Monday, June 23, 2025

Serial Taharah: Hikmah Syariat Tayamum


 

Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai hikmah tayamum.

 

Setelah memahami bagaimana tata cara wudu, penting bagi kaum muslimin untuk tahu mengenai tayamum. Hal ini dikarenakan tidak semua kondisi mengharuskan seseorang untuk wudu atau bahkan mandi janabat ketika hendak salat. Adapun dalam memahaminya, perlu mengerti berbagai dalil yang terkait hikmah tayamum. Melalui dalil yang ada harapannya bisa mengerti hikmah tayamum.

 

A. Debu atau Tanah Sebagai Pengganti Air

Hikmah tayamum adalah sebagai syariat pengganti wudu ataupun mandi janabat apabila tidak ada air. Beberapa dalil di antaranya sebagai berikut. 

 

Hadis Ke-1

صحيح البخاري ٣٢٣: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ هُوَ الْعَوَقِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ ح و حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ النَّضْرِ قَالَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ هُوَ ابْنُ صُهَيْبٍ الْفَقِيرُ قَالَ أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً.

Artinya: Shahih Bukhari nomor 323: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinan yaitu Al 'Awaqi, telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata. Dalam jalur lain disebutkan, telah menceritakan kepadaku Sa'id bin An Nadlr, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Husyaim, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Sayyar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazid yaitu Ibnu Shuhaib Al Faqir, ia berkata: telah mengabarkan kepada kami Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi SAW bersabda: "Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; (1) aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan; (2) dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka di mana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu salat hendaklah ia salat; (3) dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku; (4) aku diberikan (hak) syafa'at; (5) dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia."

 

Hadis Ke-2

صحيح مسلم ٨١٠: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ سَيَّارٍ عَنْ يَزِيدَ الْفَقِيرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى حَيْثُ كَانَ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ. حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ الْفَقِيرُ أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 810: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Sayyar dari Yazid Al-Faqir dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Aku diberikan lima perkara yang mana belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Pertama, dahulu setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada setiap bangsa merah dan hitam. Kedua, ganimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, tetapi tidak dihalalkan untuk seorang pun sebelumku. Ketiga, dan bumi itu dijadikan untukku dalam keadaan suci dan mensucikan dan (sebagai) masjid juga, maka siapa pun laki-laki yang mana waktu salat mendapatinya maka dia bisa salat di mana pun dia berada. Keempat, aku ditolong dengan rasa takut (yang merasuk pada musuh di hadapanku) sejauh jarak perjalanan satu bulan. Kelima, aku diberi syafaat'." Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami Sayyar, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-Faqir, telah mengabarkan kepada kami Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda, lalu dia menyebutkan hadis semisalnya.

 

Hadis Ke-3

مسند أحمد ٧٢٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُعْطِيتُ مَا لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هُوَ قَالَ نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ الْأَرْضِ وَسُمِّيتُ أَحْمَدَ وَجُعِلَ التُّرَابُ لِي طَهُورًا وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْرَ الْأُمَمِ.

Artinya: Musnad Ahmad nomor 724: Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman, telah menceritakan kepada kami Zuhair dari Abdullah Ibnu Muhammad bin 'Aqil, dari Muhammad bin Ali bahwa dia mendengar Ali bin Abu Thalib berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Aku diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi-nabi, yaitu: Aku diberi kemenangan dengan rasa takut di pihak lawan, aku diberi kunci-kunci untuk menaklukkan beberapa negeri, aku diberi nama Ahmad, dijadikan tanah bagiku sebagai pensuci, dan dijadikan umatku sebaik-baik umat.”

Keterangan: Ada rawi Abdullah Ibnu Muhammad bin 'Aqil yang bernama Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil bin Abi Thalib merupakan tabi'in kalangan biasa. Wafat di Madinah tahun 142H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Muhammad bin Sa'd mengatakan: mungkarul hadits; Yahya bin Ma'in mengatakan: tidak boleh berhujah dengan hadisnya; Abu Hatim: layyinul hadits; Ibnu Hajar: "shuduq, tedapat kesalahan." Selain itu ada rawi Zuhair yang bernama Zuhair bin Muhammad yang merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Wafat tahun 162H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Yahya bin Ma'in mengatakan: tsiqah; Ahmad bin Hambal mengatakan: tsiqah; An Nasa'i mengatakan: dla'if; Ibnu Hibban mengatakan: disebutkan dalam 'ats tsiqaat; Adz Dzahabi mengatakan: tsiqah yughrab.

 

Hadis Ke-4

مسند أحمد ١٢٩١: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ أَبِي الْحُسَامِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ الْأَكْبَرِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيتُ أَرْبَعًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ أُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ الْأَرْضِ وَسُمِّيتُ أَحْمَدَ وَجُعِلَ التُّرَابُ لِي طَهُورًا وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْرَ الْأُمَمِ

Artinya: Musnad Ahmad nomor 1291: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Salamah bin Abu Al Husam, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil, dari Muhammad bin Ali Al Akbar bahwa dia mendengar Bapaknya, Ali bin Abu Thalib RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Saya telah diberi empat hal yang tidak diberikan kepada salah seorangpun dari Nabi-Nabi Allah. Saya diberi kunci-kunci dunia, diberi nama Ahmad, tanah dijadikan suci untukku dan umatku menjadi umat terbaik."

Keterangan: Ada rawi Abdullah Ibnu Muhammad bin 'Aqil yang bernama Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil bin Abi Thalib merupakan tabi'in kalangan biasa. Wafat di Madinah tahun 142H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Muhammad bin Sa'd mengatakan: mungkarul hadits; Yahya bin Ma'in mengatakan: tidak boleh berhujah dengan hadisnya; Abu Hatim: layyinul hadits; Ibnu Hajar: "shuduq, tedapat kesalahan." Selain itu ada rawi Zuhair yang bernama Zuhair bin Muhammad yang merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua. Wafat tahun 162H. Komentar ulama tentangnya di antaranya Yahya bin Ma'in mengatakan: tsiqah; Ahmad bin Hambal mengatakan: tsiqah; An Nasa'i mengatakan: dla'if; Ibnu Hibban mengatakan: disebutkan dalam 'ats tsiqaat; Adz Dzahabi mengatakan: tsiqah yughrab.

 

B. Tayamum Sebagai Keringanan

Syariat tayamum merupakan di antaranya keringanan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Adanya syariat tayamum akan mempermudah umat Islam ketika hendak salat, tetapi termasuk orang-orang yang memperoleh keringanan tayamum. Keringanan atau rukhsah ini mesti diterima oleh orang Islam. Perkara diambil atau tidak keringanan tersebut, kembali kepada yang bersangkutan. Menerima keringanan bukan berarti menganggap yang tidak mengambil keringanan adalah lebih baik. Namun tidak menjadikan haram suatu keringanan tersebut karena merasa mampu melaksanakan syariat tanpa keringanan. Tayamum sebagai keringanan sebagaimana dalam beberapa dalil berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Ke-1

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا. النساۤء: ٤٣

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub). Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan,156) sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa'/4:43)

Catatan:

156) Menurut jumhur, kata menyentuh pada ayat ini adalah bersentuhan kulit, sedangkan sebagian mufasir mengartikannya sebagai berhubungan suami istri. 


Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 43 bahwa musafir boleh bertayamum. Hal tersebut dikarenakan dalam ayat disebutkan apabila dalam keadaan: (1) sakit; atau (2) dalam perjalanan (musafir); atau (3) datang dari tempat buang air; atau (4) menyentuh perempuan lalu tidak memperoleh air. Beberapa poin tersebut diikuti dengan “bertayamumlah dengan debu yang baik/ suci.” Oleh sebab itu, keempat macam kondisi yang dialami seseorang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 43 bahwa ketika dalam kondisi sakit, dalam perjalanan (musafir), datang dari tempat buang air, menyentuh perempuan lalu tidak memperoleh air itu boleh bertayamum. Salah satunya disebutkan tentang musafir, maka musafir boleh bertayamum. Hal tersebut mengandung konsekuensi bahwa musafir boleh bertayamum baik ada air maupun tidak ada air. Syarat musafir dikarenakan jarak, bukan ketersediaan ada air atau tidak. Adapun mengenai ulasan jarak sehingga bisa dikategorikan musafir dapat disimak dengan cara klik di sini. Oleh karena itu, segala sesuatu yang melekat pada musafir berlaku bagi mereka. Termasuk dalam hal ini adalah musafir boleh bertayamum baik ada air maupun tidak ada air.

 

Hadis Ke-5

صحيح مسلم ٨١١: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ رِبْعِيٍّ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ. جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدْ الْمَاءَ. وَذَكَرَ خَصْلَةً أُخْرَى. حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ حَدَّثَنِي رِبْعِيُّ بْنُ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 811: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Rib'i, dari Hudzaifah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Kami diberi kelebihan atas manusia dengan tiga perkara, yaitu: (1) dijadikan barisan-barisan kami seperti barisan-barisan malaikat; (2) dijadikan bagi kami bumi seluruhnya sebagai tempat salat; dan (3) dijadikan bagi kami debunya sebagai pensuci apabila kami tidak mendapatkan air.” Dan beliau menyebutkan karakter lainnya. Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-'Ala, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Zaidah, dari Sa'd bin Thariq, telah menceritakan kepadaku Rib'i bin Hirasy, dari Hudzaifah dia berkata: Rasulullah SAW bersabda semisalnya.

 

Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.

 

Monday, June 16, 2025

Serial Taharah: Tayamum Tidak Harus Diulang Tiap Mau Salat

Orang yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari syariat Islam. Di antara syariat Islam adalah mendirikan salat. Pembeda antara orang tidak beragama Islam dan orang beragama Islam adalah dikerjakannya salat. Adapun supaya salat dinilai sah, maka perlu adanya taharah. Lalu bagaimana pembahasannya? Kesempatan kali ini akan membahas mengenai tayamum tidak harus diulang-ulang tiap mau salat.

 

Setelah memahami bagaimana tata cara wudu, penting bagi kaum muslimin untuk tahu mengenai tayamum. Hal ini dikarenakan tidak semua kondisi mengharuskan seseorang untuk wudu atau bahkan mandi janabat ketika hendak salat. Adapun dalam memahaminya, perlu mengerti berbagai dalil yang terkait tayamum tidak harus diulang-ulang tiap mau salat. Melalui dalil yang ada memunculkan berbagai pendapat berikut.

 

A. Tayamum Tidak Harus Diulang Tiap Mau Salat

Orang-orang yang termasuk dibolehkan bertayamum ketika hendak salat merupakan suatu keringanan. Tayamum adalah sebagai pengganti wudu atau mandi janabat bagi orang yang dalam beberapa keadaan, antara lain: (1) sakit yang akan membahayakan atau memperlambat kesembuhan bila terkena air; (2) orang yang tidak mendapatkan air di tempat mukim; (3) orang dalam lingkungan dingin secara ekstrim yang membahayakan nyawa; maupun (4) orang dalam safar. Tayamum dikatakan sebagai pengganti wudu atau mandi janabat di berbagai kondisi yang disebutkan adalah berdasar hadis berikut.

 

Hadis Ke-1

سنن الترمذي ١١٥: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ بُجْدَانَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ. و قَالَ مَحْمُودٌ فِي حَدِيثِهِ إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ وَضُوءُ الْمُسْلِمِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ بُجْدَانَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي عَامِرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ وَلَمْ يُسَمِّهِ قَالَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْجُنُبَ وَالْحَائِضَ إِذَا لَمْ يَجِدَا الْمَاءَ تَيَمَّمَا وَصَلَّيَا وَيُرْوَى عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى التَّيَمُّمَ لِلْجُنُبِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ وَيُرْوَى عَنْهُ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ فَقَالَ يَتَيَمَّمُ إِذَا لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ.

Artinya: Sunan Tirmidzi nomor 115: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Mahmud bin Ghailan, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubairi berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari 'Amru bin Bujdan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka jika ia telah mendapatkan air, hendaklah ia mengusapkan pada kulitnya karena itu lebih baik." Mahmud menyebutkan dalam hadisnya, "Debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim." Ia berkata: "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Hurairah, Abdullah bin Amru dan Imran bin Hushain." Abu Isa berkata: "Seperti inilah, tidak hanya satu orang yang meriwayatkan dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah, dari 'Amru bin Bujdan dari Abu Dzar." Ayyub meriwayatkan hadis ini dari Abu Qilabah dari seorang laki-laki dari bani 'Amir dari Abu Dzar, tetapi ia tidak menyebut namanya. Ia berkata: "Hadis ini derajatnya hasan shahih. Ini adalah perkataan mayoritas fuqaha, bahwa orang yang junub dan haid jika tidak mendapatkan air hendaklah ia bertayamum lalu salat." Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya seorang junub tidak boleh bertayamum meskipun tidak mendapatkan air. Namun diriwayatkan darinya, bahwa ia telah mencabut pendapatnya, lalu ia berkata: "Ia tidak boleh bertayamum jika tidak mendapatkan air." Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats Tsauri, Malik, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq."

 

Hadis Ke-2

سنن أبي داوود ٢٨١: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ الْوَاسِطِيُّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ ح حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْوَاسِطِيَّ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ بُجْدَانَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: اجْتَمَعَتْ غُنَيْمَةٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ ابْدُ فِيهَا فَبَدَوْتُ إِلَى الرَّبَذَةِ فَكَانَتْ تُصِيبُنِي الْجَنَابَةُ فَأَمْكُثُ الْخَمْسَ وَالسِّتَّ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ فَسَكَتُّ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ أَبَا ذَرٍّ لِأُمِّكَ الْوَيْلُ فَدَعَا لِي بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ فَجَاءَتْ بِعُسٍّ فِيهِ مَاءٌ فَسَتَرَتْنِي بِثَوْبٍ وَاسْتَتَرْتُ بِالرَّاحِلَةِ وَاغْتَسَلْتُ فَكَأَنِّي أَلْقَيْتُ عَنِّي جَبَلًا فَقَالَ الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ وَضُوءُ الْمُسْلِمِ وَلَوْ إِلَى عَشْرِ سِنِينَ فَإِذَا وَجَدْتَ الْمَاءَ فَأَمِسَّهُ جِلْدَكَ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ وَقَالَ مُسَدَّدٌ غُنَيْمَةٌ مِنْ الصَّدَقَةِ. قَالَ أَبُو دَاوُد وَحَدِيثُ عَمْرٍو أَتَمُّ.

Artinya: Sunan Abu Daud nomor 281: Telah menceritakan kepada kami Amru bin Aun, telah mengabarkan kepada kami Khalid Al Wasithi dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah Al Hadits. Dan telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Abdullah Al Wasithi dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Amru bin Bujdan dari Abu Dzarr dia berkata: Beberapa kambing sedekah dikumpulkan pada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: Wahai Abu Dzarr, kirimkan dia ke perkampungan badui. Lalu saya pun mengirimkannya ke Rabadzah. Lalu saya junub, sehingga saya tinggal lima atau enam hari salat tanpa bersuci. Lalu saya mendatangi Nabi SAW. Beliau memanggil: "Wahai Abu Dzarr!" Namun saya terdiam. Maka beliau bersabda: "Hus, wahai Abu Dzarr!" Lalu beliau memanggil seorang budak wanita hitam, dia datang dengan membawa wadah berisi air, lalu dia menutupiku dengan kain dan saya menutup diri dengan unta, lalu saya mandi, seakan-akan aku lempar tanah gunung dariku (karena tujuh hari tak bersuci dengan air). Beliau lantas bersabda: "Tanah yang suci adalah alat bersuci seorang muslim meskipun dia tidak menemukan air hingga sepuluh tahun. Apabila kamu dapati air, maka berwudu dan mandilah, karena itu lebih baik bagimu." Musaddad berkata: Beberapa kambing sedekah. Abu Dawud berkata: Hadis Amru lebih sempurna.

 

Melalui hadis yang ada dapat diketahui bahwa debu adalah alat pembersih/ wudunya orang Islam meskipun 10 tahun tidak mendapati air. Pernyataan Rasulullah yang seperti ini menunjukkan bahwa debu untuk tayamum adalah pengganti secara mutlak wudu dan mandi janabat. Adapun apabila ada air, maka hendaklah mengusapkan air ke kulitnya karena hal tersebut lebih baik. Dalil yang ada juga menerangkan bahwa konsekuensi tayamum pengganti wudu atau mandi janabat di berbagai kondisi adalah sebab-sebab yang menjadikan wudu atau mandi janabat itu batal juga berlaku pada tayamum. Oleh sebab itu, ketika tayamum tetapi belum berhadas dalam kondisi yang dibolehkan bertayamum maka digunakan untuk salat berikutnya insya Allah tetap sah. Hal ini sebagaimana praktik salat jamak qasar ketika safar. Sebagai contoh saat safar hendak menegakkan salat jamak qasar Zuhur dan Asar sehingga tayamum sebelum salat jamak qasar. Ketika selesai melaksanakan salat Zuhur dua rakaat, maka dilanjutkan salat Asar dua rakaat tanpa bertayamum kembali sebagaimana sebelum ditegakkannya salat Zuhur. Padahal kita tahu bahwa salat jamak qasar Zuhur dan Asar adalah dua salat fardu yang digabung di satu waktu dan dikerjakan secara meringkas jumlah rakaat salat. Intinya ada dua salat, tetapi cukup dengan sekali tayamum selama belum berhadas.

 

B. Tayamum Harus Diulang Tiap Mau Salat

Pendapat ini mengatakan bahwa tayamum hendaknya diulang tiap hendak menegakkan salat. Hal tersebut karena tayamum hanya bersifat darurat. Oleh sebab itu, kesucian yang dihasilkan dengan cara bertayamum bukan kesucian yang bersifat mutlak. Apabila seseorang ingin mengerjakan salat lagi, dia harus kembali bertayamum lagi. Hal ini disamakan dengan wanita yang sedang mengalami istihadhah, yaitu darah keluar terus dari kemaluannya. Oleh karenanya tiap kali mau mengerjakan salat, dia harus mencuci kemaluannya dengan air. Hal tersebut sebagaimana apa yang dilakukan Ummu Habibah binti Jahsy pada riwayat berikut.

 

Hadis Ke-3

صحيح مسلم ٥٠٢: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: اسْتَفْتَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ جَحْشٍ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ فَاغْتَسِلِي ثُمَّ صَلِّي فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ. قَالَ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ لَمْ يَذْكُرْ ابْنُ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ أَنْ تَغْتَسِلَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ فَعَلَتْهُ هِيَ و قَالَ ابْنُ رُمْحٍ فِي رِوَايَتِهِ ابْنَةُ جَحْشٍ وَلَمْ يَذْكُرْ أُمَّ حَبِيبَةَ.

Artinya: Shahih Muslim nomor 502: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Laits. Lewat jalur periwayatan lain, dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh, telah mengabarkan kepada kami Al-Laits dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa dia berkata: "Ummu Habibah binti Jahsy telah meminta nasihat dari Rasulullah SAW kemudian berkata: 'Aku ini perempuan yang berdarah istihadhah. Maka Rasulullah SAW menjawab dengan bersabda, 'Itu adalah darah penyakit, maka hendaklah kamu mandi kemudian salatlah, maka dia mandi pada setiap waktu salat'." Al-Laits bin Sa'd berkata: "Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsy untuk mandi pada setiap waktu salat, akan tetapi itu adalah sesuatu yang dia perbuat sendiri." Ibnu Rumh berkata dalam riwayatnya, "Ibnah Jahsy." Dan tidak menyebutkan, "Ummu Habibah."

 

Pendapat ini selain menyamakan dengan wanita yang menderita istihadhah, juga mengambil dalil dari riwayat Ibnu Abbas. Adapun riwayat yang dimaksud adalah sebagaai berikut.

 

Hadis Ke-4

سنن الدارقطني ٧٠٠: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْفَارِسِيُّ، نا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، نا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُمَارَةَ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً، ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ الْأُخْرَى. وَالْحَسَنُ بْنُ عُمَارَةَ ضَعِيفٌ.

Artinya: Sunan Daruquthni nomor 700: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma'il Al Farisi, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, dari Al Hasan bin Umarah, dari Al Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, "Termasuk bagian sunah adalah seseorang tidak melaksanakan salat dengan tayamum kecuali hanya satu salat, kemudian bertayamum (lagi) untuk salat lainnya." Dan Al Hasan bin Umarah lemah.

Keterangan: Rawi yang bernama Al Hasan bin Umarah merupakan tabi'ut tabi'in kalangan tua yang hidup di Kufah dan wafat tahun 153 H. Komentar ulama tentangnya di antaranya adalah Ahmad bin Hambal mengatakan: matrukul hadits; Abu Hatim Ar Rozy mengatakan: matrukul hadits. Selain itu sebagaimana dalam matan hadis disebutkan bahwa Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Al Hasan bin Umarah adalah rawi yang lemah/ daif.

 

Pendapat tayamum hendaknya diulang tiap hendak menegakkan salat mengandung konsekuensi bahwa dalam salat jamak baik takdim ataupun takhir, harus kembali tayamum bila akan melakukan salat yang kedua. Sebagai contoh apabila seorang ingin menjamak salat Zuhur dengan salat Asar, maka yang harus dia lakukan pertama kali adalah bertayamum, lalu salat Zuhur. Selesai salam, dia bertayamum lagi, untuk mengerjakan salat Asar.

 

C. Simpulan Mengenai Tayamum Tidak Harus Diulang Tiap Mau Salat

Melihat berbagai pendapat, hendaknya saling menghargai di antara kaum muslimin. Terkait pendapat tayamum tidak harus diulang tiap mau salat ataupun tayamum harus diulang tiap mau salat itu dibangun dengan argumennya masing-masing. Silahkan mau mengambil pendapat yang mana. Penting untuk saling menghormati dan tidak intervensi satu dengan yang lain. Kita sudah dibekali Allah dengan hati nurani dan akal sehat untuk menentukan pilihan. Namun demikian, penulis memilih mengamalkan pendapat bahwa tayamum tidak harus diulang tiap mau salat. Hal tersebut sebagaimana pernyataan dari Rasulullah bahwa "Debu yang baik itu alat bersucinya seorang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun.” Oleh sebab itu, tayamum adalah secara mutlak pengganti wudu ataupun mandi janabat. Selain itu, menyamakan tayamum dengan istihadhah adalah tidak apple to apple. Oleh sebab itu tidak bisa dikiaskan karena dua hal berbeda. Selain itu, atsar Ibnu Abbas adalah lemah derajatnya.

 

Demikian beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari beberapa dalil mengenai pembahasan taharah. Hal tersebut sebagai upaya menggapai kesempurnaan dalam beribadah mengingat salat didirikan dengan syarat terhindar dari najis dan hadas. Semoga pelajaran mengenai taharah yang sudah diperoleh dapat dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin.