Showing posts with label puasa wajib. Show all posts
Showing posts with label puasa wajib. Show all posts

Monday, May 22, 2023

Puasa Nazar



Umat Islam ketika mengarungi romantika kehidupan itu terkadang melakukan nazar. Tidak luput juga dari sekian opsi nazar adalah puasa nazar. Supaya memahami tentang puasa nazar (kadang ada yang menulisnya nadzar), pada kesempatan kali ini akan membahas tentang: (a) pengertian puasa nazar; (b) hukum puasa nazar; (c) kafarat nazar; (d) waktu pelaksanaan puasa nazar; (e) tata cara puasa nazar; dan (f) orang yang suka bernazar itu biasanya orang bakhil.

 

A. Pengertian Puasa Nazar

Puasa disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Puasa juga berarti salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Sementara nazar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti janji (pada diri sendiri) hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai. Nazar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah menyanggupi melakukan ibadah (qurbah; mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (fardu ‘ain) bagi seseorang. Sementara itu, puasa nazar adalah puasa yang difardukan sendiri oleh seseorang muslim atas dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, puasa nazar adalah puasa yang dilakukan untuk memenuhi janji untuk menghendaki suatu tujuan tertentu.

 

B. Hukum Puasa Nazar

Nazar wajib ditunaikan menurut nazar yang dinazarkan oleh seorang muslim. Allah SWT tahu atas segala sesuatu yang dinazarkan hamba-Nya. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Pertama

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ نَّفَقَةٍ اَوْ نَذَرْتُمْ مِّنْ نَّذْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُهٗ ۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ. البقرة: 270

Artinya: Infak apa pun yang kamu berikan atau nazar apa pun yang kamu janjikan sesungguhnya Allah mengetahuinya. Bagi orang-orang zalim tidak ada satu pun penolong (dari azab Allah). (QS. Al Baqarah: 270).

 

Nazar ini ada yang harus dipenuhi dan ada nazar yang tidak boleh dipenuhi. Nazar yang harus dipenuhi adalah nazar yang termasuk dalam koridor kebaikan dan menjadi maslahat bagi yang menazarkan. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Pertama

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, telah menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin Abdul Malik dari Al Qasim dari 'Aisyah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia taat kepada-Nya. Dan barangsiapa bernazar untuk maksiat kepada-Nya, maka janganlah ia maksiat kepada-Nya." (HR. Bukhari, no. 6202).

 

Sementara itu, terdapat nazar yang tidak boleh dilaksanakan. Hal tersebut meliputi nazar yang mengarah pada perbuatan syirik, maksiat, dan justru tidak jadi maslahat (mudarat) bagi orang yang bernazar. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Kedua

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ. فَسَأَلَ عَنْهُ. فَقَالُوا: أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ.قَالَ عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Sewaktu Nabi SAW berkhotbah, tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri di terik matahari. Maka beliau menanyakannya. Sahabat menjawab, “Dia Abu Israil yang bernazar untuk berdiri, tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan ia berpuasa.” Beliau bersabda, “Suruhlah dia berbicara, berteduh, duduk, dan hendaklah dia menyempurnakan puasanya.” Abdul Wahhab mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Nabi SAW. (HR. Bukhari, no. 6210).

 

Di antara nazar yang ada adalah berpuasa. Oleh sebab itu, apabila seseorang bernazar untuk berpuasa, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasanya. Apabila nazar puasa maupun nazar yang lainnya (bukan termasuk kesyirikan, maksiat, atau mudarat) itu tidak mampu dilaksanakan, maka hendaknya membayar kafarat nazar.

 

C. Kafarat Nazar

Apabila seorang muslim bernazar, lalu ia tidak mampu melaksanakan nazar maka hendaknya ia membayar kafarat. Adapun kafarat nazar sepertihalnya kafarat sumpah. Hal tersebut sebagaimana hadis berikut.

 

Hadis Ketiga

حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى قَالَ يُونُسُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ كَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ. مسلم

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa'id Al Aili dan Yunus bin Abdul A'la dan Ahmad bin Isa, Yunus berkata: telah mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua orang mengakatan: telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab, telah mengabarkan kepadaku 'Amru bin Al Harits dari Ka'b bin 'Alqamah dari Abdurrahman bin Syimasah dari Abu Al Khair dari 'Alqamah bin 'Amir dari Rasulullah SAW beliau bersabda, “Kafarat nazar itu sama dengan kafarat sumpah.” (HR. Muslim, no. 3103).

 

Sebagaimana diterangkan dalam hadis, kafarat nazar itu sama dengan kafarat sumpah. Adapun kafarat sumpah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 89. Ayat tersebut menjelaskan kafarat sumpah sebagai berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Kedua

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. المائدة: 89

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah: 89).

 

Tafsir Ringkas Kemenag RI menerangkan bahwa ayat ini menjelaskan macam-macam kafarat atau denda bagi siapa saja yang melanggar sumpah yang diucapkan secara sadar dan sengaja. Namun demikian, kafarat ini tidak berlaku bagi sumpah yang tidak disengaja. Allah tidak akan menghukum kamu, wahai orang beriman, disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja untuk diucapkan, seperti perkataan, “Tidak, demi Allah,” atau “Benar, demi Allah,” tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Jika kamu dalam mengucapkan sumpah itu benar benar bermaksud untuk bersumpah, maka kafaratnya, denda pelanggaran sumpah supaya dosa sumpahmu diampuni oleh Allah, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, baik yang kamu kenal maupun tidak, yaitu dari jenis makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, baik dari segi jumlah maupun jenis makanannya, atau memberi mereka pakaian baru maupun layak pakai, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa tidak mampu melakukannya, salah satu dari tiga pilihan kafarat tersebut, maka kafaratnya berpuasalah tiga hari dengan ikhlas sambil berharap agar Allah mengampuni dosa sumpah yang pernah diucapkannya. Itulah ketentuan Allah tentang kafarat sumpah-sumpahmu, apabila kamu benar-benar bersumpah dengan sengaja. Dan jagalah sumpahmu supaya kamu tidak mudah bersumpah, apalagi bersumpah palsu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukumNya tentang sumpah kepadamu agar kamu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kamu.

 

Apabila tidak mampu melakukan memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak, maka bisa diganti dengan puasa tiga hari. Kafarat yang dilakukan pada Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 89 itu dilaksanakan secara berurutan, bila yang pertama yaitu memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin tidak bisa, maka hendaknya memerdekakan seorang budak. Bila kesemuanya itu tidak bisa, maka hendaknya berpuasa tiga hari.

 

Hadis Keempat

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ قَالَ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زَحْرٍ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أُخْتٍ لَهُ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ حَافِيَةً غَيْرَ مُخْتَمِرَةٍ فَقَالَ مُرُوهَا فَلْتَخْتَمِرْ وَلْتَرْكَبْ وَلْتَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ. حَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ كَتَبَ إِلَيَّ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زَحْرٍ مَوْلًى لِبَنِي ضَمْرَةَ وَكَانَ أَيَّمَا رَجُلٍ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الرُّعَيْنِيَّ أَخْبَرَهُ بِإِسْنَادِ يَحْيَى وَمَعْنَاهُ. أبي داود

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Qaththan, ia berkata: telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Sa'id Al Anshari, telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Zahr bahwa Abu Sa'id telah mengabarkan kepadanya bahwa Abdullah bin Malik telah mengabarkan kepadanya bahwa 'Uqbah bin 'Amir telah mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang saudara perempuannya yang bernazar untuk naik haji tanpa beralas kaki dan tanpa tutup kepala. Maka beliau bersabda, “Suruhlah dia memakai tutup kepala, dan supaya berkendaraan. Dan hendaklah ia berpuasa tiga hari.” Telah menceritakan kepada kami Makhlad bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata: Yahya bin Sa'id telah menulis surat kepadaku: telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Zahr mantan budak Bani Dlamrah bahwa Abu Sa'id Ar Ru'aini telah mengabarkan kepadanya dengan sanad Yahya dan maknanya. (HR. Abu Dawud, no. 2865).

Keterangan: Terkait rawi yang bernama ‘Ubaidullah bin Zahr merupakan kalangan tabi'in (tidak jumpa Sahabat). Komentar ulama tentangnya diantaranya Abu Zur'ah mengatakan la ba`sa bih, An Nasa'i mengatakan laisa bihi ba`s, Abu Hatim mengatakan layyinul hadits, Ad Daruquthni mengatakan dla'if, Adz Dzahabi mengomentari diperselisihkan, Ibnu Hajar mengomentari "shuduq, tedapat kesalahan."

 

Seandainya hadis tersebut benar adanya, maka Nabi SAW menyuruh wanita tersebut untuk berpuasa tiga hari sebagai kafarah nazar. Padahal puasa itu dibolehkan apabila seseorang sudah tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Hadis tersebut bisa dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan begitu bisa juga karena beliau sudah mengetahui bahwa wanita itu tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan seorang budak.

 

D. Waktu Pelaksanaan Nazar

Waktu pelaksanaan nazar hendaknya dilakukan saat seseorang bernazar akan menunaikan ibadah tertentu dengan penyebutan secara umum, maka yang wajib ia lakukan adalah sebatas sesuatu yang dapat dinamai sebagai perbuatan ibadah tersebut. Hal itu mencakup juga puasa nazar. Ketentuan waktu puasa nazar disesuaikan dengan waktu puasa terkait. Terkait durasi waktu, sebagaimana puasa pada umumnya, yaitu dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Selama durasi tersebut ia mesti mencegah dari hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana puasa-puasa lain.

 

E. Tata Cara Puasa Nazar

Tata cara puasa nazar sebagaimana tata cara puasa Ramadan. Tata cara puasa nazar adalah dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, termasuk merokok, dan bersetubuh, dari mulai fajar hingga terbenam matahari karena mencari rida Allah. Adapun syarat dan rukun puasa sebagaimana puasa Ramadan. Penjelasan syarat dan rukun puasa dapat disimak dengan cara klik di sini.

 

F. Orang yang Suka Bernazar Itu Biasanya Orang Bakhil

Orang yang suka bernazar itu biasanya adalah orang bakhil. Hal tersebut sebagaimana hadis-hadis berikut.

 

Hadis Kelima

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. مسلم

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abu Hakim dari Sufyan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda, “Nazar itu tidak bisa menyegerakan sesuatu dan tidak bisa mengundurkannya. Sesungguhnya dengan nazar itu dikeluarkan sesuatu dari orang yang bakhil.” (HR. Muslim, no. 3094).

 

Hadis Keenam

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّذْرِ وَقَالَ إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Abdullah bin Murrah dari Ibnu 'Umar RA, ia berkata: Nabi SAW melarang dari bernazar. Beliau bersabda, "Sesungguhnya nazar itu tidak bisa menolak sesuatu, dan hanyasanya dengan nazar itu sesuatu dikeluarkan dari orang yang bakhil." (HR. Bukhari, no. 6118).

 

Hadis Ketujuh

و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَنْذِرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنْ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. مسلم

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, yaitu Ad Darawardi, dari Al 'Ala' dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian bernazar, karena sesungguhnya nazar itu tidak bisa merubah takdir sedikitpun. Dan sesungguhnya dengan nazar itu dikeluarkan sesuatu dari orang yang bakhil.” (HR. Muslim, no. 3096).

 

Sebagaimana diterangkan dalam hadis, larangan Rasulullah SAW ini bukan larangan haram, tetapi makruh. Hal tersebut karena Rasulullah SAW tidak pernah membatalkan nazar-nazar, dan beliau tidak mengatakan bahwa orang yang bernazar itu berdosa. Bahkan Rasulullah SAW menyuruh membayar kafarat kepada orang yang tidak menyempurnakan nazarnya. Hal ini memberi arti bahwa nazar itu diperbolehkan. Sementara itu, orang yang bernazar dikatakan bakhil karena untuk mengerjakan kebaikan saja mengapa dengan syarat bila keinginannya terlaksana? Contohnya nazar: “Saya bernazar, bila saya dikaruniai anak laki-laki, saya akan menyumbang untuk madrasah ini sekian. Maka apabila ia benar dikaruniai anak laki-laki, wajiblah ia menyumbang madrasah tersebut.”

 

Demikianlah berbagai dalil ataupun pelajaran yang bisa menjadi acuan kita dalam ibadah puasa. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita semuanya mampu melaksanakan puasa dengan baik dan istiqamah sebagai upaya kita meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.


Monday, May 15, 2023

Puasa Kafarat


 

Terdapat beberapa dosa yang wajib ditebus dengan cara membayar kafarat di dalam agama Islam. Kafarat merupakan cara untuk membayar dosa tersebut agar diampuni oleh Allah SWT. Salah satu cara pembayaran kafarat adalah dengan puasa kafarat (kadang ada yang menulisnya dengan kafarah). Kesempatan kali ini akan mengulas diantaranya: (a) pengertian puasa kafarat; (b) hukum puasa kafarat; (c) sebab adanya puasa kafarat; (d) waktu pelaksanaan puasa kafarat; dan (e) tata cara puasa kafarat.

 

A. Pengertian Puasa Kafarat

Puasa kafarat merupakan perpaduan antara kata puasa dan kafarat. Puasa disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Puasa juga berarti salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Sementara kafarat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji. Selain itu, kafarat bisa diartikan persembahan kepada Allah sebagai tanda mohon pengampunan (karena telah melanggar hukum-Nya). Melalui berbagai hal tersebut, puasa kafarat adalah puasa yang dilakukan sebagai penebusan dosa karena melakukan perbuatan yang melanggar syariat Islam. Puasa kafarat berbeda dengan puasa sunah atau puasa Ramadan. Hal itu karena puasa kafarat memiliki sebab-sebab tertentu yang mengharuskan seseorang untuk melakukannya.

 

B. Hukum Puasa Kafarat

Puasa kafarat harus dilakukan dengan beberapa ketentuan dan wajib dilakukan bagi orang yang melakukan pelanggaran tertentu. Oleh karena itu, puasa ini tidak wajib untuk seluruh umat Islam, tapi hanya bagi orang-orang yang berbuat pelanggaran tersebut. Namun demikian diantaranya sebab keharusan ditunaikannya puasa kafarat adalah bukan opsi/ pilihan yang utama. Biasanya sebelum puasa ada ketentuan utama yang lain untuk membayar kafarat.

 

C. Sebab Adanya Puasa Kafarat

Di antara penyebab puasa kafarat adalah dosa zihar, berhubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadan, melanggar sumpah, dan pelanggaran yang dilakukan pada saat melakukan ibadah haji. Oleh sebab itu, menurut sebabnya terdapat beberapa macam puasa kafarat berikut.

 

1. Puasa Kafarat Melanggar Sumpah (Yamin)

Jenis puasa kafarat karena melanggar sumpah adalah puasa yang dilakukan karena kafarat sumpah atau janji. Apabila seseorang melakukan janji tetapi tidak bisa memenuhinya, maka wajib baginya untuk membayar dengan denda kafarat. Hal tersebut berdasarkan dalil berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Pertama

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. المائدة: 89

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah: 89).

 

Tafsir Ringkas Kemenag RI menerangkan bahwa ayat ini menjelaskan macam-macam kafarat atau denda bagi siapa saja yang melanggar sumpah yang diucapkan secara sadar dan sengaja. Namun demikian, kafarat ini tidak berlaku bagi sumpah yang tidak disengaja. Allah tidak akan menghukum kamu, wahai orang beriman, disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja untuk diucapkan, seperti perkataan, “Tidak, demi Allah,” atau “Benar, demi Allah,” tetapi Dia akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Jika kamu dalam mengucapkan sumpah itu benar benar bermaksud untuk bersumpah, maka kafaratnya, denda pelanggaran sumpah supaya dosa sumpahmu diampuni oleh Allah, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, baik yang kamu kenal maupun tidak, yaitu dari jenis makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, baik dari segi jumlah maupun jenis makanannya, atau memberi mereka pakaian baru maupun layak pakai, atau memerdekakan seorang hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa tidak mampu melakukannya, salah satu dari tiga pilihan kafarat tersebut, maka kafaratnya berpuasalah tiga hari dengan ikhlas sambil berharap agar Allah mengampuni dosa sumpah yang pernah diucapkannya. Itulah ketentuan Allah tentang kafarat sumpah-sumpahmu, apabila kamu benar-benar bersumpah dengan sengaja. Dan jagalah sumpahmu supaya kamu tidak mudah bersumpah, apalagi bersumpah palsu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukumNya tentang sumpah kepadamu agar kamu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kamu. Oleh sebab itu, apabila melanggar sumpah, kafaratnya adalah ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa seeorang berikan kepada keluarganya, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya.

Apabila tidak mampu melakukan memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak, maka bisa diganti dengan puasa tiga hari. Kafarat yang dilakukan pada Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 89 itu dilaksanakan secara berurutan, bila yang pertama yaitu memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin tidak bisa, maka hendaknya memerdekakan seorang budak. Bila kesemuanya itu tidak bisa, maka hendaknya berpuasa tiga hari.

 

2. Puasa Kafarat Melanggar Larangan Haji

Puasa kafarat karena melanggar larangan haji adalah penebusan kafarat yang dilakukan dengan cara tamattu’ atau dikenal dengan istilah qiran. Adapun qiran adalah denda yang wajib dibayar dengan menyembelih hadyu. Apabila tidak mampu untuk melakukan hal tersebut, maka bisa diganti dengan berpuasa kafarat selama tiga hari ketika masih berada di Makah atau di tanah suci. Kemudian dilanjutkan puasa selama tujuh hari berturut-turut setelah sampai di kampung halamannya. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Kedua

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ. البقرة: 196

Artinya: Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu56) yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.57) Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Mahakeras hukuman-Nya. (QS. Al Baqarah: 196).

Catatan:

56) Hadyu adalah hewan ternak yang disembelih di tanah haram Makkah pada Idul Adha dan hari-hari tasyrik karena menjalankan haji tamattu’ atau qiran, meninggalkan salah satu manasik haji atau umrah, mengerjakan salah satu larangan manasik, atau murni ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. sebagai ibadah sunah.

57) Fidyah (tebusan) karena tidak dapat menyempurnakan manasik haji dengan alasan tertentu.

 

Tafsir Ringkas Kemenag menerangkan bahwa sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah dengan memenuhi syarat, wajib, rukun, maupun sunah-sunahnya dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan rida Allah, dalam keadaan aman dan damai, baik di perjalanan maupun di tempat-tempat pelaksanaan manasik haji. Tetapi jika kamu terkepung oleh musuh, dalam keadaan perang atau situasi genting sehingga tidak dapat melaksanakan manasik haji pada tempat dan waktu yang tepat, maka ada ketentuan rukhshah (dispensasi) dengan diberlakukannya dam (pengganti) sebagai berikut.

a. Pertama, sembelihlah hadyu, yaitu hewan yang disembelih sebagai pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji, yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebagai tanda selesainya salah satu rangkaian ibadah haji sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya dengan tepat.

b. Kedua, jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu dia bercukur sebelum selesai melaksanakan salah satu dari rangkaian manasik haji, maka dia wajib membayar fidyah atau tebusan yaitu dengan memilih salah satu dari berpuasa, bersedekah atau berkurban supaya kamu bisa memilih fidyah yang sesuai dengan kemampuan kamu.

c. Ketiga, apabila kamu dalam keadaan aman, tidak terkurung musuh, dan tidak terkena luka, tetapi kamu memilih tamattu’, yakni mendahulukan umrah daripada haji pada musim haji yang sama, maka ketentuannya adalah bahwa barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih hadyu yang mudah didapat di sekitar Masjidilharam. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya yakni tidak mampu dan tidak memiliki harta senilai binatang ternak yang harus disembelih, maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali ke tanah air. Itu seluruhnya sepuluh hari secara keseluruhan.

Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada, yakni tinggal atau menetap, di sekitar Masjidilharam melainkan berdomisili jauh di luar Mekah seperti kaum muslim Indonesia. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya bagi orang-orang yang tidak menaati perintah dan aturan-Nya.

 

3. Puasa Kafarat Karena Zihar

Puasa kafarat karena zihar yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah ketika suami menyamakan ibu kandungnya dengan istirnya sendiri. Pada ajaran agama Islam, perbuatan ini adalah perbuatan tercela dan harus dibayar dengan kafarat. Penebusan dosa ini dengan cara memerdekakan seorang budak. Apabila belum mampu, maka berpuasa selama dua bulan. Puasa kafarah karena zihar ini adalah opsi kedua. Adapun bila belum mampu, maka kafarahnya adalah dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut.

 

Dalil Al-Qur-an Ketiga

اَلَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهٰتِهِمْۗ اِنْ اُمَّهٰتُهُمْ اِلَّا الّٰۤـِٔيْ وَلَدْنَهُمْۗ وَاِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوْرًاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ{2} وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهٖۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ {3} فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًاۗ ذٰلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ {4}. المجادلة:2-3.

Artinya: (2) Orang-orang yang menzihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

(3) Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

(4) Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan. Akan tetapi, siapa yang tidak mampu, (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah ketentuan-ketentuan Allah. Orang-orang kafir mendapat azab yang pedih. (QS. Al Mujadilah: 2-4).

 

Tafsir Ringkas Kemenag menerangkan bahwa orang-orang, yakni para suami, di antara kamu yang menzihar istrinya, yaitu menyamakan status hukum istrinya dengan ibunya, yaitu memandang keduanya sama-sama haram digauli, karena tidak lagi menyukainya. Suami yang memperlakukan istrinya demikian telah berbuat kesalahan yang berat, karena istri mereka itu bukanlah ibunya sehingga tidak haram digauli. Mereka tidak menyadari bahwa ibu-ibu mereka adalah perempuan yang telah melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka, para suami yang menzihar istrinya, benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar karena ucapan itu hanya alasan bahwa ia tidak lagi menyukai istrinya dan merupakan ucapan dusta, karena tidak sesuai dengan fakta bahwa istri itu berbeda dengan ibu kandungnya. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf kepada siapa saja yang menyadari kesalahannya bahwa ia telah menzihar istrinya; Maha Pengampun kepada yang bertobat dengan tulus. Lalu di ayat berikutnya, dijelaskan bahwa mereka yang menzihar istrinya, lalu menyesali perbuatannya, kemudian segera menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan kepada istrinya itu, maka mereka para suami yang telah menzihar istrinya itu diwajibkan membayar kafarat, yakni tebusan dengan memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu bercampur kembali seperti sebelum menziharnya. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, kaum muslim tentang hukum zihar dan panduan membayar tebusannya, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan agar orang-orang beriman menyadari kemahatelitian Allah sehingga tidak berbuat curang dalam hidupnya.

Barangsiapa yang tidak menemukan atau tidak memiliki uang untuk memerdekakan hamba sahaya karena harganya mahal, maka dia wajib membayar kafarat zihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur kembali. Barang siapa tidak mampu, membayar kafarat zihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, maka ia wajib membayar kafarat zihar dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah, Allah menjelaskan hukum zihar dan kafarat-nya agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan benar-benar berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunah-Nya dan itulah hukum-hukum Allah tentang zihar dan kafarat-kafaratnya; dan Allah memperingatkan bahwa bagi orang-orang yang mengingkarinya, yakni hukum zihar, akan mendapat azab yang sangat pedih di akhirat, karena mengatakan yang bukan-bukan, mengharamkan menggauli istri yang dihalalkan Allah.

 

4. Puasa Kafarah Karena Membunuh Tanpa Sengaja

Orang yang membunuh orang lain tanpa sengaja, misalnya karena kecelakaan atau kelalaian, maka ia harus membayar kafarat. Adapun kafarat pembunuhan tidak sengaja adalah memerdekakan seorang budak mukmin. Jika tidak mampu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tak mampu, ia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Apabila seorang mukmin tidak sengaja membunuh mukmin lainnya, maka untuk menghindari dosa pembunuhan orang tersebut harus membayarnya dengan berpuasa kafarat. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut.

 

Dalil Al-Qur’an Keempat

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا {92} وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا {93}. النّساء: 92 -93.

Artinya: (92) Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

(93) Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang sangat besar. (QS. An Nisa: 92-93).

 

Tafsir Ringkas Kemenag RI menyatakan bahwa tidak patut, bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali terjadi karena tersalah dan tidak sengaja, sebab keimanan akan menghalangi mereka untuk berbuat demikian. Barang siapa membunuh seorang mukmin, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, karena tersalah, maka wajiblah dia memerdekakan atau membebaskan seorang hamba sahaya yang beriman, yakni membebaskannya dari sistem perbudakan walau dengan jalan menjual harta yang dimilikinya untuk pembebasannya serta membayar tebusan (diat) yang diserahkan dengan baik-baik dan tulus kepada keluarganya, yakni keluarga si terbunuh itu, kecuali jika mereka, keluarga si terbunuh memberikan maaf kepada si pembunuh dengan membebaskannya dari pembayaran itu. Jika dia, yakni si terbunuh, berasal dari kaum kafir yang memusuhimu padahal dia mukmin, maka yang diwajibkan kepada si pembunuh itu hanyalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, tidak disertai tebusan. Apabila dia, si terbunuh, adalah kafir dari kaum kafir yang ada, yakni memiliki perjanjian damai dan tidak saling menyerang antara mereka dengan kamu, maka wajiblah bagi si pembunuh itu membayar tebusan yang diserahkan dengan baik-baik dan tulus kepada keluarganya si terbunuh akibat adanya perjanjian itu serta diwajibkan pula memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan hamba sahaya yang disebabkan karena tidak menemukannya, padahal kemampuannya ada atau karena tidak memiliki kemampuan materi untuk membebaskannya, maka hendaklah dia, si pembunuh, berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai gantinya. Allah mensyariatkan hal demikian kepada kalian sebagai tobat kalian kepada Allah SWT. Allah Maha Mengetahui segala yang kalian lakukan, Mahabijaksana untuk menetapkan hukum dan hukuman bagi kalian. Kemudian barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja yakni dengan niat dan terencana, maka balasannya yang pantas dan setimpal ialah neraka Jahanam yang sangat mengerikan, dia kekal di dalamnya dalam waktu yang lama disertai dengan siksaan yang amat mengerikan. Di samping hukuman itu, Allah murka kepadanya dan melaknatnya yakni menjauhkannya dan tidak memberinya rahmat, serta menyediakan azab yang besar baginya selain dari azab-azab yang disebutkan di atas di akhirat.

 

5. Puasa Kafarah Karena Berhubungan Suami-Istri di Siang Bulan Ramadan

Apabila sepasang suami istri tidak dapat menahan hawa nafsunya dan melakukan hubungan intim pada siang hari di bulan Ramadan, maka perbuatan ini termasuk dosa dan suatu hal yang membatalkan puasa. Supaya mendapatkan ampunan Allah, maka harus ditebus dengan kafarat. Hal tersebut sebagaimana dalil berikut.

 

Hadis Pertama

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكْتُ. قَالَ: مَا لَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا. فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ، وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ. قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أَنَا. قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ. ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ. البخاري

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib, dari Az Zuhriy, ia berkata: telah mengabarkan kepada saya Humaid bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah RA, ia berkata: Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau lalu berkata, ”Wahai Rasulullah, saya binasa.“ Beliau bertanya, ”Ada apa engkau?” Ia berkata, ”Saya menyetubuhi istri saya diwaktu puasa (Ramadan).” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ”Apakah kamu mempunyai budak yang bisa kamu merdekakan?” Ia menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Apakah kamu mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, “Apakah kamu dapat memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia berkata, “Tidak.” (Abu Hurairah) berkata: Lalu orang tersebut diam di sisi Nabi SAW. Ketika kami dalam keadaan demikian itu tiba-tiba dibawakan satu ‘araq kurma kepada Nabi SAW. Adapun ‘araq maksudnya adalah miktal (keranjang). Beliau bersabda, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Ia menjawab, “Saya.” Beliau bersabda, “Ambillah ini dan sedekahkanlah.” Ia berkata kepada beliau, “Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada saya, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua tepian kota Madinah (yang ia maksud dua tanah berbatu hitam), tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluarga saya.” Maka Nabi SAW tertawa sehingga tampak gigi taring beliau. Kemudian beliau bersabda, “Berikan makan keluargamu dengan kurma itu.” (HR. Bukhari, no. 1800).

 

Sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa kafarah orang yang bersetubuh suami-istri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa Ramadan adalah memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarah tersebut dilakukan secara berurutan. Maksudnya adalah kafarah yang ditempuh pertama kali adalah memerdekakan budak, bila tidak mampu maka melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Apabila tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, maka hendaknya membayar kafarah dengan cara memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.

 

D. Waktu Pelaksanaan Puasa Kafarat

Waktu pelaksanaan puasa kafarat beragam menyesuaikan sebab yang mengharuskan dilaksanakannya puasa kafarat. Adapun masing-masing waktu pelaksanaan puasa kafarat ialah sebagai berikut.

 

1. Puasa Kafarat Melanggar Sumpah (Yamin)

Puasa kafarah terpaksa dilaksanakan karena menjadi opsi terakhir dalam membayar kafarah melanggar sumpah. Hal tersebut dikarenakan apabila melanggar sumpah, kafaratnya adalah ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa seeorang berikan kepada keluarganya, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Apabila tidak mampu melakukan memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak, maka bisa diganti dengan puasa tiga hari. Kafarat yang dilakukan pada Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 89 itu dilaksanakan secara berurutan, bila yang pertama yaitu memberi makan dan pakaian sepuluh orang miskin tidak bisa, maka hendaknya memerdekakan seorang budak. Bila kesemuanya itu tidak bisa, maka hendaknya berpuasa tiga hari. Sebagaimana yang disebutkan, waktu pelaksanaan sebanyak tiga hari setelah opsi/ pilihan pembayaran kafarah sebelumnya kesulitan untuk menunaikannya.

 

2. Puasa Kafarat Melanggar Larangan Haji

Pelaksanaan puasa kafarat melanggar larangan haji ini menjadi opsi/ pilihan terakhir karena belum mampu menebus kafarat dengan cara tamuttu’ atau qiran. Adapun qiran adalah denda yang wajib dibayar dengan menyembelih hadyu. Apabila tidak mampu untuk melakukan hal tersebut, maka bisa diganti dengan berpuasa kafarat selama tiga hari ketika masih berada di Makah atau di tanah suci. Kemudian dilanjutkan puasa selama tujuh hari berturut-turut setelah sampai di kampung halamannya/ tanah air.

 

3. Puasa Kafarat Karena Zihar

Puasa kafarat karena zihar yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah ketika suami menyamakan ibu kandungnya dengan istirnya sendiri. Pada ajaran agama Islam, perbuatan ini adalah perbuatan tercela dan harus dibayar dengan kafarat. Penebusan dosa ini dengan cara memerdekakan seorang budak. Apabila belum mampu, maka berpuasa selama dua bulan. Puasa kafarah karena zihar ini adalah opsi kedua. Adapun bila belum mampu, maka kafarahnya adalah dengan memberi makan enam puluh orang miskin.

 

4. Puasa Kafarah Karena Membunuh Tanpa Sengaja

Puasa kafarah karena membunuh tanpa sengaja adalah opsi terakhir dalam membayar kafarat. Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya yang terbunuh, kecuali jika keluarga terbunuh membebaskan pembayaran. Jika yang terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal termasuk orang beriman, hendaklah si pembunuh memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika yang terbunuh dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka, hendaklah si pembunuh membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan hamba sahaya hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai ketetapan/ ketentuan cara bertobat dari Allah.

 

5. Puasa Kafarah Karena Berhubungan Suami-Istri di Siang Bulan Ramadan

Kafarah orang yang bersetubuh suami-istri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa Ramadan adalah memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarah tersebut dilakukan secara berurutan. Maksudnya adalah kafarah yang ditempuh pertama kali adalah memerdekakan budak, bila tidak mampu maka melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Apabila tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, maka hendaknya membayar kafarah dengan cara memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.

 

E. Tata Cara Puasa Kafarat.

Tata cara puasa kafarat sebagaimana tata cara puasa Ramadan. Tata cara puasa kafarat adalah dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, termasuk merokok, dan bersetubuh, dari mulai fajar hingga terbenam matahari karena mencari rida Allah. Adapun syarat dan rukun puasa sebagaimana puasa Ramadan. Penjelasan syarat dan rukun puasa dapat disimak dengan cara klik di sini.

 

Demikianlah berbagai dalil ataupun pelajaran yang bisa menjadi acuan kita dalam ibadah puasa. Dalil yang kita gunakan untuk beribadah adalah dalil dari Al-Qur’an yang sudah pasti benar dan/ atau hadis shahih atau setidaknya hasan lidzatihi. Adapun selain dalil yang ada, tidak menutup kemungkinan terdapat dalil yang shahih maupun sharih lainnya yang bisa kita gunakan sebagai landasan hukum ibadah. Semoga kita semuanya mampu melaksanakan puasa dengan baik dan istiqamah sebagai upaya kita meraih kesempurnaan amal salih. Aamiin.