Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari
syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara
orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat.
Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana
pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai larangan bagi wanita haid.
Adapun dalam memahaminya, perlu mengerti berbagai dalil
yang ada.
A. Ragam Larangan Bagi Wanita Haid
Wanita akan mengalami haid setiap bulan. Adapun
mengenai wanita haid, terdapat beberapa larangan bagi wanita yang sedang haid
menurut ajaran agama Islam. Larangan tersebut berdasarkan berbagai dalil yang
ada, kemudian dapat dimengerti terkait apa saja larangan bagi wanita yang
sedang haid. Dalil-dalil yang ada menunjukkan sekitar empat larangan bagi
wanita yang sedang haid. Adapun dalil-dalil yang ada menyebutkan bahwa wanita
haid tidak boleh bersetubuh dengan suami, salat, tawaf di Baitullah, dan tidak
boleh berpuasa.
B. Wanita Haid Tidak Boleh Bersetubuh
Wanita yang sedang haid tidak boleh bersetubuh. Adapun
bersetubuh dalam hal ini adalah bersetubuh dengan suami. Oleh sebab itu, ketika
wanita sebagai seorang istri tidak boleh melakukan hubungan intim dengan suami.
Hal tersebut dikarenakan terdapat larangan dalam agama Islam. Apabila larangan
tersebut dilanggar, maka konsekuensinya adalah dosa. Dalil larangan yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
Dalil Al-Qur’an Ke-1
﴿ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ
عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا
تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ
اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
٢٢٢ ﴾ ( البقرة/2:222)
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu
adalah suatu kotoran.”65) Maka, jauhilah para istri (dari melakukan
hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan
hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka
benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan
(ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS.
Al-Baqarah/2: 222)
Catatan: 65) Haid adalah darah yang keluar bersama jaringan yang dipersiapkan
untuk pembuahan di rahim perempuan. Keluarnya secara periodik, sesuai dengan
periode pelepasan sel telur ke rahim. Kondisi seperti itu yang dianggap kotor
dan menjadikan perempuan tidak suci secara syar‘i, termasuk tidak suci untuk
digauli suaminya.
Melalui ayat tersebut dapat diketahui bahwa wanita
yang sedang haid dilarang untuk berhubungan intim dengan suami. Padahal suami
istri adalah pasangan yang sah dan halal bagi mereka karena sudah terikat
pernikahan. Namun ketika wanita haid, Allah melarang hubungan suami istri. Bagian
dari sebab nuzul ayat terdapat dalam hadis berikut.
Hadis Ke-1
صحيح مسلم ٤٥٥: و حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا
إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي
الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {وَيَسْأَلُونَكَ
عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى
آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا
مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا
خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ فَقَالَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَلَا نُجَامِعُهُنَّ
فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى
ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةٌ
مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَ فِي
آثَارِهِمَا فَسَقَاهُمَا فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا.
Artinya:
Shahih Muslim nomor 455: Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb,
telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan
kepada kami Hammad bin Salamah, telah menceritakan kepada kami Tsabit
dari Anas bahwa orang-orang Yahudi apabila istri-istrinya haid, mereka
tidak makan bersama-sama dengannya, dan tidak mau tinggal bersama-sama dalam
rumah. Lalu para sahabat Nabi SAW bertanya (kepada beliau), kemudian Allah
‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang
(hukum) haid, katakanlah, “Dia itu kotoran,” karena itu jauhilah
perempuan-perempuan (istri-istri) yang sedang berhaid (QS. Al-Baqarah: 222),“
sampai akhir ayat. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Berbuatlah apasaja kecuali
setubuh.” Maka hal tersebut sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka berkata:
"Laki-laki ini tidak ingin meninggalkan sesuatu dari perkara kita
melainkan dia menyelisihi kita padanya." Lalu Usaid bin Hudhair dan Abbad
bin Bisyr berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi berkata
demikian dan demikian, maka kami tidak menyetubuhi kaum wanita." Raut wajah
Rasulullah SAW tiba-tiba berubah hingga kami mengira bahwa beliau telah marah
pada keduanya, lalu keduanya keluar, keduanya pergi bertepatan ada hadiah susu
yang diperuntukkan Nabi SAW, maka beliau kirim utusan untuk menyusul kepergian
keduanya, dan beliau suguhkan minuman untuk keduanya. Keduanya pun sadar bahwa
beliau tidak marah atas keduanya."
Hadis Ke-2
سنن أبي داوود ١٨٥٠: حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِنْهُمْ
امْرَأَةٌ أَخْرَجُوهَا مِنْ الْبَيْتِ وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُشَارِبُوهَا
وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبَيْتِ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى {وَيَسْأَلُونَكَ
عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى
آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ غَيْرَ النِّكَاحِ
فَقَالَتْ الْيَهُودُ مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ شَيْئًا مِنْ
أَمْرِنَا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ
بْنُ بِشْرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا أَفَلَا
نَنْكِحُهُنَّ فِي الْمَحِيضِ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا
فَاسْتَقْبَلَتْهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ فِي آثَارِهِمَا فَظَنَنَّا أَنَّهُ لَمْ يَجِدْ
عَلَيْهِمَا.
Artinya:
Sunan Abu Daud nomor 1850: Telah menceritakan kepada kami Musa bin
Isma'il, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan
kepada kami Tsabit Al Bunani, dari Anas bin Malik bahwa kaum
Yahudi apabila seorang istri mengalami haid maka mereka mengeluarkannya dari
rumah, dan tidak makan bersamanya, tidak mengajaknya bermusyawarah, dan tidak
menggaulinya di rumah. Kemudian Rasulullah SAW ditanya mengenai hal tersebut,
kemudian Allah SWT menurunkan ayat (yang artinya): Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid (QS. Al-Baqarah:
222),” hingga akhir ayat. Rasulullah SAW bersabda: "Bergaullah dengan
mereka di rumah dan lakukan segala sesuatu kecuali jimak." Tidaklah orang
ini ingin meninggalkan sesuatu yang berasal dari urusan kita melainkan untuk
menyelisihi kita. Kemudian Usaid bin Hudlair serta 'Abbad bin Bisyr datang
kepada Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang
Yahudi mengatakan demikian dan demikian, tidakkah kita bercampur dengan mereka
(para istri) di saat sedang haid? Maka merah padam wajah Rasulullah SAW hingga
kami menyangka beliau telah murka kepada mereka. Kemudian mereka berdua keluar,
kemudian mereka berpapasan dengan hadiah susu yang diberikan kepada Rasulullah SAW.
Kemudian beliau mengirim seseorang agar mengejar mereka berdua, hingga kami
menyangka bahwa beliau tidak murka kepada mereka.
Selain
riwayat di atas, terdapat riwayat lain. Adapun riwayat lain tersebut melalui
Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Riwayat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Hadis Ke-3
سنن أبي داوود ١٨٢: حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بَكَّارٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي ابْنَ
مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ
الْحَارِثِ عَنْ حَرَامِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ عَمِّهِ، أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَحِلُّ لِي مِنْ امْرَأَتِي
وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ لَكَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَذَكَرَ مُؤَاكَلَةَ الْحَائِضِ
أَيْضًا وَسَاقَ الْحَدِيثَ.
Artinya:
Sunan Abu Daud nomor 182: Telah menceritakan kepada kami Harun bin
Muhammad bin Bakkar, telah menceritakan kepada kami Marwan bin Muhammad,
telah menceritakan kepada kami Al Haitsam bin Humaid, telah menceritakan
kepada kami Al 'Ala` bin Al Harits dari Haram bin Hakim dari Pamannya
(Abdullah bin Sa’ad) bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang apa saja yang halal dilakukan olehku terhadap istriku yang sedang haid?
Beliau menjawab: "Boleh apa saja yang di atas kain (selain jimak)."
Dan dia (perawi) juga menyebutkan tentang perihal makan dengan wanita yang
sedang haid, dan dia sebutkan hadisnya.
Hadis Ke-4
صحيح البخاري ٢٩١: حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ قَالَ
أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ هُوَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا
كَانَتْ حَائِضًا فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يُبَاشِرَهَا أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِي فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ
يُبَاشِرُهَا قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ تَابَعَهُ خَالِدٌ وَجَرِيرٌ
عَنْ الشَّيْبَانِيِّ
Artinya:
Shahih Bukhari nomor 291: Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Khalil
berkata: telah mengabarkan kepada kami 'Ali bin Mushir berkata: telah
mengabarkan kepada kami Abu Ishaq, yaitu Asy Syaibani, dari 'Abdurrahman
bin Al Aswad dari Bapaknya dari 'Aisyah ia berkata: "Jika
salah seorang dari kami sedang mengalami haid dan Rasulullah SAW berkeinginan
untuk bermesraan, beliau memerintahkan untuk mengenakan kain, lalu beliau pun
mencumbuinya." 'Aisyah berkata: "Padahal, siapakah di antara
kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah SAW menahan?" Hadis
ini dikuatkan oleh Khalid dan Jarir dari Asy Syaibani.
Hadis Ke-5
سنن الدارمي ١٠٢١: أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا
عُيَيْنَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جَوْشَنٍ عَنْ مَرْوَانَ الْأَصْفَرِ
عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ
إِذَا كَانَتْ حَائِضًا قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرُ الْجِمَاعِ قَالَ قَلْتُ
فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنْهَا إِذَا كَانَا مُحْرِمَيْنِ قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ
غَيْرُ كَلَامِهَا
Artinya:
Sunan Darimi nomor 1021: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun,
telah menceritakan kepada kami 'Uyainah bin Abdur Rahman bin Jausyan
dari Marwan Al `Ashfar dari Masruq ia berkata: Aku bertanya
kepada Aisyah RA: "Apa saja yang dihalalkan bagi seorang laki-laki
terhadap istrinya yang sedang haid?" Ia menjawab: "Segala sesuatu
(boleh dilakukan) kecuali jimak (bersenggama)," aku bertanya lagi: "Apa
yang diharamkan atasnya dari istrinya tersebut, jika keduanya sedang
malaksanakan ihram?" Ia menjawab: "Segala sesuatu kecuali mengajaknya
bicara."
Mukhtasar
Nailul Authar halaman 239 menerangkan bahwa hadis yang ada menunjukkan dua hukum,
yaitu haramnya senggama dan bolehnya yang lain, dan ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: Pertama, menyentuh yang di atas pusar dan di bawah lutut
dengan zakar atau mencium, memeluk, menyentuh atau lainnya, semua ini halal
berdasarkan ijma kaum muslimin. Kedua, apa yang di antara pusar dan
lutut, dalam hal ini ada tiga pendapat dari para sahabat Syafi'i. Pendapat yang
paling masyhur adalah haram, pendapat kedua tidak haram tetapi makruh, pendapat
ketiga yaitu boleh bila menahan diri dari kemaluan, tetapi bila tidak maka tidak
boleh. Malik, Abu Hanifah dan mayoritas ulama mengharamkannya. Hadis di atas
menunjukan boleh, karena dinyatakan halalnya apa saja selain senggama. Adapun
pendapat yang mengharamkan hanya untuk pencegahan. Hal ini ditegaskan oleh hadis
tadi, “Bagimu yang di atas kain", juga hadis Aisyah yang menyebutkan
bahwa beliau menyuruh untuk mengenakan kain bila beliau hendak mencumbui
istrinya yang sedang haid. Dalam riwayat lainnya Aisyah mengatakan, "Siapa
di antara kalian yang bisa menahan hasratnya seperti Nabi SAW bisa menahan hasratnya?
(Tentu tidak ada)."
Hadis
yang ada merupakan dalil adanya larangan bersetubuh bagi wanita haid dengan
suaminya. Namun demikian terdapat dalil kafarat apabila larangan tersebut
dilanggar. Adapun dalil yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Hadis Ke-6
سنن أبي داوود ١٨٥٣: حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ وَغَيْرُهُ عَنْ سَعِيدٍ حَدَّثَنِي
الْحَكَمُ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي
يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ بِنِصْفِ
دِينَارٍ.
Artinya:
Sunan Abu Daud nomor 1853: Telah menceritakan kepada kami Musaddad,
telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah dan yang
lainnya, dari Sa'id, telah menceritakan kepadaku Al Hakam, dari Abdul
Hamid bin Abdurrahman dari Miqsam dari Ibnu Abbas, dari Nabi
SAW tentang orang yang menyetubuhi istrinya, padahal ia sedang haid, yaitu,
“Hendaknya ia memberi sedekah dengan satu dinar, atau dengan setengah dinar.”
Keterangan: Rawi
Miqsam dengan nama Miqsam bin Bajarah, maula 'Abdullah bin Al
Harits merupakan tabi'in kalangan biasa yang wafat tahun 101 H. Komentar ulama tentangnya
di antaranya Abu Hatim mengatakan: shalihul hadits; Al 'Ajli mengatakan:
tsiqah; Ad-Daruquthni mengatakan: tsiqah; Ya'kub bin Sufyan mengatakan:
tsiqah; Al Bukhari mengatakan: disebutkan dalam adl dlu'afa; Ibnu
Hazm mengatakan: laisa bi qowi; Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan: shaduuq;
Ibnu Sa'd mengatakan: dla'if. Imam Bukhari mengeluarkan hadis darinya sekitar
2 hadis.
Hadis Ke-7
سنن الترمذي ١٢٧: حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ أَبِي حَمْزَةَ
السُّكَّرِيِّ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ
فَدِينَارٌ وَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى
حَدِيثُ الْكَفَّارَةِ فِي إِتْيَانِ الْحَائِضِ قَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
مَوْقُوفًا وَمَرْفُوعًا وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ
أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ يَسْتَغْفِرُ رَبَّهُ وَلَا
كَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ قَوْلِ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ بَعْضِ
التَّابِعِينَ مِنْهُمْ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَهُوَ
قَوْلُ عَامَّةِ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ.
Artinya:
Sunan Tirmidzi nomor 127: Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin
Huraits berkata: telah mengabarkan kepada kami Al Fadll bin Musa
dari Abu Hamzah As Sukkari dari Abdul Karim dari Miqsam
dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Jika darah
tersebut warnanya merah maka dendanya satu dinar, dan jika warnanya kuning maka
dendanya adalah setengah dinar." Abu Isa berkata: "Hadis yang
berbicara masalah denda menggauli wanita yang sedang haid diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas dengan riwayat maukuf dan marfuk. Ini adalah perkataan sebagian ahli
ilmu. Dan pendapat ini juga diambil oleh Ahmad dan Ishaq. bin Al Mubarak
berkata: "Hendaklah ia meminta maaf kepada Rabbnya dan tidak ada
kafarah." Perkataan seperti bin Al Mubarak ini juga diriwayatkan dari
sebagian ulama tabi'in, seperti Sa'id bin Jubair dan Ibrahim An Nakha'i. Dan
ini adalah perkataan kebanyakan ulama dunia."
Keterangan: Rawi
Miqsam dengan nama Miqsam bin Bajarah, maula 'Abdullah bin Al
Harits merupakan tabi'in kalangan biasa yang wafat tahun 101 H. Komentar ulama tentangnya
di antaranya Abu Hatim mengatakan: shalihul hadits; Al 'Ajli mengatakan:
tsiqah; Ad-Daruquthni mengatakan: tsiqah; Ya'kub bin Sufyan mengatakan:
tsiqah; Al Bukhari mengatakan: disebutkan dalam adl dlu'afa; Ibnu
Hazm mengatakan: laisa bi qowi; Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan: shaduuq;
Ibnu Sa'd mengatakan: dla'if. Imam Bukhari mengeluarkan hadis darinya sekitar
2 hadis.
Hadis Ke-8
مسند أحمد ١٩٢٨: حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ
الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي
يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ بِنِصْفِ
دِينَارٍ. وَلَمْ يَرْفَعْهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَلَا بَهْزٌ.
Artinya:
Musnad Ahmad nomor 1928: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu'bah.
Dan Muhammad bin Ja'far berkata: telah menceritakan kepada kami Syu'bah
dari Al Hakam dari Abdul Hamid bin Abdurrahman dari Miqsam
dari Ibnu 'Abbas dari Nabi SAW tentang orang yang mendatangi istrinya
saat haid, maka ia mensedekahkan satu dinar atau setengah dinar. Abdurrahman
dan Bahz tidak memarfukkannya kepada Rasulullah SAW.
Keterangan: Rawi
Miqsam dengan nama Miqsam bin Bajarah, maula 'Abdullah bin Al
Harits merupakan tabi'in kalangan biasa yang wafat tahun 101 H. Komentar ulama tentangnya
di antaranya Abu Hatim mengatakan: shalihul hadits; Al 'Ajli mengatakan:
tsiqah; Ad-Daruquthni mengatakan: tsiqah; Ya'kub bin Sufyan mengatakan:
tsiqah; Al Bukhari mengatakan: disebutkan dalam adl dlu'afa; Ibnu
Hazm mengatakan: laisa bi qowi; Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan: shaduuq;
Ibnu Sa'd mengatakan: dla'if. Imam Bukhari mengeluarkan hadis darinya sekitar
2 hadis.
Mukhtasar
Nailul Authar halaman 241 menyebutkan bahwa hadits di atas menunjukkan wajibnya
membayar kafarat (denda) bagi yang menyetubuhi istrinya yang sedang haid. Mukhtasar
Nailul Authar halaman 241 juga menerangkan bahwa penulis rahimahullah mengatakan,
"Ini mengandung peringatan haramnya menyetubuhi sebelum mandi."
C. Wanita Haid Dilarang Salat
Terdapat
dalil yang menerangkan bahwa wanita yang sedang haid dilarang salat. Apabila
salat dilaksanakan oleh wanita yang sedang haid, maka berdosalah ia. Oleh sebab
itu, ketika datang bulan atau haid, seorang wanita tidak mengerjakan salat.
Dalil yang ada di antaranya adalah sebagai berikut.
Hadis Ke-9
صحيح مسلم ٥٠٨: و حَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ
عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ
الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ
أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ
يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّلَاةِ.
Artinya:
Shahih Muslim nomor 508: Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin
Humaid, telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan
kepada kami Ma'mar dari Ashim dari Mu'adzah dia berkata:
"Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata: 'Mengapa gerangan
wanita yang haid mengqada puasa dan tidak mengqada salat?' Maka Aisyah
menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah?' Aku menjawab, 'Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqada salat'."
Mukhtasar
Nailul Authar halaman 242 menerangkan bahwa hadis di atas menunjukkan larangan melaksankan
salat dan puasa ketika sedang haid, dan ini sudah merupakan ijmak. Hadis di atas
juga menunjukkan bahwa akal bisa bertambah dan berkurang, begitu juga keimanan.
Maksud kurangnya akal wanita bukan tercelanya wanita dalam hal ini, akan tetapi
sebagai peringatan tentang bisa terjadinya fitnah karena wanita. Dan kurangnya
agama tidak hanya karena dosa, akan tetapi lebih umum dari itu, karena ini
merupakan perkara yang abstrak. Maka yang sempuna, umpamanya, kurang dari yang
lebih sempurna. Begitu juga wanita haid, ia tidak berdosa karena meninggalkan salat
ketika haid, akan tetapi ia kurang bila dibandingkan dengan yang salat. Ibnu Al
Mundzir, An-Nawawi dan yang lainnya mencatat adanya ijmak kaum muslimin, bahwa
wanita haid tidak diperintah mengqada salat, namun ia wajib mengqada puasa.
D. Wanita Haid Dilarang Tawaf di Baitullah
Terdapat
larangan bagi wanita haid supaya tidak melakukan tawaf di Baitullah (Kakbah). Hal
tersebut termasuk tawaf ketika haji ataupun umrah. Adapun dalil larangannya adalah
sebagai berikut.
Hadis Ke-10
صحيح البخاري ٢٩٤: حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ مَا
يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ قَالَ
لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ
عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي
بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
Artinya:
Shahih Bukhari nomor 294: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim
berkata: telah menceritakan kepadaku 'Abdul 'Aziz bin Abu Salamah dari 'Abdurrahman
bin 'Abdullah Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah
ia berkata: "Kami keluar bersama Nabi SAW dan tidak ada yang kami ingat
kecuali untuk menunaikan haji. Ketika kami sampai di suatu tempat bernama Sarif,
aku mengalami haid. Lalu Nabi SAW masuk menemuiku saat aku sedang menangis.
Maka beliau bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Aku jawab:
"Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji." Beliau
berkata: "Barangkali kamu mengalami haid?" Aku jawab:
"Benar." Beliau pun bersabda: "Yang demikian itu adalah perkara
yang sudah Allah tetapkan bagi putri-putri keturunan Adam. Maka lakukanlah apa
yang dilakukan orang yang berhaji kecuali tawaf di Kakbah hingga kamu
suci."
E. Wanita Haid Tidak Boleh Puasa
Syariat
agama Islam juga mengatur bagwa wanita haid diharamkan berpuasa. Adapun puasa
wajib yang ditinggalkannya wajib untuk diganti di hari yang lain atau qada.
Adapun dalil adanya ketentuan wanita sedang haid tidak boleh berpuasa adalah
sebagai berikut.
Hadis Ke-11
سنن أبي داوود ٢٢٩: حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي
قِلَابَةَ عَنْ مُعَاذَةَ، أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ أَتَقْضِي
الْحَائِضُ الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ لَقَدْ كُنَّا نَحِيضُ
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نَقْضِي وَلَا
نُؤْمَرُ بِالْقَضَاءِ. حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ
يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ
أَيُّوبَ عَنْ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةِ عَنْ عَائِشَةَ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ
أَبُو دَاوُد وَزَادَ فِيهِ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
Artinya: Sunan Abu Daud nomor 229: Telah menceritakan
kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib,
telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Mu'adzah
bahwasanya ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah: Apakah wanita yang
haid harus mengqada salat? Aisyah berkata: Apakah kamu orang Haruriah, kami
biasa haid pada masa Rasulullah SAW, lalu kami tidak mengqada (salat) dan tidak
pula diperintahkan untuk mengqadanya. Telah menceritakan kepada kami Al
Hasan bin Amru, telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Abdul Malik
dari Ibnu Al Mubarak dari Ma'mar dari Ayyub dari Mu'adzah
Al Adawiyyah dari Aisyah dengan hadis ini. Abu Dawud berkata: Dan
dia menambahkan padanya: Kami diperintahkan mengqada (mengganti) puasa dan
tidak diperintahkan mengqada salat.
Demikian
beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan
taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah
mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga
pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Aamiin.