Monday, January 27, 2025

Serial Taharah: Cara Bersuci dan Menyucikan Najis


 

Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai cara bersuci dan menyucikan najis.

 

A. Cara Bersuci

Bersuci terkait dengan istilah istinja. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istinja berarti membersihkan dubur atau kemaluan sebelum berwudu. Bersuci dari najis itu hendaknya memperhatikan beberapa hal yang penting. Adapun beberapa hal yang dimaksud di antaranya adalah bersuci dari najis dengan menggunakan tangan kiri. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-1

صحيح البخاري ١٥٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلَا يَسْتَنْجِي بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 150: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf berkata: telah menceritakan kepada kami Al Auza'i dari Yahya bin Abu Katsir dari 'Abdullah bin Abu Qatadah dari Bapaknya dari Nabi SAW, beliau bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian buang air (kencing), maka janganlah ia memegang kemaluannya dengan tangan kanannya, janganlah ia beristinja dengan tangan kanannya dan janganlah bernafas dalam tempat air minum.”

 

Sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita petik. Pelajaran tersebut adalah ketika buang air/ kencing hendaknya tidak memegang kemaluan dengan tangan kanan. Selain itu ketika beristinja tidak menggunakan tangan kanan. Hadis tersebut juga memberi pelajaran supaya tidak meniup minuman. Mengenai pelajaran ketika buang air/ kencing hendaknya tidak memegang kemaluan dengan tangan kanan juga dijelaskan dalam hadis berikut.

 

Hadis Ke-2

صحيح مسلم ٣٩٢: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنْ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 392: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dari Hammam dari Yahya bin Abu Katsir dari Abdullah bin Abu Qatadah dari Bapaknya, dia berkata: "Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika kencing, jangan istinjak dengan tangan kanan, dan jangan bernafas pada tempat air minum.”

 

Dua hadis tadi menerangkan cara bersuci, yaitu menggunakan tangan kiri. Adapun media bersuci dengan menggunakan air. Apabila air sulit ditemukan atau dalam keadaan minim air, maka beristinja bisa menggunakan tiga buah batu atau tiga sisi batu. Beristinjak (bersuci sehabis buang air besar/ kecil) dengan batu hendaknya yang ganjil bilangannya dan yang lebih utama adalah dengan 3 buah batu. Boleh juga dengan sebuah batu yang mempunyai 3 sisi. Adapun hadisnya adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-3

مسند أحمد ٢٠٨٦٧: حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ هِشَامٍ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ خُزَيْمَةَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ أَبِيهِ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ الِاسْتِطَابَةِ فَقَالَ ثَلَاثَةُ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 20867: Telah bercerita kepada kami Ibnu Numair dari Hisyam, telah bercerita kepadaku Amr bin Khuzaimah dari Umaroh bin Khuzaimah dari Bapaknya (yaitu) Khuzaimah bin Tsabit bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hal istithabah (membersihkan diri dari berak dan kencing). Maka beliau bersabda, ”Beristithabah itu dengan tiga buah batu yang tak ada kotoran dalam tiga batu itu.”

 

Hadis Ke-4

سنن أبي داوود ٣٧: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الِاسْتِطَابَةِ فَقَالَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ. قَالَ أَبُو دَاوُد كَذَا رَوَاهُ أَبُو أُسَامَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي ابْنَ عُرْوَةَ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 37: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin 'Urwah dari 'Amru bin Khuzaimah dari 'Umarah bin Khuzaimah dari Khuzaimah bin Tsabit dia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW ditanya tentang hal istithabah (membersihkan diri dari berak dan kencing). Maka beliau bersabda, “Beristithabah itu dengan tiga buah batu yang tak ada kotoran dalam tiga batu itu.” Abu Dawud berkata: Begitulah diriwayatkan oleh Abu Usamah dan Ibnu Numair dari Hisyam, yakni Ibnu Urwah.

 

B. Membersihkan Kencing Bayi Laki-laki

Pada dasarnya, air kencing manusia adalah najis. Pembersihan najis air kencing manusia sebagaimana pada umumnya dengan cara menyuci atau menyiram dengan air. Namun demikian terdapat riwayat yang menjadi pengecuali hal tersebut. Riwayat tersebut membicarakan mengenai air kencing bayi laki-laki. Kencing bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu (ASI), cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena kencing. Hal ini sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-5

صحيح مسلم ٤٣٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ، فَأُتِيَ بِصَبِيٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 430: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Bapaknya dari Aisyah istri Nabi SAW, bahwasannya dahulu Rasulullah SAW pernah diserahi beberapa bayi (agar didoakan), maka Rasulullah mendoakan mereka dengan keberkatan, dan mentahnik mereka (melumurkan pada langit-langit mulut bayi dengan kurma yang dikunyah). Dan beliau pernah diserahi bayi, lalu bayi tersebut mengencingi beliau, lalu beliau meminta air, kemudian memercikkan air pada kencing bayi tersebut, dan tidak mencucinya.

 

Hadis Ke-6

صحيح مسلم ٤٣١: و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَبِيٍّ يَرْضَعُ فَبَالَ فِي حَجْرِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ. و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا هِشَامٌ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 431: Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hisyam dari Bapaknya dari Aisyah, ia berkata: “Pernah didatangkan kepada Nabi SAW bayi yang masih menyusu, kemudian bayi tersebut kencing di pangkuan beliau. Beliau kemudian minta air, lalu menuangkannya pada kencing tersebut.” Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami Isa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dengan sanad ini semisal hadis Ibnu Numair."

 

Hadis Ke-7

صحيح مسلم ٤٣٢: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ، أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنٍ لَهَا لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ فَوَضَعَتْهُ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ قَالَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى أَنْ نَضَحَ بِالْمَاءِ. و حَدَّثَنَاه يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 432: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh bin Al-Muhajir, telah mengabarkan kepada kami Al-Laits dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah dari Ummu Qais binti Mihshan bahwasannya ia datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum makan makanan, lalu beliau meletakkannya di pangkuan beliau. Kemudian bayi tersebut kencing.” (Ubaidullah) berkata, “Maka beliau tidak melakukan sesuatu kecuali hanya sekedar memercikkan air (pada bekas kencingnya).” Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Amru An-Naqid serta Zuhair bin Harb semuanya dari Ibnu Uyainah dari Az-Zuhri dengan sanad ini. Dan dia sebutkan, "Lalu beliau meminta air, lalu menyiramnya."

 

Hadis Ke-8

صحيح البخاري ٢١٦: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 216: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata: telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa anaknya yang masih kecil yang belum makan makanan. Kemudian Rasulullah SAW mendudukkan anak kecil itu di pangkuan beliau, lalu anak kecil itu kencing mengenai pakaian beliau, kemudian beliau minta diambilkan air lalu memercikkannya dan tidak mencucinya.

 

Melalui berbagai hadis yang menerangkan tentang kedudukan kencing bayi, maka dapat diambil beberapa pelajaran. Hadis-hadis yang ada kemudian dapat dipahami bahwa untuk menyucikan kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan selain air susu ibu, cukup dengan memercikkan air pada bekas kencing tersebut. Adapun untuk bayi perempuan, walaupun belum makan makanan, cara menyucikannya sama dengan kencing orang dewasa.

 

C. Bekas Darah Haid Setelah Dicuci Tidak Hilang Maka Tidak Dianggap Najis

Pakaian yang terkena najis hendaknya dibersihkan. Hal tersebut supaya pakaian yang terkena najis bisa disucikan kembali. Ketika sudah menjadi bersih dan suci, maka bisa kita gunakan dalam keseharian kita dan juga kita gunakan untuk salat yang merupakan wujud beribadah kepada Allah. Namun demikian, ketika sudah semaksimal mungkin mencuci baju kemudian masih ada bekas darah haid yang tidak bisa hilang setelah dicuci, maka hal tersebut tidak dianggap najis. Mengenai cara membersihkan noda darah haid adalah sebagaimana disampaiakan dalam hadis berikut.

 

Hadis Ke-9

صحيح مسلم ٤٣٨: و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ: جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ. و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ ح و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنِي ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَعَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 438: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim dan lafal tersebut miliknya, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Hisyam bin Urwah, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Fatimah dari Asma', dia berkata: Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW lalu bertanya, “Salah seorang diantara kami pakaiannya terkena darah haid, bagaimana cara membersihkannya?” Nabi SAW menjawab, “(Hendaklah) ia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu mencucinya, lalu ia boleh salat dengan pakaian itu.” Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepada kami Abu Ath-Thahir, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab, telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Abdullah bin Salim dan Malik bin Anas serta Amru bin Al-Harits semuanya dari Hisyam bin Urwah dengan sanad ini seperti hadis Yahya bin Sa'id."

 

Adapun ketika sudah semaksimal mungkin mencuci baju kemudian masih ada bekas darah haid yang tidak bisa hilang setelah dicuci, maka hal tersebut tidak dianggap najis. Hal tersebut sebagaimana riwayat hadis berikut.

 

Hadis Ke-10

مسند أحمد ٨٤١٢: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ الضَّبِّيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ عِيسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ يَسَارٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِي إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ؟ قَالَ: فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِي مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّي فِيهِ. قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ؟ قَالَ: يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ.

Artinya: Musnad Ahmad 8412: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Dawud Adl Dlibbi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Ubaidillah bin Ja'far dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah, ia berkata: Bahwa Khaulah binti Yasar datang kepada Nabi SAW ketika haji atau umrah, lalu ia berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki baju kecuali hanya satu, padahal aku sedang haid." Beliau bersabda: "Jika kamu telah suci maka cucilah tempat yang ada darahnya kemudian salatlah dengannya." Ia berkata: “Ya Rasulullah bagaimana jika tidak hilang darahnya?” Beliau bersabda, ”Cukup bagimu (mencuci dengan) air, dan tidak mengapa bagimu bekas darah itu.”

Keterangan: Terkait rawi Ibnu Lahi’ah, namanya adalah Abdullah bin Lahi'ah. Ia merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Negeri hidup di Maru dan wafat pada tahun 174 H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Abu Zur'ah mengatakan: la yadlbuth, Muhammad bin Sa'd dan Adz Dzahabi mengatakan: dla'if, Hakim mengatakan: dzahibul hadits, dan Ibnu Hajar mengatakan: shaduuq. Hadis yang menceritakan kabar ini dari Abdullah bin Lahi’ah juga diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 310, Baihaqi nomor 3785.

 

Hadis Ke-11

بلوغ المرام ٣٥ : وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ الدَّمُ؟ قَالَ: يَكْفِيك الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّك أَثَرُهُ. أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَسَنَدُهُ ضَعِيفٌ.

Artinya: Bulughul Maram nomor 35: Dan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Khaulah bertanya, ”Ya Rasulullah bagaimana jika tidak hilang darahnya?” Beliau bersabda, ”Cukup bagimu (mencuci dengan) air, dan tidak mengapa bagimu bekas darah itu.” Dikeluarkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang lemah.

 

D. Air Mani Tidak Najis

Mani dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa mani adalah cairan kental yang menyembur dari kelamin laki-laki pada waktu ejakulasi, merupakan produk dari berbagai organ, misalnya dari buah zakar, gelembung mani, kelenjar prostat; sperma. Adapun dalam pandangan agama, apakah air mani termasuk najis? Mengenai air mani, para ulama berbeda pendapat mengenai status air mani itu najis ataukah tidak. Adapun pendapat yang ada adalah sebagai berikut.

 

1. Pendapat Pertama

Air mani hukumnya najis sehingga apabila mengenai anggota tubuh atau pakaian harus dibersihkan. Namun jika air mani itu sudah kering, cara menyucikannya cukup dikerik (digosok). Sedangkan ada pula yang berpendapat, cara menyucikannya adalah dengan membasuhnya (mencucinya) ketika mani tersebut dalam keadaan masih basah. Hal ini berlandaskan hadis berikut.

 

Hadis Ke-12

سنن الدارقطني ٤٤٣: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، نا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، ثنا الْحُمَيْدِيُّ، نا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، نا الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إِذَا كَانَ رَطْبًا.

Artinya: Sunan Daruquthni nomor 443: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abu Isma'il At-Tirmidzi, telah menceritakan kepada kami Al Humaidi, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Bakr, telah menceritakan kepada kami Al Auza'i, dari Yahya bin Sa'id, dari Amrah, dari Aisyah, ia mengatakan, "Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah SAW apabila kering, dan aku mencucinya apabila basah."

 

2. Pendapat Kedua

Air mani hukumnya suci. Pendapat ini memahami bahwa air mani adalah suci. Hal tersebut berpegangan pada hadis berikut.

 

Hadis Ke-13

سنن أبي داوود ٣١٧: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِيهِ. قَالَ أَبُو دَاوُد وَافَقَهُ مُغِيرَةُ وَأَبُو مَعْشَرٍ وَوَاصِلٌ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 317: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hammad bin Abu Sulaiman dari Ibrahim dari Al Aswad dari Aisyah dia berkata: Saya pernah menggosok mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau salat dengan pakaian tersebut. Abu Daud berkata: Hadis ini di sepakati pula oleh Mughirah, Abu Ma'syar dan Washil.

 

Melalui hadis yang ada, Rasulullah SAW mencuci kain yang terkena mani itu tidak berarti mani itu najis. Hal tersebut dikarenakan sering juga orang mencuci kain yang terkena ludah atau ingus. Oleh sebab itu, hal tersebut hanya masalah kebersihan saja. Adapun riwayat yang mempertegasnya adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-14

صحيح مسلم ٤٣٦: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ سَأَلْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ ثَوْبَ الرَّجُلِ أَيَغْسِلُهُ أَمْ يَغْسِلُ الثَّوْبَ فَقَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْسِلُ الْمَنِيَّ ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ فِيهِ. و حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ يَعْنِي ابْنَ زِيَادٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ وَابْنُ أَبِي زَائِدَةَ كُلُّهُمْ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ أَمَّا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ فَحَدِيثُهُ كَمَا قَالَ ابْنُ بِشْرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْسِلُ الْمَنِيَّ وَأَمَّا ابْنُ الْمُبَارَكِ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ فَفِي حَدِيثِهِمَا قَالَتْ كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 436: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dari Amru bin Maimun, dia berkata: "Saya bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang mani yang mengenai kain seorang laki-laki, apakah dia harus mencucinya (bekasnya) atau mencuci bajunya?" Maka dia menjawab, " Aisyah telah mengabarkan kepadaku, “Adalah Rasulullah SAW mencuci mani, kemudian beliau keluar untuk salat dengan memakai kain itu, sedang saya melihat bekas cucian itu. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al-Jahdari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, yaitu Ibnu Ziyad. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Al-Mubarak dan Ibnu Abu Zaidah, mereka semua meriwayatkan dari Amru bin Maimun dengan isnad ini, sedangkan Ibnu Abu Zaidah maka hadisnya sebagaimana Ibnu Bisyr mengatakan, "Bahwa Rasulullah SAW mencuci mani." Sedangkan Ibnu Al-Mubarak dan Abdul Wahid, maka dalam hadis mereka berdua Aisyah berkata: "Saya dahulu mencuci mani dari baju Rasulullah SAW."

 

Hadis Ke-15

صحيح مسلم ٤٣٥: و حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ وَهَمَّامٍ عَنْ عَائِشَةَ، فِي الْمَنِيِّ قَالَتْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَرُوبَةَ جَمِيعًا عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مُغِيرَةَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ مَهْدِيِّ بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ وَاصِلٍ الْأَحْدَبِ ح و حَدَّثَنِي ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مَنْصُورٍ وَمُغِيرَةَ كُلُّ هَؤُلَاءِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ فِي حَتِّ الْمَنِيِّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ حَدِيثِ خَالِدٍ عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هَمَّامٍ عَنْ عَائِشَةَ بِنَحْوِ حَدِيثِهِمْ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 435: Dan telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafs bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Al-A'masy dari Ibrahim dari Al-Aswad, dan Hammam dari Aisyah tentang mani, ia berkata, “Sesungguhnya saya pernah menggosoknya (mani itu) dari kain Rasulullah SAW.” Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hammad, yaitu Ibnu Zaid, dari Hisyam bin Hassan. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Arubah semuanya (meriwayatkan) dari Abu Ma'syar. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Mughirah. Dalam riwayat lain disebutkan, dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dari Mahdi bin Maimun dari Wasil bin Al-Ahdab. Dalam riwayat lain disebutkan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur, telah menceritakan kepada kami Israil dari Manshur dan Mughirah, mereka semuanya meriwayatkan dari Ibrahim dari Al-Aswad dari Aisyah dalam hal memenggosok mani dari baju Rasulullah SAW, ' semisal hadis Khalid dari Abu Ma'syar." Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyainah dari Manshur dari Ibrahim dari Hammam dari Aisyah semisal hadis mereka."

 

E. Cara Membersihkan Bejana Dijilat Anjing

Terkait bejana yang dijilat oleh anjing, maka perlu beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terdapat riwayat yang menceritakan bejana dijilat anjing. Oleh sebab itu, perlu diketahui tata cara membersihkan bejana yang dijilat anjing. Hal ini perlu mencermati beberapa riwayat berikut.

 

Hadis Ke-16

صحيح البخاري ١٦٧: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 167: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila ada anjing minum pada bejana seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali.”

 

Hadis Ke-17

صحيح مسلم ٤١٨: و حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ أَخْبَرَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي رَزِينٍ وَأَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ. و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَقُلْ فَلْيُرِقْهُ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 418: Dan telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr As-Sa'di, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir, telah mengabarkan kepada kami Al-A'masy dari Abu Razin, dan Abu Shalih dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: “Apabila ada seekor anjing minum/ menjilat pada bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia membuang airnya, kemudian hendaklah mencucinya tujuh kali.” Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ash-Shabbah, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Zakariya' dari Al-A'masy dengan sanad ini yang semisalnya, dan dia tidak menyebutkan, 'Maka hendaklah ia membaliknya membuang airnya.'

 

Hadis Ke-18

صحيح مسلم ٤١٩: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 419: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata: Saya membacakannya di hadapan Malik: dari Abu az-Zinad dari Al-A'raj dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila ada anjing minum pada bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali.”

 

Hadis Ke-19

صحيح مسلم ٤٢٠: و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 420: Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sucinya bejana seseorang di antara kalian apabila ada anjing minum/ menjilat padanya adalah dengan mencucinya tujuh tujuh kali, yang pertama dengan tanah.”

 

Melalui hadis yang ada, dapat dipahami bahwa cara membersihkan bejana jika dijilat anjing. Adapun bejana yang dimaksud bisa berupa gelas, piring, baskom, dan yang semisalnya. Apabila bejana tersebut dijilat anjing atau ada anjing yang minum dengannya, maka cara membersihkannya adalah mencucinya tujuh kali dan yang pertama dicampur dengan tanah/ debu.

 

Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.

 

Monday, January 20, 2025

Serial Taharah: Media Pembersihan Najis dan Hadas

Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai media pembersihan najis dan hadas.

 

A. Media Air

Bersuci (taharah) memakai air maksudnya membersihkan diri dari najis maupun hadas menggunakan air sebagai medianya. Air menurut KBBI merupakan cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau yang terdapat dan diperlukan dalam kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara kimiawi mengandung hidrogen dan oksigen. Bisa juga air diartikan benda cair yang biasa terdapat di sumur, sungai, danau yang mendidih pada suhu 100°C. Air merupakan senyawa penting bagi semua bentuk kehidupan di Bumi.

 

Air menutupi hampir 71% permukaan Bumi. Perkiraan air yang tersedia di Bumi adalah 1,4 triliun kilometer kubik atau 330 juta mil³. Kenyataan tersebut merupakan karunia besar dari Allah. Semua makhluk hidup di Bumi membutuhkan air dan Allah cukupi. Allah menciptakan air dengan persentase besar di Bumi untuk kebutuhan makhluk-Nya, termasuk manusia. Air digunakan manusia untuk kebutuhannya maupun digunakan dalam peribadatannya. Mengingat begitu pentingnya air dalam beribadah, Islam mengatur sedemikian rupa perihal air dan membaginya dalam berbagai macam kategori hingga menentukan hukum-hukumnya. Mari kita simak pembahasan singkat berikut mengenai macam air.

 

1. Air Mutlak

Air mutlak merupakan air suci dan menyucikan. Air mutlak maksudnya adalah zat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Adapun macam air mutlak adalah sebagai berikut.

 

a. Air Hujan

Hujan dalam KBBI merupakan titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Air hujan yang jatuh sebagian mengalir di permukaan dan sebagian meresap ke dalam tanah. Sehingga air hujan disini meliputi  air yang jatuh di darat seperti air sungai, air sumur, mata air. Air hujan tergolong air mutlak berdasarkan Firman Allah SWT dalam Alquran Surat Al Anfal ayat 11.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-1

اِذْ يُغَشِّيْكُمُ النُّعَاسَ اَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلٰى قُلُوْبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْاَقْدَامَۗ. الانفال: ١١

Artinya: (Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai penenteraman dari-Nya dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, dan menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu. (QS. (Al-Anfal/8:11).

 

Menurut Surat Al Anfal ayat 11 tadi sudah jelas bahwa hujan yang diturunkan Allah dapat digunakan untuk bersuci. Adapun maksudnya bersuci adalah untuk menghilangkan najis maupun hadas. Sehingga dalam hal ini, air hujan sah digunakan untuk wudu maupun mandi janabat.

 

b. Salju, Embun, dan Air Sejuk

Sebelum membahas dalil tentang kebolehan salju, embun dan air sejuk yang digunakan untuk bersuci, mari kita simak bagaimana pengertian singkat salju, embun, dan air sejuk. Salju dalam KBBI berarti butiran uap air berwarna putih bagaikan kapas yang membeku di udara dan jatuh ke bumi akibat temperatur udara di daerah itu berada di bawah titik beku. Salju merupakan pengendapan (presipitasi) padat dalam bentuk kristal es. Salju berasal dari awan ketika suhu berada di bawah titik beku (0°C atau 32°F), sehingga uap air di atmosfer berkondensasi langsung menjadi es tanpa melalui tahap cair. Salju terbentuk dari kepingan salju mulai sebagai uap air di awan. Ketika awan sangat dingin, uap air berubah menjadi kristal es. Salju terbentuk ketika kristal es kecil di awan bersatu menjadi kepingan salju (snowflakes) saat suhu rendah dan ada kelembaban di atmosfer. Kepingan salju terdiri dari banyak kristal es kecil yang saling menempel. Kemudian kepingan salju akan menjadi cukup berat sehingga jatuh ke bumi. Kepingan salju yang turun melalui udara lembab yang sedikit lebih hangat dari 0°C akan meleleh di sekitar tepinya dan tetap bersatu menghasilkan serpihan besar. Kepingan salju yang jatuh melalui udara yang dingin dan kering menghasilkan salju bubuk yang tidak saling menempel.

 

Sementara itu, embun dalam KBBI berarti titik-titik air yang jatuh dari udara (terutama pada malam hari) atau uap yang menjadi titik-titik air. Embun adalah titik-titik air yang terbentuk karena adanya proses kondensasi, yaitu proses perubahan wujud air dari gas menjadi cair. Embun terbentuk bila udara mengandung banyak uap air, suhunya cukup dingin, dan kondisi yang tidak berangin. Dikarenakan suhu menjadi lebih dingin, uap air yang menempel pada suatu benda berada pada titik jenuh sehingga berubah kembali menjadi air.

 

Selain salju dan embun, ada juga air sejuk yang merupakan air yang berada pada suhu lingkungan yang sejuk, tidak membeku, dan tidak sampai membuat seseorang kedinginan. Setelah kita tahu bagaimana pengertian salju, embun, dan air sejuk, dalil kebolehan bersuci menggunakan salju, embun, dan air sejuk adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-1

صحيح مسلم ٧٣٥: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَجْزَأَةَ بْنِ زَاهِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أَوْفَى يُحَدِّثُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاءِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَالْمَاءِ الْبَارِدِ اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي مِنْ الذُّنُوبِ وَالْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْوَسَخِ. حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ كِلَاهُمَا عَنْ شُعْبَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي رِوَايَةِ مُعَاذٍ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّرَنِ وَفِي رِوَايَةِ يَزِيدَ مِنْ الدَّنَسِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 735: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar. Ibnu al-Mutsanna berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Majza'ah bin Zahir, dia berkata: Saya mendengar Abdullah bin Abi Aufa bercerita dari Nabi SAW bahwa beliau dahulu membaca doa, "Ya Allah, Rabb kami, segala puji bagimu sepenuh langit dan bumi serta sepenuh sesuatu yang Engkau kehendaki setelah itu. Ya Allah, sucikanlah aku dengan salju, embun dan air sejuk dingin. Ya Allah bersihkanlah aku dari dosa dan kesalahan sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran." Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz, telah menceritakan kepada kami Bapakku (Mu’adz bin Mu’adz bin Nasr bin Hasan) dia berkata. Lewat jalur periwayatan lain, dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, keduanya meriwayatkan dari Syu'bah dengan isnad ini, dalam riwayat Muadz, "Sebagaimana baju yang putih dibersihkan dari kotoran (daran)." Sedangkan riwayat Yazid, "Dari kotoran (danas)."

 

Menurut hadis di atas, salju, embun, maupun air sejuk itu sah digunakan untuk bersuci. Hal tersebut sebagaimana isi doa Rasulullah di dalam hadis di atas.

 

c. Air laut

Air laut merupakan air dari laut atau samudra. Air laut dalam KBBI diartikan air di laut yang biasanya mempunyai kadar garam 30% sampai 35%. Oleh sebab itu, rata-rata dalam 1 liter (1000 mL) air laut terdapat 35 gram garam sehingga membuat air laut menjadi asin. Meski rasanya asin, air laut bisa digunakan untuk bersuci sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ke-2

سنن الترمذي ٦٤: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ ح و حَدَّثَنَا الْأَنْصَارِيُّ إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا مَعْنٌ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ مِنْ آلِ ابْنِ الْأَزْرَقِ أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ. قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَالْفِرَاسِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَابْنُ عَبَّاسٍ لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِمَاءِ الْبَحْرِ وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوُضُوءَ بِمَاءِ الْبَحْرِ مِنْهُمْ ابْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو هُوَ نَارٌ.

Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 64: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dari Malik. Dan dari jalur yang lain: Telah menceritakan kepada kami Al Anshari Ishaq bin Musa berkata: Telah menceritakan kepada kami Ma'an berkata: telah menceritakan kepada kami Malik dari Shafwan bin Sulaim dari Sa'id bin Salamah keluarga Ibnu Al Azraq, bahwa Al Mughirah bin Abi Bardah bani Abdu Ad Dar, mengabarkan kepadanya, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah, ia berkata: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, orang itu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami biasa berlayar di lautan, dan kami hanya membawa air sedikit. Apabila kami gunakan untuk berwudu, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudu dengan air laut?” Rasulullah SAW bersabda, “Dia (laut) itu suci airnya dan halal bangkainya.” Dalam bab ini juga ada riwayat dari Jabir dan Al Firasi. Abu Isa berkata: "Hadis ini derajatnya hasan shahih, dan ini adalah pendapat yang diambil oleh kebanyakan fukaha dari kalangan sahabat Nabi SAW. Di antaranya adalah Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Mereka berpendapat bahwa bersuci dengan air laut itu dibolehkan. Namun ada juga sebagian sahabat Nabi SAW yang memakruhkan hal itu, di antara mereka adalah Ibnu Umar dan Abdullah bin 'Amru. Dan Abdullah bin 'Amru berkata: "Itu adalah api."

 

2. Air Muntanajis

Air muntanajis adalah air yang kemasukan najis. Namun demikian bagaimana dengan kebolehan bersuci dengan air muntanajis ini? Mari kita simak pembahasan singkat berikut.

 

Hadis Ke-3

سنن الترمذي ٦١: حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَقَدْ جَوَّدَ أَبُو أُسَامَةَ هَذَا الْحَدِيثَ فَلَمْ يَرْوِ أَحَدٌ حَدِيثَ أَبِي سَعِيدٍ فِي بِئْرِ بُضَاعَةَ أَحْسَنَ مِمَّا رَوَى أَبُو أُسَامَةَ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةَ.

Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 61: Telah menceritakan kepada kami Hannad dan Al Hasan bin Ali Al Khallal dan yang lainnya, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Al Walid bin Katsir dari Muhammad bin Ka'ab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Rafi' bin Khadij dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya air itu adalah pembersih yang tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun.” Abu Isa berkata: "Hadis ini hasan, Abu Usamah telah menyatakan bahwa dia adalah hadis yang baik, dan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadis Abu Sa'id tentang sumur Budla'ah yang lebih baik dari apa yang diriwayatkan oleh Abu Usamah. Dan hadis ini telah diriwayatkan dari beberapa jalur dari Abu Sa'id. Juga dalam bab ini ada hadis dari Ibnu Abbas dan Aisyah."

 

Hadis Ke-4

سنن ابن ماجه ٥١٤: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ وَالْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِيَّانِ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا رِشْدِينُ أَنْبَأَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ.

Artinya: Sunan Ibnu Majah nomor 514: Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid dan 'Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Marwan bin Muhammad berkata: Telah menceritakan kepada kami Risydin berkata: Telah memberitakan kepada kami Mu'awiyah bin Shalih dari Rasyid bin Sa'd dari Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun, kecuali oleh barang yang merubah baunya, rasanya dan warnanya.”

Keterangan: Rawi yang bernama Risydin bin Sa'ad Muflih merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Ia wafat tahun 188 H. Komentar ulama tentangnya yaitu Yahya bin Ma'in mengatakan: Hadisnya tidak ditulis; Abu Hatim, Abu Zur'ah, An Nasa'i, Abu Dawud, Ad Daruquthni mengatakan dla'iful hadits, Ibnu Sa'd dan Ibnu Hajar Al 'Asqalani mengatakan dla'if.

 

Melalui dua hadis di atas dapat dipahami bahwa hadis ke-3 menerangkan bahwa air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu hal. Sedangkan hadis ke-4 menjelaskan bahwa air tidak bisa dinajiskan kecuali berubah baunya, rasanya, dan warnanya. Namun demikian hadis kedua adalah hadis dla’if. Oleh karenanya timbul berbagai pendapat dalam memahami kebolehan bersuci dengan air muntanajis. Adapun pendapat yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Pendapat pertama memahami bahwa air tetap tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu hal. Sehingga meskipun air berubah bau, rasa, dan bau, tetap bisa digunakan untuk bersuci. Alasannya adalah hadis yang menyatakan pengecualian pada air yang berubah bau, rasa, dan warnanya adalah hadis dengan derajat yang lemah (dla’if).

b. Pendapat kedua memahami bahwa air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu hal. Namun apabila kemasukan najis sehingga berubah bau, rasa, dan warnanya itu tidak dipakai untuk bersuci. Alasannya adalah hadis ke-4 tadi dengan derajat yang lemah (dla’if) yang menyatakan pengecualian air yang berubah bau, rasa, dan warnanya itu bisa digunakan sebagai pembatas (ihtiyath).

 

3. Air Musta’mal

Air mus’tamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Supaya mengerti kebolehan air musta’mal digunakan untuk bersuci, mari kita simak penjelasan singkat berikut.

 

Hadis Ke-5

سنن أبي داوود ٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ حُمَيْدٍ الْحِمْيَرِيِّ قَالَ: لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ زَادَ مُسَدَّدٌ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 74: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair dari Dawud bin Abdullah. Dan menurut jalur yang lain: telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Dawud bin Abdullah dari Humaid Al Himyari dia berkata: Saya pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah bersahabat dengan Nabi SAW empat tahun sebagaimana Abu Hurairah bersahabat dengan beliau, dia berkata: “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang orang perempuan mandi dengan sisa air mandi orang laki-laki, dan orang laki-laki mandi dengan sisa air mandi orang perempuan, dan hendaklah mereka masing-masing menceduknya.”

Keterangan: Meski ada rawi (seorang laki-laki) yang tidak diketahui namanya, tetapi statusnya adalah sahabat sehingga terpercaya.

 

Hadis Ke-6

صحيح مسلم ٤٨٧: و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَكْبَرُ عِلْمِي وَالَّذِي يَخْطِرُ عَلَى بَالِي أَنَّ أَبَا الشَّعْثَاءِ أَخْبَرَنِي أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 487: Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad bin Hatim. Ishaq berkata telah mengabarkan kepada kami, sedangkan Ibnu Hatim berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakar, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku Amru bin Dinar dia berkata: "Ilmuku yang terbesar dan yang membekas dalam hatiku adalah bahwa Abu Asy-Sya'tsa' telah mengabarkan kepadaku bahwa Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW pernah mandi dengan sisa air istrinya, Maimunah.”

 

Hadis Ke-7

مسند أحمد ٢٥٥٧٣: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ بِفَضْلِ غُسْلِهَا مِنْ الْجَنَابَةِ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 25573: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud. Abu Daud At Thayalisi berkata: telah mengabarkan kepada kami Syarik dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Maimunah, bahwasannya Rasulullah SAW berwudu dengan air sisa mandi janabatnya Maimunah."

 

Melalui ketiga hadis di atas bisa kita mengerti bahwa hadis ke-5 menegaskan bahwa Rasulullah SAW melarang orang perempuan mandi dengan air sisa orang laki-laki atau orang laki-laki dilarang mandi dengan air sisa mandi orang perempuan. Namun pada hadis ke-5 juga menerangkan tentang masing-masing orang menceduk air. Hadis ke-6 menerangkan bahwa Rasulullah pernah mandi dengan sisa air istrinya yang bernama Maimunah. Hadis ke-7 menerangkan tentang Rasulullah yang pernah berwudu dengan sisa air mandi janabatnya Maimunah. Namun pada hadis ke-6 dan ke-7 tidak ada keterangan bahwa hanya khusus untuk Rasulullah.

 

Melalui hadis-hadis di atas, seakan berlawanan antara hadis ke-5 dan hadis ke-6 bersama hadis ke-7. Oleh karenanya, kita takwil bahwa apabila hadis ke-5 adalah hadis yang shahih, tentu hukum larangan yang ada pada hadis ke-5 adalah makruh. Sebagai catatan, makruh di sini berlaku bagi laki-laki atau perempuan yang mandi dalam tempat bekas yang dipakai oleh seseorang yang bukan merupakan suami atau istrinya. Hal tersebut sebagai sarana pendidikan bagi seseorang menjaga kehormatan masing-masing dan membatasi pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Terlebih-lebih orang yang bukan mahramnya hingga ke tingkat yang paling halus sekalipun. Namun demikian apabila terpaksa menggunakan air dari tempat yang sama, maka diberi jalan supaya masing-masing orang menceduk air untuk keperluannya dan tidak masuk atau menyelam ke dalam wadah air. Sehingga dengan jalan menceduk, air di suatu tempat dapat digunakan oleh banyak orang.

 

4. Air Kemasukan Bangkai Tak Berdarah

Air kemasukan bangkai tak berdarah maksudnya adalah air yang mengandung bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir. Bagaimana kebolehan bersuci dengan air ini? Mari kita simak hadis berikut.

 

Hadis Ke-8

سنن الدارقطني ٨١: حَدَّثَنَا أَبُو هَاشِمٍ عَبْدُ الْغَافِرِ بْنُ سَلَامَةَ الْحِمْصِيُّ، قَالَ: وَجَدْتُ فِي كِتَابِي عَنْ يَحْيَى بْنِ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدٍ الْحِمْصِيِّ، نا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ بِشْرِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ. وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدِ بْنِ سُهَيْلٍ، نا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي الْأَخْيَلِ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، نا بَقِيَّةُ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ بِشْرِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا سَلْمَانُ كُلُّ طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَقَعَتْ فِيهِ دَابَّةٌ لَيْسَ لَهَا دَمٌ فَمَاتَتْ فِيهِ فَهُوَ حَلَالٌ أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ وَوُضُوؤُهُ. لَمْ يَرْوِهِ غَيْرُ بَقِيَّةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الزُّبَيْدِيِّ وَهُوَ ضَعِيفٌ.

Artinya: Sunan Daruquthni nomor 81: Telah menceritakan kepada kami Abu Hasyim Abdul Ghafir bin Salamah Al Himshi, ia berkata: Saya temukan di dalam bukuku: Dari Yahya bin Utsman bin Sa'id Al Himshi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah bin Al Walid, dari Sa'id bin Abu Sa'id Az Zubaidi, dari Bisyr bin Manshur, dari Ali bin Zaid. Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Humaid bin Suhail, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abu Al Akhyal Al Himshi, telah menceritakan kepadaku Bapakku, menceritakan kepada kami Baqiyyah telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id, dari Bisyr bin Manshur, dari Ali bin Zaid bin Jud'an, dari Sa'id bin Al Musayyab, dari Salman, ia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda: Hai Salman, setiap makanan atau minuman (air) yang di dalamnya telah mati binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, maka halal dimakan dan diminum dan boleh dipakai untuk berwudu. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Baqiyyah, dari Sa'id bin Abu Sa'id Az-Zubaidi. Ia seorang perawi yang dinilai lemah (dla’if).

Keterangan: Ad-Daruquthni mengatakan bahwa rawi Sa'id bin Abu Sa'id Az-Zubaidi merupakan seorang perawi yang dinilai lemah (dla’if). Ibnu Adi Al Jurjani mengatakan ia adalah syekh yang tidak diketahui (majhul). Ibnu Al Jauzi mengatakan: Ibnu Adi mengatakan ia tidak diketahui.

 

Menurut hadis di atas menerangkan bahwa makanan dan minuman yang kemasukan bangkai hewan yang tidak berdarah mengalir sepertihalnya lalat dan sebagainya itu halal untuk dimakan atau diminum dan tentu air itu sah digunakan utuk berwudu. Namun demikian, hadis tersebut derajatnya lemah. Meski lemah, hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil yang ada. Hal tersebut karena air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu. Bisa pula air musta’mal yang dimaksud tetap suci asalkan tidak berubah bau, rasa, dan warnanya.

 

5. Air Tergenang

Air tergenang adalah air yang tidak mengalir. Pada dasarnya air tergenang boleh digunakan untuk bersuci. Namun terdapat ketentuan-ketentuan dalam mengunakan air tergenang untuk bersuci. Mari kita simak dalil dan penjelasan singkat berikut.

 

Hadis Ke-9

صحيح مسلم ٤٢٦: و حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَأَبُو الطَّاهِرِ وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى جَمِيعًا عَنْ ابْنِ وَهْبٍ قَالَ هَارُونُ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَشَجِّ أَنَّ أَبَا السَّائِبِ مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ. فَقَالَ: كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلًا.

Artinya: Shahih Muslim nomor 426: Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Sa'id Al-Aili dan Abu ath-Thahir serta Ahmad bin Isa, semuanya dari Ibnu Wahab, Harun berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab, telah mengabarkan kepada kami Amru bin Al-Harits dari Bukair bin Al-Asyajji, ia berkata: Sesungguhnya Abu Saib maula Hisyam bin Zuhrah menceritakan kepadanya, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang, sedang ia berjunub.” Lalu ia (Abu Saib) bertanya, “Bagaimana seharusnya orang itu berbuat, ya Abu Hurairah?” (Abu Hurairah) menjawab, “(Hendaklah) orang itu mandi dengan menceduknya.

 

Hadis Ke-10

صحيح مسلم ٤٢٤: و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 424: Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hisyam dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang diantara kamu kencing pada air yang tergenang (tidak mengalir) kemudian mandi pula darinya.”

 

Hadis Ke-11

سنن الترمذي ٦٣: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ.

Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 63: Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing pada air yang tergenang, kemudian berwudu pula darinya.” Abu Isa berkata: "Ini adalah hadis yang hasan shahih, dan dalam bab ini juga ada riwayat dari Jabir."

 

Melalui ketiga hadis di atas bisa kita pahami bahwa hadis ke-9 menyatakan bahwa orang yang berjunub (hadas besar) tidak boleh mandi dalam air tergenang dengan cara menyelam ke dalam air tergenang. Apabila seorang yang hendak mandi itu dengan cara menceduk air dengan gayung. Hadis ke-10 menyatakan bahwa kita tidak boleh kencing di air yang tergenang dan malah mandi dengan air itu. Hadis ke-11 menyatakan bahwa tidak boleh kencing pada air yang tergenang lalu berwudu dengan air tersebut. Hal tersebut tentu dengan catatan selama air itu tidak berubah bau, rasa, dan warnanya. Air bisa digunakan sebagai pembersih najis dan hadas. Air dapat digunakan untuk menghilangkan hadas besar dengan mandi janabat dan hadas kecil dengan berwudu.

 

B. Media Batu

Media untuk bersuci atau istinja selain air bisa juga menggunakan batu. KBBI menerangkan arti batu menjadi beberapa hal, yaitu: (1) benda keras dan padat yang berasal dari bumi atau planet lain, tetapi bukan logam; (2) akik (untuk mata cincin dan sebagainya); (3) intan buatan (untuk melicinkan poros-poros pada arloji); (4) baja kecil sebagai pencetus api (pada geretan dan sebagainya); (5) baterai (pada lampu senter dan sebagainya); (6) buah (dalam permainan catur dan sebagainya); (7) kata penggolong bagi gigi; (8) tonggak (pal, mil); dan (9) keras seperti batu. Adapun arti yang dimaksud pada bahasan kali ini adalah pengertian yang pertama. Biasanya istinja dengan batu dilakukan karena suatu daerah kekurangan air atau minim adanya air. Kondisi tersebut mengharuskan kum muslimin untuk bersuci atau istinja menggunakan tiga batu yang bersih. Hendaknya dengan bilangan ganjil dan lebih utama adalah dengan tiga batu. Selain itu bisa juga dengan sebuah batu yang mempunyai 3 sisi. Hal ini diterangkan dalam dalil berikut.

 

Hadis Ke-12

سنن أبي داوود ٣٧: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الِاسْتِطَابَةِ فَقَالَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ. قَالَ أَبُو دَاوُد كَذَا رَوَاهُ أَبُو أُسَامَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي ابْنَ عُرْوَةَ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 37: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An Nufaili, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin 'Urwah dari 'Amru bin Khuzaimah dari 'Umarah bin Khuzaimah dari Khuzaimah bin Tsabit, ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW ditanya tentang hal istithabah (membersihkan diri dari berak dan kencing). Maka beliau bersabda, ” Beristithabah itu dengan tiga buah batu yang tak ada kotoran dalam tiga batu itu.” Abu Dawud berkata: Begitulah diriwayatkan oleh Abu Usamah dan Ibnu Numair dari Hisyam, yakni Ibnu Urwah.

 

Hadis Ke-13

مسند أحمد ٢٣٦٢٧: حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قُرْظٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تُجْزِئُهُ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 23627: Telah menceritakan kepada kami Suraij, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Hazim, dari Bapaknya, dari Muslim bin Qozh, dari Urwah bin Zubair berkata: saya mendengar Aisyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu pergi buang air besar, maka hendaklah bersuci (membersihkan kubul atau duburnya) dengan tiga batu. Karena tiga batu itu sudah mencukupinya.”

 

Media batu ini hanya digunakan untuk istinja apabila tidak diketemukan air atau minim air. Oleh karena itu, media batu ini hanya untuk membersihkan dari najis saja.

 

C. Media Tanah

Media untuk bersuci bisa menggunakan tanah atau debu. Tanah dalam KBBI diartikan menjadi beberapa hal, yaitu: (1) permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; (2) keadaan bumi di suatu tempat; (3) permukaan bumi yang diberi batas: pemerintah menyediakan; (4) daratan; (5) permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi daerah negara; negeri; negara; (6) bahan-bahan dari bumi; bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, napal, cadas, dan sebagainya); dan (7) dasar (warna, cat, dan sebagainya). Pengertian tanah yang dimaksud dalam bahasan ini adalah pengertian yang pertama, kedua, dan keenam. Sementara debu dalam KBBI diterangkan sebagai serbuk halus (dari tanah dan sebagainya); abu; duli; lebu. Pada dasarnya ketika minim ketersediaan air, bisa beristinja menggunakan media batu, kertas, tembikar, kayu, kain, dan lain sebagainya. Prinsipnya adalah media yang digunakan untuk beristinja adalah benda-benda suci yang kesat dan tidak licin. Terdapat riwayat yang menyatakan penggunaan media tanah untuk membersihkan kotoran. Hal ini sebenarnya tidak terkait dengan badan, tetapi terkait benda-benda yang hendaknya dibersihkan menggunakan tanah. Dalil yang dimaksud adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-14

صحيح مسلم ٤٢٠: و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 420: Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, "Sucinya bejana seseorang di antara kalian apabila ada anjing minum/ menjilat padanya adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah."

 

Hadis tersebut memuat informasi bahwa cara membersihkan bejana (gelas, piring, baskom, dan sebagainya), apabila dijilat anjing atau ada anjing minum padanya, adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali. Namun yang pertama dicampur dengan debu atau tanah. Adapun tanah atau debu bisa digunakan untuk media pembersihan najis dan hadas. Adapun menghilangkan hadas melalui debu atau tanah dengan tayamum.

 

D. Media yang Dilarang Untuk Istinja

Terdapat media yang dilarang digunakan untuk istinja. Media yang dimaksud adalah meliputi dua hal. Media yang dilarang adalah kotoran binatang yang sudah kering dan tulang. Adapun penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut.

 

1. Media Kotoran Binatang yang Sudah Kering

Kototan binatang atau tahi dilarang untuk media istinja. KBBI menerangkan arti kotoran yaitu: (1) tahi (binatang atau manusia); (2) sesuatu yang menyebabkan kotor, berupa noda, bintik-bintik, daki, dan sebagainya; (3) sisa pencernaan dan metabolisme yang dikeluarkan dari tubuh, berupa tinja dan air kencing. Media yang dilarang digunakan untuk beristinja salah satunya adalah kotoran binatang yang sudah kering. Adapun riwayat yang menerangkannya adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-15

سنن الدارقطني ١٤٩: نا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ صَاعِدٍ، وَأَبُو سَهْلِ بْنُ زِيَادٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ الْحَرْبِيُّ، حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ كَاسِبٍ. ح وَحَدَّثَنَا أَبُو سَهْلِ بْنُ زِيَادٍ، نا الْحَسَنُ بْنُ الْعَبَّاسِ الرَّازِيُّ، نا يَعْقُوبُ بْنُ حُمَيْدِ بْنِ كَاسِبٍ، نا سَلَمَةُ بْنُ رَجَاءٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُسْتَنْجَى بِرَوْثٍ أَوْ عَظْمٍ، وَقَالَ: إِنَّهُمَا لَا تُطَهِّرَانِ. إِسْنَادٌ صَحِيحٌ.

Artinya: Sunan Daruquthni nomor 149: telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Sha'id dan Abu Sahl bin Ziyad, keduanya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al Harbi, telah menceritakan kepadaku Ya'qub bin Kasib. Dalam riwayat lain, telah menceritakan kepada kami Abu Sahl bin Ziyad, telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Al Abbas Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Humaid bin Kasib, telah menceritakan kepada kami Salamah bin Raja', dari Al Hasan bin Furat Al Qazzaz, dari Bapaknya, dari Abu Hazim Al Asyja'i, dari Abu Hurairah, ia berkata: Bahwa Nabi SAW melarang kita beristinja dengan kotoran hewan atau tulang, dan bersabda, ”Kotoran hewan dan tulang itu tidak dapat membersihkan.” Isnad shahih.

 

Hadis Ke-16

صحيح البخاري ١٥٢: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ لَيْسَ أَبُو عُبَيْدَةَ ذَكَرَهُ وَلَكِنْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُ: أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ: هَذَا رِكْسٌ. وَقَالَ: إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 152: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata: telah menceritakan kepada kami Zuhair dari Abu Ishaq berkata: Abu 'Ubaidah tidak menyebutkannya tetapi 'Abdurrahman bin Aswad, dari Bapaknya bahwa ia mendengar 'Abdullah (bin Mas’ud) berkata: Nabi SAW pergi buang air besar dan beliau menyuruh aku membawa tiga biji batu. Aku hanya mendapati dua biji batu. Aku cari batu yang ketiga, aku tidak memperolehnya. Karena itu, aku mengambil kotoran hewan yang sudah kering lalu kubawa kepada Rasul. Setelah Rasul menerimanya, beliaupun mengambil dua biji batu serta melemparkan kotoran hewan itu sambil bersabda: ”Itu adalah kotor.” Ibrahim bin Yusuf berkata dari Bapaknya dari Abu Ishaq berkata: Telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman.

 

2. Media Tulang

KBBI menerangkan arti tulang adalah: (1) rangka atau bagian rangka tubuh manusia atau binatang; (2) duri ikan; (3) barang yang menyerupai tulang atau rangka. Adapun dalam pembahasan ini adalah pengertian yang pertama dan kedua. Media tulang juga merupakan media yang dilarang untuk digunakan sebagai media istinja. Adapun riwayat yang menerangkan bahwa tulang dilarang sebagai media istinja adalah sebagai berikut.

 

Hadis Ke-17

صحيح مسلم ٣٨٧: حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرًا يَقُولُا: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتَمَسَّحَ بِعَظْمٍ أَوْ بِبَعْرٍ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 387: Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah, telah menceritakan kepada kami Zakariya' bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu az-Zubair bahwa dia mendengar Jabir (bin Abdullah) berkata, “Rasulullah SAW mencegah kami menyapu kubul dan dubur dengan tulang atau kotoran hewan.”

 

Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.