Wednesday, August 26, 2015

[Review Novel] Tuhan, Maaf Engkau Kumadu (ia yang terbunuh di tangan cinta)





Karya: Aguk Irawan MN

Allah-ku, duhai Allah, kekasih hatiku
Saat aku sendiri menikmati rasa cinta
Maafkan cintaku pada-Mu, mesti kubagi
Satu untuk-Mu, satu lagi untuk Nisa-ku

Cinta membeku dan mencair dalam takdir-Mu
O, Allah-ku, maafkan aku, maafkan tauhidku
Apakah aku kufur, bila malam ini Kau kumadu?
Apakah aku salah, bila cintaku pada hamba lebih?

Tapi andai saja kau tak beri aku cinta sebesar ini
Tentu, tentu saja aku tak akan menduakan-Mu
Karena itu, apa aku salah menggenggam pemberian-Mu
Dan melambungkan rahasia alif lammim-Mu?
(Halaman: 163)

Demikian sebuah puisi yang dituliskan oleh Ridho, tokoh utama dalam novel ini. Ridho yang merupakan mahasiswa Al-Azhar, Mesir, yang dalam novel ini diceritakan sedang dilanda kegalauan dalam hal mencari pasangan hidup. Diceritakan dalam novel bahwa Ridho pernah menyatakan cinta pada seorang gadis bernama Laily, namun sungguh disayangkan, cinta Ridho bertepuk sebelah tangan. Berbeda dengan pengalaman Ridho sebelumnya, ia menemukan “legenda pribadi” dalam rihlah (tour) bersama kawannya, Irwan ke Luxor, Aswan, dan Abou Simbel.

Dalam rombongan rihlah, Ridho akhirnya bertemu dengan Eva Ratu Nisa –mahasiswa yang nilai akademisnya menonjol, cantik dan juga merupakan aktivis– yang kebetulan datang terlambat bersama Khumaria, Fathimah, Sri Rahmawati dan Arisna Dewi. Awalnya Ridho tidak begitu menghiraukan gadis berjilbab itu, hingga akhirnya Nisa menyapa Ridho dengan menawarkan jeruk yang dibawanya.

Kerisauan Ridho terpicu kabar bahwa adik laki-lakinya telah menikah, dan adik perempuannya pula sudah memiliki dua anak. Kebetulan menghantarkannya dan Irwan, mendapat deretan kursi bersebelahan dengan deretan kursinya Nisa dan teman-temannya. Hal itu membuatnya salah tingkah.  Ia merasa Nisa terlalu hebat untuknya. Mahasiswa asal Indonesia mana yang tak tahu Eva Ratu Nisa, ketua WIHDAH, organisasi yang menaungi seluruh mahasiswi Indonesia di Mesir. Dan untuk kedua kalinya, Nisa yang menyapa terlebih dahulu. Tak disangka, Nisa pun hadir dalam mimpi Ridho.

Ridho terheran, mana mungkin gadis cantik, aktivis, cerdas mau dengan dirinya. Namun ia teringat perkataan Ra’dullah al-Farghani, mursyid-nya: bahwa seorang hamba yang tangguh selalu siap menempuh resiko. Meskipun ia harus menderita dengan apa yang hendak ia wujudkan itu, tak menjadi soal. Meskipun sering digodain Irwan perihal mimpinya, ia bertekat meminang Nisa.

Namun apa boleh dikata, Menurut Gus Nas, Nisa sudah memiliki tambatan hati lain. Untuk meminang Nisa, Ridho sengaja meminta bantuan Gus Nas karena Nisa dulunya merupakan santrinya Gus Nas ketika di pesantren. Mendengar berita itu, Ridho menyangkalnya dan yakin bahwa Nisa ialah jodohnya. Dia begitu yakin lantran pertanda dan mimpinya. Seakan ia tahu jalan takdirnya.

Ridho yang begitu yakin bahwa Nisa adalah takdirnya, adalah jodohnya membuat hatinya begitu tersayat akan kabar dari Gus Nas. Tak berhenti disitu, perasaannya semakin menjadi-jadi, ia bersyukur akan anugerah yang telah dikaruniakan-Nya itu. Pikirannya yang melulu Nisa, mengganggu kinerja Ridho di KBRI di Mesir. Ridho bekerja sebagai sopir di KBRI. Sampai akhirnya ia mendapat surat peringatan beberapa kali.

Perasaan Ridho yang besar kepada Nisa, membuat Mubasyir, kawan karibnya terpana. Bagaimana tidak, Ridho mengklaim Nisa adalah istrinya dan mengaku dinikahkan oleh malaikat. Namun Mubasyir memahami, cinta yang terlalu besar bisa menjadikan orang gila, jika ia tak bisa menempatkan pada tempatnya.

Meskipun kadang rajin, kadang ogah-ogahan, kali ini Ridho begitu mantap pergi ke kantor kedutaan. Irwan yang biasanya cuek, merasakan ada firasat hingga menginggatkan sahabatnya itu untuk hati-hati. Bayangan Nisa semakin lekat, hingga tanpa sadar menepuk-nepuk Mercy hingga melaju cepat di jalanan El-Tayaran. Pak Ardiansyah yang berada di jok belakang terdiam, karena pikirannya tertuju pada tujuannya, Nasr City. Sedangkan Ridho, terbayang dalam keagungan cinta. Hingga akhirnya ia menabrak seorang gadis, namanya Nabila, yang kemudian diketahui putri Syeikh Ra’dullah. Semenjak peristiwa itu, akhirnya Ridho terkena PHK dari tempatnya bekerja, KBRI.

Dalam pengembaraan, selepas dari kantor Pak Ardiansyah di KBRI untuk memohon maaf dan kesempatan kedua, ia teringat mursyid-nya. Ia berniat mengunjunginya di kawasan Dirasah yang berjarak 25 KM dari Garden City.

Nasehat Syikh Ra’dullah kepada Ridho, jadilah syakir, orang yang bersyukur dan cinta, menurut mahabbah, sesuai riwayat diturunkan dari kata hibbah, benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Sebutan ‘hubb (cinta) diberikan kepada ’hibb (benih-benih). Sebab cinta ialah sumber kehidupan, sama halnya dengan benih yang merupakan asal tanaman. Hal itu pula yang menginspirasinya untuk usaha tauge, yang dikenal dengan ‘nabat ful magnun li intag’, tanaman kedelai produksi si majenun. Mengingat setelah di berhentikan di KBRI, usaha tersebut membantunya dalam kehidupan sehari-hari. Melihat usaha tersebut, Irwan menyarankan distribusinya ditambah hingga ke hotel-hotel. Pak Ardiansyah pemberi modal, kemudian menawarkan agar Mahmud membantu distribusi ke hotel-hotel. Tak sampai disitu, Ridho juga membuat tahu. Cinta murni. Ridho bilang bahwa cinta murni diambil dari sari habbah atau biji-bijian. Ridho tidak ingin benih itu berkembang menjadi kecambah dan kemudian dimiliki orang. Tak hilang lekat bayangan Nisa, tahu putih yang dibuatnya itu juga akan dipesembahkan kepada Nisa permata hatinya.

Sesampainya di sekretariat Wihdah, tempat tinggal Nisa, Ridho bertemu dengan Nisa yang bergegas akan mengurus ijazah S1 yang sudah dikeluarkan pihak Al-Azhar. Salam pun dilantunkan Nisa kepada semua penghuni rumah. Ridho yang sudah beberapa saat di luar juga membalas salam, namun terbata-bata. Sontak, Nisa pun menyapanya. Namun yang terjadi, Ridho terkulai lemas di lantai. Hal itu membuat Nisa menangis, mengapa harus dirinya, ia ketakutan. Mubasyir yang tinggalnya tak jauh dari Wihdah, datang untuk membantu menyadarkan Ridho. Ridho pun dipapah Mubasyir dan kawan-kawan kembali ke Bangkit Ulama. Ridho yang kemudian sadar, tatapannya kosong. Seakan merenungi apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Ridho yang semakin tak terkendali dan heboh di lingkaran kedutaan, akhirnya harus dipulangkan. Awalnya ia menolak, namun berkat dengan alasan mengawal TKW untuk kembali pulang ke tanah air, ia menyetujuinya. Irwan sahabat karibnya, Nur Fathi dan Nabila mendapat persetujuan baba-nya, turut serta dalam misi pengawalan. Nabila yang merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi, Al-Azhar ingin mempelajari apa yang terjadi pada Ridho. Sesampainya di tanah air, sesuai kesepakatan keluarganya, Ridho akan dipasung. Namun Nabila yang tak tega, mengupayakan agar tidak dilakukan dengan dalih kemanusiaan. Hal itu karena debat kusir Ridho dengan adiknya yang berujung pada pisau yang mengenai Nabila. Nabila sebenarnya menyetujui usulan Nur Fathi untuk membawa Ridho ke Rumah Sakit Jiwa, akan tetapi Nabila beranggapan bahwa bukan penyakit, namun aspek kehidupan murni yang bersifat transenden. Suasana hening sejenak, hingga akhirnya Nur Fathi mempunyai ide yang bisa menyembuhkan Ridho adalah dengan ruqyah.

Kakak Ridho pun mendatangi rumah seorang dukun, Ki Wangsit. Ia meminta bantuan Ki Wangsit untuk menyembuhkan Ridho. Ki Wangsit pun menyarankan agar Kakak Ridho pulang, dan nanti akan di susul Ki Wangsit. Menurut Ki Wangsit ada dua jin tua yang menikuti Ridho. Ritual pun dimulai dengan mengikat kedua tangan Ridho dan merendam tubuhnya dalam sungai. Ridho sontak berteriak bahwa ia sudah dipanggil oleh Sang Kekasih. Hingga suaranya kian melemah, Ki Wangsit tetap mengikuti nalurinya untuk menyelup-nyelupkan wajah Ridho. Kemudian, Ki Wangsit mulai melepaskan ikatan di tangannya Ridho. Ia angkat tubuh Ridho dari sungai. Ki Wangsit mencoba menahan diri dari tangisnya, hingga tak tahan untuk mengatakan: innalillahi wainnailaihi rajiun.

Secara umum, novel ini mengisahkan perjalanan sufistik masa kini yang berdasarkan kisah nyata. Namun sebagai usulan, perlu perhatian dalam penulisannya masih terdapat kata yang salah cetak.

Keterangan:
Penerbit                      : Glosaria Media
Tahun Terbit                : 2013
Jumlah Halaman         : xxii + 392 halaman
Ukuran                        : 12 x 19 cm
ISBN : 978-602-7731-44-8

No comments:

Post a Comment