Oleh sebab itu, ketika datang bulan atau haid, seorang wanita tidak mengerjakan salat. Dalil yang ada di antaranya adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-9

صحيح مسلم ٥٠٨: و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 508: Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Ashim dari Mu'adzah dia berkata: "Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata: 'Mengapa gerangan wanita yang haid mengqada puasa dan tidak mengqada salat?' Maka Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah?' Aku menjawab, 'Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada salat'."

 

Mukhtasar Nailul Authar halaman 242 menerangkan bahwa hadis di atas menunjukkan larangan melaksankan salat dan puasa ketika sedang haid, dan ini sudah merupakan ijmak. Hadis di atas juga menunjukkan bahwa akal bisa bertambah dan berkurang, begitu juga keimanan. Maksud kurangnya akal wanita bukan tercelanya wanita dalam hal ini, akan tetapi sebagai peringatan tentang bisa terjadinya fitnah karena wanita. Dan kurangnya agama tidak hanya karena dosa, akan tetapi lebih umum dari itu, karena ini merupakan perkara yang abstrak. Maka yang sempuna, umpamanya, kurang dari yang lebih sempurna. Begitu juga wanita haid, ia tidak berdosa karena meninggalkan salat ketika haid, akan tetapi ia kurang bila dibandingkan dengan yang salat. Ibnu Al Mundzir, An-Nawawi dan yang lainnya mencatat adanya ijmak kaum muslimin, bahwa wanita haid tidak diperintah mengqada salat, namun ia wajib mengqada puasa.

 

D. Wanita Haid Dilarang Tawaf di Baitullah

Terdapat larangan bagi wanita haid supaya tidak melakukan tawaf di Baitullah (Kakbah). Hal tersebut termasuk tawaf ketika haji ataupun umrah. Adapun dalil larangannya adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-10

صحيح البخاري ٢٩٤: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ قَالَ لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Artinya: Shahih Bukhari nomor 294: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata: telah menceritakan kepadaku 'Abdul 'Aziz bin Abu Salamah dari 'Abdurrahman bin 'Abdullah Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah ia berkata: "Kami keluar bersama Nabi SAW dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan haji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama Sarif, aku mengalami haid. Lalu Nabi SAW masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Aku jawab: "Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji." Beliau berkata: "Barangkali kamu mengalami haid?" Aku jawab: "Benar." Beliau pun bersabda: "Yang demikian itu adalah perkara yang sudah Allah tetapkan bagi putri-putri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali tawaf di Kakbah hingga kamu suci."

 

E. Wanita Haid Tidak Boleh Puasa

Syariat agama Islam juga mengatur bagwa wanita haid diharamkan berpuasa. Adapun puasa wajib yang ditinggalkannya wajib untuk diganti di hari yang lain atau qada. Adapun dalil adanya ketentuan wanita sedang haid tidak boleh berpuasa adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-11

سنن أبي داوود ٢٢٩: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مُعَاذَةَ، أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ أَتَقْضِي الْحَائِضُ الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ لَقَدْ كُنَّا نَحِيضُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نَقْضِي وَلَا نُؤْمَرُ بِالْقَضَاءِ. حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةِ عَنْ عَائِشَةَ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَزَادَ فِيهِ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 229: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Mu'adzah bahwasanya ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah: Apakah wanita yang haid harus mengqada salat? Aisyah berkata: Apakah kamu orang Haruriah, kami biasa haid pada masa Rasulullah SAW, lalu kami tidak mengqada (salat) dan tidak pula diperintahkan untuk mengqadanya. Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Amru, telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Abdul Malik dari Ibnu Al Mubarak dari Ma'mar dari Ayyub dari Mu'adzah Al Adawiyyah dari Aisyah dengan hadis ini. Abu Dawud berkata: Dan dia menambahkan padanya: Kami diperintahkan mengqada (mengganti) puasa dan tidak diperintahkan mengqada salat.

 

Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.